Dengarkan dan resapi apa yang dikatakan Seno Gumira Ajidarma.
"Menulis adalah suatu cara untuk bicara, suatu cara untuk berkata, suatu cara untuk menyapa—suatu cara untuk menyentuh seseorang yang lain entah di mana. Cara itulah yang bermacam-macam dan di sanalah harga kreativitas ditimbang-timbang...
Belajar menulis adalah belajar menangkap momen kehidupan dengan penghayatan paling total yang paling mungkin dilakukan oleh manusia.
Apa boleh buat, jalan seorang penulis adalah jalan kreativitas, di mana segenap penghayatannya terhadap setiap inci gerak kehidupan, dari setiap detik dalam hidupnya, ditumpahkan dengan jujur dan total, seperti setiap orang yang berusaha setia kepada hidup itu sendiri—satu-satunya hal yang membuat kita ada."
Menulis menjadi penting sebagai penyeimbang proses berpikir. Karena pada dasarnya manusia adalah makhluk yang pelupa. Menulis sangat penting untuk mengikat ilmu. Kata Imam Syafi'i, "ikatlah ilmu dengan qolam (pena)."
Menarik untuk mengutip pernyataan Felix Siauw, "Berbicara itu mudah namun sulit dipertanggungjawabkan. Menulis lebih sulit namun lebih mudah dipertanggungjawabkan."
Menulis tidak melulu soal sastra. Menulis adalah juga merupakan proses berpikir, meringkas, menyederhanakan hal kompleks menjadi simpel.Â
Menulis membuat proses berpikir maju ke depan, tidak mengulang-ulang hal yang telah selesai. Itu juga bisa berarti sejarah akan maju lebih baik manakala ada tulisan, prasasti dan manuskrip kuno. Dari sana manusia belajar untuk lebih baik, belajar dari sejarah.
Namun, sesuatu memang lebih monumental jika dilakukan secara sastrawi. Contohnya, cerita Andrea Hirata tentang masa kecilnya, kampung halamannya dan pengalaman "makan bangku sekolah" di Prancis dan Inggris, melanglang buana keliling Eropa, sampai di sebuah desa bernama Edensor.
Jika Andrea Hirata tidak menuliskan kisahnya. Cerita itu hanya akan ada dalam kenangan. Karena Andrea menulis kisah itu dalam sastra, maka kisah Laskar Pelangi menjadi kisah monumental.
Kesusastraan adalah hasil proses yang berjerih payah, dan tiap orang yang pernah menulis karya sastra tahu: ini bukan sekadar soal keterampilan teknik. Menulis menghasilkan sebuah prosa atau puisi yang terbaik dari diri kita adalah proses yang minta pengerahan batin. ~ Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir 3.
Perhatikan petuah Bu Helvy berikut ini:
Tulisan itu rekam jejak. Sekali dipublikasikan, tak akan bisa kau tarik. Tulislah hal-hal berarti yg tak akan pernah kau sesali kemudian. Di antara tantangan dalam menulis adalah berpikir sebagai pencipta sekaligus pembaca pada saat bersamaan. Menulis adalah memahat peradaban. ~ Helvy Tiana Rosa
Kesimpulan
Menulis sebagai cara untuk berbicara: sarana komunikasi yang kuat, memungkinkan penulis untuk menyampaikan pesan, menyapa, dan menyentuh orang lain yang entah dimana. Setiap penulis punya cara unik mereka, dan melalui tulisan, harga kreativitas dinilai dan dihargai.
Menulis sebagai penghayatan total terhadap kehidupan: menulis melibatkan penangkapan momen kehidupan dengan penghayatan total. Ketika seseorang belajar menulis, mereka memperoleh kemampuan untuk merangkum pengalaman hidup dengan jujur dan total, memberikan suara kepada diri mereka sendiri. Dalam proses ini, tulisan menjadi alat untuk mengikat ilmu dan menjaga kenangan hidup.
Menulis sebagai jalan kreativitas: penghayatan terhadap setiap inci gerak kehidupan.Â
Penulis berusaha untuk setia kepada hidup itu sendiri melalui tulisan mereka, dan melalui proses ini, penulis membantu menjaga sejarah hidup manusia.
Menulis sebagai proses berpikir dan meringkas: menulis membantu proses berpikir maju ke depan dan menghindari pengulangan hal yang telah selesai.Â
Menulis memungkinkan seseorang untuk merangkum dan menyederhanakan hal-hal kompleks menjadi yang lebih sederhana, dan dalam hal ini, tulisan juga berperan dalam kemajuan sejarah.
Kesusastraan sebagai kekuatan monumental: menulis dalam bentuk sastra mengabadikan kisah dan membuatnya menjadi momumental.
Tantangan dalam menulis bukan hanya tentang keterampilan teknik semata, tetapi juga tentang pengerahan batin. Menjadi penulis butuh kemampuan berpikir sebagai pencipta sekaligus pembaca, seimbang antara pengarang dan penikmat tulisan. Â
Tulisan sebagai rekam jejak dan pahatan peradaban: tulisan adalah rekam jejak yang tak dapat ditarik kembali. Saat sebuah tulisan dipublikasikan, ia menjadi bagian dari sejarah dan membentuk peradaban.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H