Setiap kali saya belajar kembali Clean Language, saya selalu teringat embun pagi. Bening, jernih dan segar.  Sedangkan masalah pikiran yang ruwet, rumit dan tidak bisa dijelaskan bagaikan benang kusut. Meski tampak tidak bisa diurai. Benang kusut menyimpan benang merah. Butuh usaha super keras untuk menarik benang merah dari lilitan benang kusut. Clean Language adalah solusi alternatif jitu untuk masalah ruwet itu.
Clean Language adalah sebuah alat yang dapat dengan cepat menarik benang merah tersebut. Meskipun diliputi benang kusut yang sulit diurai. Clean Language dapat mengurai keruwetan pikiran tersebut menjadi sebuah jawaban yang jadi benang merah.
Clean Language dikembangkan oleh seorang terapis Inggris bernama David Grove pada tahun 1980-an. Grove menciptakan teknik ini setelah mempelajari bahasa dan cara komunikasi manusia selama bertahun-tahun. Grove sadar bahwa bahasa dan cara komunikasi manusia dapat memengaruhi cara kita memandang dunia dan memecahkan masalah yang dihadapi.
Dalam praktiknya, Clean Language menggunakan pertanyaan yang bersifat netral, non-direktif, dan terfokus pada pengalaman internal klien. Pertanyaan-pertanyaan ini dirancang untuk meminimalkan pengaruh coach atau terapis, sehingga klien dapat menemukan jawaban dan solusi dari dalam dirinya sendiri. Dengan demikian, Clean Language memperbolehkan klien untuk "menggali ke dalam" dan menemukan jawaban yang mungkin tidak pernah mereka sadari sebelumnya.
Clean Language awalnya digunakan dalam konteks terapi dan konseling, tetapi sekarang telah digunakan dalam berbagai bidang seperti pendidikan, bisnis, dan pengembangan pribadi. Metode ini terus berkembang dan diadopsi oleh banyak praktisi dan profesional di seluruh dunia.
Ada setidaknya 10 pertanyaan dalam Teknik Clean Language. Daftar pertanyaan-pertanyaan Clean Language terbukti mampu membantu klien menemukan jawaban "murni" dari realita masalah yang klien alami.
Hal ini menjadi bukti bahwa sesungguhnya yang paling tahu solusi dari sebuah masalah adalah yang punya masalah. Â
Coach atau Terapis hanya menjadi pendamping selama terapi. Selebihnya, klien "digali" untuk "menggali ke dalam" dirinya sendiri. Digali dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana. Klien "diarahkan" untuk menemukan "dirinya" sendiri. Solusi paling pas untuk masalahnya. Dan, solusi itu selalu berada di dekat Si Klien. Solusi itu adalah "pemahaman baru" yang ditemukan selama konseling.
Clean Language. Sederhanaya Bahasa yang bersih dan jelas. Layaknya percakapan antar sahabat. Klien akan secara ringan untuk bercerita panjang lebar. Dari jawaban klien inilah. Coach menemukan jawaban yang dibutuhkan klien. Sesuatu yang sebelumnya tidak disadari oleh klien.
Jawaban tidak berasal dari Coach, itulah keunikan clean language.Â
Melainkan berasal dari klien itu sendiri. Klien akan "dipancing" dengan pertanyaan-pertanyaan yang tepat sasaran. Sehingga klien ter-trigger untuk mengungkapkan jawaban sejelas-jelasnya.
Masalahnya, terkadang seseorang yang sedang dalam masalah terlalu terpaku pada masalah. Sehingga tidak bisa melihat dengan jelas solusi yang terpampang di depan mata.
Begitu juga masa depan seseorang. Yang paling tahu masa depan seseorang adalah orang itu sendiri. Karena masa depan seseorang dipengaruhi oleh visi, misi, dan apa yang mereka kerjakan dengan visi dan misi tersebut.
Masa depan seseorang bisa kita ketahui tanpa indra keenam. Meskipun margin error nya tentu saja banyak. Karena data yang kita miliki tentang orang tersebut terbatas. Clean Language membantu untuk mendapatkan banyak data untuk setidaknya sedikit "meramal masa depan" seseorang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H