Mohon tunggu...
Irgi Ahmad N
Irgi Ahmad N Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Studi S1 Hukum Ekonomi Syariah

Penjelajah imajinasi, peracik kata, dan pendengar cerita

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ketika Kebaikan Tak Dibalas: Mengapa Dunia Tak Berjanji Untuk Adil?

8 Desember 2024   10:35 Diperbarui: 8 Desember 2024   10:42 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dunia adalah tempat penuh paradoks. Kita diajarkan sejak kecil untuk berbuat baik, membantu sesama, dan hidup dengan integritas. Namun, seiring waktu, kita mulai menyadari kenyataan yang pahit: dunia tidak selalu menghargai kebaikan. Orang yang curang sering kali mendapatkan keuntungan, yang licik melesat lebih jauh, sementara mereka yang tulus justru tersisihkan.

Di tengah ketidakadilan ini, pertanyaan besar pun muncul: Jika dunia tak berjanji adil, apa gunanya berbuat baik? Apakah kebaikan hanya sekadar beban yang membuat hidup lebih sulit? Atau justru, di tengah absurditas kehidupan, kebaikan memiliki makna yang lebih mendalam?

Mengapa Dunia Tak Adil?

Ketidakadilan adalah kenyataan yang tak terelakkan. Filsuf Yunani, Plato, dalam Republik, mengisahkan tentang Socrates, seorang pencari kebenaran yang dihukum mati oleh masyarakat yang tidak memahami nilainya. Socrates tidak bersalah, tetapi ia menjadi korban ketidakadilan. Namun, bagi Plato, keadilan bukanlah tentang balasan duniawi. Keadilan sejati terletak pada harmoni batin dan keberanian untuk tetap teguh pada prinsip, bahkan ketika dunia tidak berpihak.

Realitas ini mengingatkan kita bahwa hidup tidak diatur oleh hukum moral yang jelas. Dunia tidak memilih siapa yang akan dihargai atau dihukum. Namun, ketidakadilan ini bukanlah alasan untuk menyerah pada kebaikan. Sebaliknya, ini adalah panggilan untuk membuktikan bahwa kebaikan memiliki kekuatan yang melampaui penghargaan duniawi.

Kebaikan Sebagai Keberanian

Ketika dunia tidak adil, memilih untuk tetap berbuat baik adalah tindakan yang berani. Albert Camus, filsuf eksistensialisme, menyebut kehidupan sebagai sesuatu yang absurd—tidak ada makna inheren, tidak ada keadilan bawaan. Namun, justru dalam absurditas inilah manusia dapat menemukan kebebasannya. Ketika seseorang tetap berbuat baik meskipun diperlakukan tidak adil, ia sedang menciptakan makna sendiri di tengah kekacauan.

Camus mengibaratkan manusia seperti Sisyphus, tokoh mitologi yang dihukum untuk mendorong batu besar ke atas bukit hanya untuk melihatnya berguling turun lagi. Dalam penderitaannya, Sisyphus tidak menyerah. Ia terus mendorong batu itu, dan di situlah letak pemberontakannya. Demikian pula, ketika kita tetap memilih kebaikan di tengah ketidakadilan, kita sedang melawan absurditas dunia dengan cara yang penuh keberanian.

Immanuel Kant menyatakan bahwa tindakan bermoral sejati tidak dilakukan demi balasan, tetapi karena itu adalah kewajiban kita sebagai manusia. Orang yang berbuat baik meskipun tidak dihargai sedang menunjukkan esensi tertinggi dari kemanusiaan: kemampuan untuk melampaui kepentingan diri sendiri demi sesuatu yang lebih besar.

Dalam dunia yang penuh transaksi, di mana setiap tindakan dihitung untung dan ruginya, kebaikan tanpa pamrih sering dianggap sebagai kelemahan. Namun, justru di situlah kekuatannya. Kebaikan yang tulus membebaskan kita dari rantai penghargaan eksternal dan menegaskan bahwa nilai kita tidak bergantung pada pengakuan orang lain.

Mengubah Dunia, Satu Langkah Kecil

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun