Seperti yang sudah saya duga sebelumnya, blog saya ditolak oleh Google AdSense untuk kedua kalinya. Saya menyadari bahwa, saya fokus pada peningkatan jumlah konten daripada meningkatkan kualitas konten. Padahal, Google sudah jelas memberi peringatan tentang konten berkualitas rendah.
Seorang teman memberikan pertanyaan retoris yang membuat saya terkejut dan terdiam, "Apakah kamu yakin bahwa blogmu pantas menghasilkan uang?"
Seberapa besar penghasilan yang layak dihasilkan berdasarkan kualitas kontennya?
Pertanyaan ini mematahkan kepercayaan diri saya yang berlebihan. Pertanyaan tersebut adalah jawaban terhadap keraguan saya terhadap nasib blog saya.Â
Teman saya bercerita tentang berbagai blog yang sering dia kunjungi dan mengkritik kekurangan dari blog saya. Meskipun saya pura-pura cuek, sebenarnya saya mencermati dan membuka telinga lebar-lebar.
Meskipun akan terasa menyakitkan, saya harus terima kenyataan agar bisa memperbaiki diri ke depannya.
Seorang teman juga memberi nasihat, "Jangan hanya menjadi idealis. Buatlah konten yang bermanfaat. Idealisme tidak ada gunanya jika tidak memberikan manfaat. Jangan mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiran hanya untuk memuaskan idealisme egoismu. Buatlah konten yang solutif dan bermanfaat."
Setelah itu, saya membaca ulang tulisan-tulisan saya secara acak. Kali ini, saya membaca sebagai seorang kritikus terhadap blog saya sendiri. Saya mencatat kekurangan saya, melakukan introspeksi, dan mencari cara agar kegiatan blogging saya tidak sia-sia.
Baca juga: Jangan Buang Waktumu untuk MenulisSaya mulai mempertanyakan alatan utama saya ngeblog.
Awalnya, saya mulai ngeblog sebagai sarana untuk stress-release. Saya ingin menuangkan pikiran saya dalam tulisan. Namun, itu hanya bagian awal dari perjalanan blogging.Â