Penghujung tahun 2013 saya bertolak ke Jakarta. Tugas negara. Semua pegawai dikirim ke Jakarta. Rapat Tahunan. Keren sekali.
Terakhir kali saya ke Jakarta, setahun sebelumnya. Waktu itu saya modal nekat. Tergiur wawancara kerja di Jalan Sudirman. Saya numpang mentor saya. Waktu itu mentor saya ada agenda politik ke Jakarta, jadi saya bisa nebeng.
Pada kesempatan itu. Di sela-sela Rapat Tahunan, perusahaan memberikan liburan ibukota, ke Grand Indonesia. Selesai makan di Solaria, lalu keliling Grand Indonesia. Saya terpesona oleh deretan lukisan indah.
Saya terpikat oleh barisan lukisan warna-warni. Bukan lukisan pemandangan alam. Bukan lukisan potret seorang tokoh. Hanya bercak warna-warni. Yang dicipratkan sedemikian rupa. Sepintas seperti sebuah karya cipratan ngawur. Saya terpikat. Pada detik itu, saya jatuh hati pada lukisan abstrak.
Entah mengapa, saya betah memandangannya lama-lama. Semakin lama mengamati detail warna yang ciamik. Semakin saya terpikat.
Kombinasi warna-warni yang terkesan ngawur itu. Saya yakin bukan asal ngawur. Pasti pakai teknik rahasia. Pasti ada triknya. Tidak mungkin ngawur.
Pembuatnya pasti berjiwa seni. Untuk mencapai titik seni tersebut, dibutuhkan sense of art yang kuat. Intuisi yang tajam. Latihan yang melelahkan. Studio yang berantakan, mungkin.
Pembuatnya pasti cerdas mengkombinasi warna. Menciptakan lukisan yang “menyala”. Membuatnya seolah-olah “berbicara”. Artistik.
Tidak semua orang bisa melakukan itu. Kalaupun bisa, pasti ngawur. Membabi buta. Sembarangan mencampur warna. Tidak mungkin sebagus itu.
Saya kagum, terpesona.
Beberapa tahun kemudian. Saya tahu “rahasia”-nya. Ngeh. Bagaimana lukisan seperti itu bisa terbentuk. Mas Hasan –Founder Rumah Belajar Ilalang- membocorkan rahasianya. Kanvas, kuas, cat lukis dan sedikit gerak estetik.
Memposisikan tubuh untuk aerodinamik. Mudah bergerak sebebas mungkin. Buat jarak yang pas. Tidak terlalu jauh. Tidak terlalu dekat. Jarak ini kunci. Pengaruhnya besar terhadap rentang bintik-bintik warna. Dan bagaimana bercak akan tercipta. Mencelupkan kuas pada cat. Mengangkatnya perlahan. Memposisikan tubuh seperti pelempar bola bekel. Dengan gerakan menyabet sabit. Kuas itu berkibas. Plark. Terperciklah warna-warna indah itu dalam kanvas.
Oh begitu.
Ternyata tidak sesulit yang saya duga. Tidak serumit yang saya kira. Lalu saya mencoba. Seperti yang dilakukan Mas Hasan. Saya menciprat-cipratkan kuas ke arah kanvas. Baru beberapa kali dan saya mulai muak. Warna cipratan saya, merusak lukisan Mas Hasan. Cipratan gak karuan, kaku dan kombinasi warna yang suram. Seolah membunuh estetika. Saya kembalikan kuasnya. Dan menikmati Mas Hasan melukis. Dalam hati, saya membatin, Tidak semua penikmat seni bisa menjadi seniman. (MIJ)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H