Dunia pendidikan tinggi Indonesia baru-baru ini dihebohkan oleh berbagai demo mahasiswa terhadap pemimpin perguruan tinggi mereka. Mereka menuntut pemerintah dan rektorat untuk merevisi kebijakan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang sangat tinggi dan menemukan solusi yang lebih menguntungkan masyarakat.
Tidak lama kemudian, Tjitjik Sri Tjahjandarie, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek, menanggapi kritik tentang UKT di perguruan tinggi yang semakin mahal itu. Disebutkan bahwa pendidikan tinggi adalah pendidikan tersier atau pilihan yang tidak termasuk dalam wajib belajar dua belas tahun. Di Indonesia, pendidikan wajib hanya dua belas tahun, dari SD hingga SMP. "Pendidikan tinggi ini adalah pendidikan tersier," katanya (16/5/2024).
Dengan mengatakan bahwa "pendidikan tinggi merupakan kebutuhan tersier atau mewah", pengelola pendidikan tinggi di tingkat Kemendikbudristek tidak seharusnya menyatakan persepsi ini. Hal ini sama dengan mengabaikan peran pendidikan tinggi dalam pembangunan individu dan bangsa, terutama bagi kaum yang tidak mampu.
Melihat Industri Pendidikan Negara-Negara Maju
Negara-negara maju biasanya memiliki sistem pendidikan yang sangat mendukung siapa pun yang ingin melanjutkan sekolah. Beberapa contoh negara yang sangat mendorong pendidikan tinggi, misalnya di kawasan Asia Tenggara yang terdekat seperti Malaysia.
Berkaca pada Malaysia, setiap lulusan pendidikan menengah diberi kemudahan mengakses dana pinjaman pendidikan ke perguruan tinggi. Pengembaliannya pun dilakukan semampunya setelah lulus kuliah.
Jika kita melihat pendidikan tinggi di Eropa, seperti di Finlandia, Norwegia, dan Jerman, pemerintahnya sangat membantu warganya untuk masuk ke perguruan tinggi.
Selain itu, pemerintah di negara-negara tersebut sering bekerja sama dengan sektor swasta untuk menyediakan peluang pelatihan dan magang yang sesuai dengan kebutuhan industri. Ini membuat lulusan perguruan tinggi lebih siap untuk memasuki pasar kerja. Metode holistik ini meningkatkan jumlah mahasiswa yang lulus, mendukung pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan sosial.
Kuliah Sama Dengan Beli Barang Mewah?
Disaat negara-negara di atas menjadikan kuliah sebagai kebutuhan sekunder atau bahkan primer, pernyataan Kementerian pendidikan Indonesia malah bertolak belakang dengan sistem di negara-negara maju.
Adanya demo mahasiswa kepada pihak rektorat bertujuan untuk mencari solusi terkait kebijakan UKT yang kian meroket, tetapi kemendikbud malah menyatakan bahwa pendidikan kuliah sebagai pendidikan tersier? Jadi, apakah kuliah suatu kewajiban atau kemewahan?
Menurut saya, pendidikan hingga SMA/SMK/MA tidak cukup bagi seseorang yang bercita-cita menjadi seorang akademis maupun praktisi, oleh karena itu diharuskan melanjutkan pendidikan ke yang lebih tinggi yakni kuliah. Dan, jika kita melihat ke sektor industri dan pekerjaan, jarang sekali ada perusahaan yang membuka untuk lulusan SMA atau SMK sederajat, paling minimal mereka mencari lulusan Diploma.
Ketika mengingat slogan “Indonesia Emas 2045”, cukup memprihatinkan ketika mengingatnya. Akankah cita-cita bangsa yang tinggi itu akankah terwujud? Di tengah penurunan kualitas pendidikan yang mana hal tersebut sangat berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia.
Melihat fenomena yang sangat mengecewakan ini, seharusnya pemerintah terutama Kementerian Pendidikan lebih memperhatikan dan merasakan perasaan rakyat yang kurang mampu dalam melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Seharusnya mencari solusi terkait kebijakan kenaikan UKT yang menjadi faktor utama penghambat pendidikan bukan malah membuat pernyataan layaknya “yang tidak mampu tidak layak kuliah” karena kebutuhan tersier merupakan kebutuhan yang terkait dengan kemewahan dalam hidup.
Penulis: Irfanudin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H