Catatan: Arief Gunawan ( iniorangbiasa@yahoo.com )
DI Inggris anak muda yang mau jadi polisi suka ditanya kenapa ingin jadi polisi.
Jawabannya: be a good man, karena kepingin jadi orang baik.
Di sana polisi itu profesi pengabdi, pelayan, sehingga alat tugasnya sehari-hari pentungan dan buku notes.
Tetapi tekhnologi kepolisiannya sangat canggih, seperti polisi Scotland Yard, sehingga ada cerita legenda detektif seperti Sherlock Holmes.
Bagaimana polisi di sini?
Apa boleh buat, kata Gus Dur cuma ada tiga jenis polisi baik. Pertama mendiang Jenderal Hoegeng, patung polisi, dan polisi tidur. Tentu ini cuma satire sebab polisi baik tentu saja masih ada.
Tapi hari-hari belakangan ini katanya opini publik dan pemberitaan media massa terbelah jadi dua, berkaitan dengan ‘’dua penetapan’’ yang dilakukan oleh Jokowi dan yang dilakukan oleh KPK.
Yaitu penetapan Jokowi terhadap Budi Gunawan untuk menjadi calon Kapolri yg anehnya diloloskan oleh Komisi 3 DPR dan penetapan KPK terhadap Budi Gunawan sebagai tersangka.
Kenapa nampak sekali kesan bahwa penetapan Budi Gunawan sebagai calon Kapolri dipaksakan, misalnya prosesnya tidak dengan melibatkan KPK dan PPATK, karena Jokowi langsung bablas mengajukannya ke DPR untuk di-fit and proper test. Katanya hanya mendengar pertimbangan Kompolnas.
Kenapa Jokowi seperti itu?
Karena sebagaimana sudah sering disebut-sebut oleh banyak kalangan, Budi Gunawan itu merupakan orang yang sangat dekat dengan salah seorang ketua umum partai politik pendukung Jokowi. Karena itu wajar kalau Jokowi harus memuluskan titipan sang ketua umum partai politik tersebut.
Kemudian ada yang tanya, apa bedanya zaman Soeharto dengan zaman Jokowi seperti sekarang ini?
Bedanya katanya seperti bumi dengan langit.
Di zaman Soeharto katanya perasaan malu dan takut-takut di kalangan pejabat biarpun hanya sedikit tetapi masih tetap ada.
Pak Harto dulu katanya masih perlu menimbang-nimbang untuk mengangkat Tutut jadi menteri. Sekitar tahun 1993 saat Soeharto masih sangat powerfull dorongan untuk mengangkat Tutut jadi menteri sangat kuat, tapi Pak Harto tidak mau karena harus menimbang-nimbang malu dan kepatutan, sehingga baru tahun 1998 Tutut diangkat jadi Mensos.
Nah, barangkali ini bisa dijadikan contoh oleh para tokoh yang menjadi pendukung utama dalam menaikkan Jokowi jadi presiden.
Menimbang-nimbang rasa malu dan kepatutan itu bukan saja perlu tetapi juga penting. Supaya tokoh-tokoh tersebut self correction, tidak keterlaluan dalam mengenyampingkan rasa malu, sehingga ngono ya ngono mbok ya ojo ngono.
Jokowi sendiri oleh banyak kalangan sekarang suka dilukiskan seperti anak Kanguru di dalam kantong perut sang induk. Lucu dan selalu kelihatan di depan, tetapi sebenarnya banyak diatur oleh sang induk. Sulit berdiri dan berjalan dengan kakinya sendiri, sehingga katanya kalau benar-benar ingin disukai dan benar-benar ingin mendapatkan simpati publik dan ingin membangun perubahan, maka anak Kanguru harus berani melompat keluar dari kantong perut sang induk. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H