Pada titik tertentu, berpikir keras justru tidak menghasilkan apa-apa. Karena, otot-otot di kepala sedang tegang-tegangnya.Â
Artikel ini ingin mengingatkan untuk berpikir selow, santai seperti di pantai.
Bagi saya 100 artikel pertama adalah tonggak sejarah Kompasianer Pemula. Setelahnya adalah tugas berat, membaca kembali 100 artikel yang telah dibuat.
Menempatkan diri sebagai pembaca. Evaluasi tulisan sendiri. Bekerja dalam diam. Melucuti kelebihan dan kekurangan tulisan kita.
Akhir-akhir ini saya memakai ChatGPT untuk memperbaiki struktur tulisan saya. Dan ternyata memang efektif. Tulisan saya selalu masuk kategori Pilihan.
Padahal yang saya pakai juga versi gratis.Â
Pada satu titik saya berkesimpulan bahwa jika menerapkan strategi serampangan dalam menggunakan ChatGPT. Kita akan kehilangan "suara" otentik yang kita miliki.
Sedangkan tujuan awal saya menulis adalah untuk mengasah otak, logika berpikir, menulis cerita yang menarik.
Pada satu sisi, saya tentu tidak serta merta kopas seratus persen lalu upload tanpa mengedit kembali. Karena saya harus memastikan bahwa apa yang saya posting ini sesuai dengan standar yang saya punya.
Meskipun ChatGPT hasilnya instan. Dengan struktur kalimat yang runtut.Â
Saya tetap merasa bahwa tulisan karya ChatGPT sangat kering esensi. Jauh berbeda jika dibandingkan tulisan yang berasal dari hati.
ChatGPT memang instan. Seperti segala sesuatu yang instan, pasti ada bahaya yang mengintai di belakang.Â
Seperti "sentuhan" yang tidak bisa dikirim lewat cara apapun (untuk saat ini). Karya ChatGPT sangat kaku dan kehilangan "sentuhan" perasaan.
Pasti ada plus minusnya. Sebuah teknologi selalu bermuka dua. Tergantung tangan siapa yang memegang. Bisa jadi orang lain bisa memanfaatkan ChatGPT untuk menghasilkan milyaran rupiah.
Bukan tidak mungkin.
Tergantung tangan siapa yang memakai.
Di dunia ini yang sempurna hanyalah Allah SWT.
Pada akhirnya, entah sekarang atau lusa. Kita semua harus berdamai dengan teknologi mutahir.Â
Tidak peduli kita segaptek apapun. Pada akhirnya kita tidak akan bisa melepaskan diri dari canggihnya teknologi kecerdasan buatan (AI).
Selagi masih awal, bagaimanapun juga kita harus belajar menggunakan dan memanfaatkan teknologi AI untuk membantu kita mencapai tujuan kita dengan lebih efektif.
Jika tidak, mungkin kita akan mencapai tujuan kita. Tetapi, orang yang memanfaatkan teknologi AI dengan lebih baik daripada kita akan sampai lebih awal di "tempat" yang kita tuju.
Tak Bisa Dipungkiri
Celah AI memang banyak. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa AI bisa mempelajari dirinya sendiri. Menyempurnakan dirinya sendiri.
Saya penasaran betapa canggihnya teknologi AI pada tahun 2030.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H