Mohon tunggu...
Irfan Teguh Pribadi
Irfan Teguh Pribadi Mohon Tunggu... -

Saya seorang peminat buku dan terkadang suka menulis. Sekarang tinggal di Jakarta. Belum lama seorang kawan saya berkata : "masadepan adalah sekarang, jadi maksimalkanlah hari ini".

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tragicomedy

18 November 2010   05:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:31 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memang sudah dari dulu, bahkan sejak dari jaman kolonialisme Belanda, waktu orang-orang pribumi tidak merasa dijajah karena sudah terlalu lama diperintah oleh bule-bule yang berasal dari negara sangat kecil di Eropa barat. Banjir sering melanda Batavia, dan tahun masih diawali oleh angka 18 (seribu delapan ratus). Mungkin niatnya baik, lihat saja di Jakarta banyak sekali kanal yang kalau saja kondisinya bersih dan tidak dijadikan septic tank oleh warga di bantaran, bolehlah disamakan dengan kanal-kanal di negeri Kincir Angin. Tapi hidup dalam serba darurat, kumuh, jorok, dan dijadikan anak tiri oleh pemerintah sendiri memang mempunyai seni yang absurd, seperti lukisan realis tentang survival. Mandi, cuci, kakus, dan berbiak di rumah-rumah petak di sepanjang bantaran kali.
Maka kemarin, waktu saya melihat kalender, tanggal sedang berdiri di angka 25, di hari senin yang basah dan dingin oleh hujan yang deras. Jam baru setengah lima sore, suasana dan warna langit seperti sudah mendekati adzan isya, gelap merayap penuh misteri, seperti di film animasi tentang kaum nabi Nuh. Saya melihat keluar melalui kaca jendela, air sudah berhamburan sebesar buah kelapa yang sudah dihaluskan, mereka seperti sedang berebut mencium wangi bumi. Angin bertiup kencang, dan dapat kau tengok daun pohon asem mulai berguguran. Saya balik ke meja dan mendengarkan lagi Polyester Embassy dengan volume yang cukup sopan :
Is anybody there can watch me

Is anybody there can hear me

And I feel lost and I feel empty

Is anybody there can feel me

You're come as a key
Maghrib datang, hujan masih menyerang dan hawa dingin semakin mengambang. Ke mana setelah kewajiban gugur?, tentu saatnya pulang. Payung tak terbawa dan air mulai naik meninggalkan parit di pinggir jalan. Sirkuit sudah sesak oleh kendaraan yang seperti tak pernah dibatasi produksinya, padahal jalan tak bertambah, malah semakin menyempit demi memberi rute kepada bus way. Maka mengurai macet tak usah adu pintar beretorika, perhatikan saja koran sabtu dan minggu, akan kau lihat lowongan untuk menjadi sales motor dan mobil tak pernah absen. Atau sekali-kali mainlah ke Sunter, pasti kau akan bertemu dengan para perakit motor Jepang berlogo sayap dengan tas gendong hitam bertuliskan "25.000.000 Achievment". Sudah jam tujuh malam, tapi hujan tak ada tanda-tanda mau berhenti. Satu-persatu karyawan yang membawa payung mulai melacak jalan pulang. Yang tersisa tinggal enam orang dan tengah asyik dengan account facebooknya masing-masing. Tujuh perlahan berubah menjadi setengah delapan, saya turun ke lobi, saatnya menerobos hujan, dan sandal jepit menjadi pahlawan.

Pasti bukan karena sopirnya demo kalau malam itu mobil 507 jurusan Tanah Abang tak datang ke terminal, mobil yang ke Senen hilang semua kecuali mikrolet no 37 yang berputar-putar dulu ke Kelapa Gading. Calon penumpang seperti para pemudik lebaran, semuanya menunggu monster hijau yang buruk rupa dan sangar. Jejentik jam terus berputar, sebentar lagi pukul delapan. Warung kopi di pojok terminal putar Didi Kempot cukup keras : Sewu Kuto karo Stasiun Balapan. Akhirnya bus Mayasari P7 jurusan Grogol-Roxy-Senen-Pulogadung datang, penumpang menyerbu seperti laron dihipnotis sinar terang lampu neon. Demi aman sentosa dari tangan-tangan terampil gerombolan copet, saya pilih posisi di belakang sopir yang rajin betul membakar Dji Sam Soe, asap pekatnya berseteru dengan aroma 1001 bau orang-orang berkeringat. Bus padat penumpang mulai bergerak malas di tengah kemacetan karena banjir. Kecepatan kira-kira 100 km/bulan. Waktu tempuh Pulogadung-Cempaka Mas yang dalam kondisi normal sekira 10 sampai 15 menit, malam itu molor menjadi 2 jam, saya beranjak tua di dalam bus. Jadi sebenarnya bukan sengaja menjadi semacam mata-mata, artinya menyuruh mata terus bekerja melihat yang ada di luar bus, tapi karena di dalam pun tak bisa tidur dan gerah tak mau mundur. Bus mulai meninggalkan Pulogadung.

***

Alhamdulillah tak ada seekor pun ikan piranha yang sengaja menyusup ke genangan air setinggi lutut di depan RS Mediros, maka selamatlah seorang ibu hamil yang menuntun anak pertamanya menyeberang jalan menuju rumah sakit itu. Sementara suaminya menggendong anak yang kedua di belakang. Anak ketiga masih di dalam rahim, masih hidup di dunia lain yang tak tersentuh. Ibu hamil terseok membawa anak dalam kandungan, laju jalannya terhambat ketinggian air. Bus jalan lagi, hujan masih titik-titik turun. Anak-anak ceria belaka di pinggir jalan, bagi mereka, hujan dan banjir adalah hiburan. Empat orang pemulung sampah berlomba memungut botol-botol plastic yang mengambang di permukaan air yang menggenangi jalan, selintas seperti orang yang sedang menangkap ikan. Di Pulau Nangka, tidak jauh dari kantor Sumarecon, tiga buah drum bekas tempat minyak tanah yang berwarna merah diletakkan di pinggir jalan untuk mengontrol ketinggian air, posisinya berjajar dan berdekatan, bahkan antara satu drum dengan drum yang lain menempel. Dapat kau lihat dengan jelas, di atas drum itu duduk dua orang bapak-bapak yang hampir tua sedang sedap betul main catur, ketinggian air terus bertambah, pertarungan bidak-bidak catur semakin sengit, mungkin mereka termasuk anggota club catur tempat rezim Matarom berkuasa.

Antrian kendaraan semakin panjang, mungkin sampai Cempaka Putih. Kecepatan mobil semakin turun, kira-kira 100 km/tiga bulan. Anak kali Ciliwung yang membelah Bermis meluap, air leluasa menyerbu jalur bus way, di sebuah jembatan terlihat seorang bapak tua tengah mancing, arus air sangat cepat, mungkin ikan tak di dapat, ikut terseret bersama tumpukan sampah yang hanyut ke darat. Pak sopir masih setia dengan asap pekat dari cigarette duatigaempat, dua orang kondektur sibuk menagih ongkos dan mengatur posisi penumpang, "tolong maju terus ke tengah Pak, kasihan yang di pintu nih, ayo geser-geser terus, ga ada lagi mobil, banjir di mana-mana," lantang sekali dia berteriak. Jangan tanya gerah, orang-orang sudah dari tadi keringatnya tumpah, aroma 1001 rempah-rempah busuk menyerang indera pencium dan mengajak mulut untuk muntah, untung saja sudah dua tahun saya terbiasa dengan angkutan brengsek seperti ini, jadi sudah mulai imun dengan kondisi seburuk apa pun. Masih padat sangat sangat merayap, satu jam meninggalkan Pulogadung akhirnya sampai di perempatan Kayu Putih-Kelapa Gading. Gelap malam tak dapat menyembunyikan senyum Bang Foke dengan kumisnya yang tebal, yang tengah berdiri di sebuah baliho besar dan tinggi di perempatan itu. Tulisan di baliho itu, di bawah foto Gubernur ahli itu, terkesan asyik sekali : "Lebaran Betawi. Buat nyang ngaku orang Betawi datang ye, di jamin seru dah." Tentu acara itu sudah lewat, karena lebaran 1431 H sudah tercecer di belakang, tapi balihonya masih eksis, mungkin pegawai Pemda tak ada yang berani menurunkannya, takut dianggap mengkudeta Gubernur.

Lampu merah di perempatan itu memang lama sekali, ditambah pula oleh banjir dan ratusan para pengendara motor yang saling serobot jalan. Bus masih tertahan, dan saya membaca lagi tulisan di bawah gambar Bang Foke, pasti kemarin acaranya dimeriahkan oleh tanjidor, silat Betawi, roti buaya, kerak telor, dan orang-orang dengan logat bicara seperti Malih Tongtong. Sayang sekali saya telat mendapat informasi, padahal kalau bisa hadir dapat menyaksikan reuni budaya dari sebuah komunitas yang semakin terdesak. Lampu merah berganti hijau, bus merayap lagi. Di halte Pulomas calon penumpang sudah banyak menunggu, tapi bus sudah penuh, dengan terpaksa kondektur tak mengangkutnya. Tampak dari jendela, seorang pemuda berwajah santri, berkopiah putih, dan baju hitam bergambar Swastika (lambang Nazi), sedang berjualan gorengan. Asap mengepul dari wajan penggorengan, rupanya pisang tanduk berbaju tepung sedang dieksekusi. Beberapa calon penumpang berusaha memaksa masuk, tapi tak berhasil, di dalam sudah seperti tumpukan ikan asin. Sopir injak pedal gas, lalu injak rem, begitu berulang-ulang. Dari tadi banyak sekali ponsel yang berbunyi, bukannya menguping, tapi suaranya pasti terdengar, tentang orang rumah yang menanyakan posisi, maklum jadwal tidak seperti biasanya, bergeser beberapa jam, dikasih improvisasi oleh air yang naik beberapa puluh centi di permukan bumi.

Posisi belum jauh dari halte Pulomas waktu ponsel saya ikut-ikutan berbunyi, sebuah sms dari provider GSM : aktifkan i-ring lagu dar.der.dor dari band bla.bla.bla.bla, gratis untuk Anda. Seharusnya sms macam begitu tak perlu dibalas, cukup didelete saja, tapi saya sedang banyak pulsa, maka dengan senang hati saya membalasnya : teu hayang !!. Bus  lalu sampai di ASMI, kampus berwarna ungu yang gedungnya kurang terawat. Di atas halte ada papan reklame, mbah Maridjan say : Roso!!, tapi berita hari ini beliau dikabarkan telah dikhianati Merapi.

Seorang perempuan muda, saya kira mahasiswi kampus berwarna ungu itu, mencoba masuk ke dalam bus, tapi di ambang pintu sudah dihalau juragan kondektur, ikan asin belum ada satu pun yang turun. Perempuan muda dan sekaligus cantik itu kembali ke halte yang sudah sesak oleh manusia tuna kendaraan. Bosan melihat ke luar, saya mencoba menganalisa penumpang bus yang siapa tahu ternyata adalah copet. Kalau melihat dari wajah memang bukan hal mudah, tapi bisa dilihat dari transaksi penagihan. Penumpang yang tidak bayar dan kondekturnya tidak banyak protes, kemungkinan besar dia adalah copet. Dan copet di bus Mayasari ekonomi sangat jarang ada yang berani bersolo karir, sekali beraksi minimal lima orang, biasalah tipikal orang-orang pecundang yang tidak mau ambil resiko besar. Modusnya rata-rata seragam, yaitu ketika mereka mau turun di dekat basecamp-nya, mereka sengaja menabrak korbannya agar konsentrasi korban pecah, agar si korban terkejut dengan tabrakan yang disengaja itu, dan lengah pada dompet dan Berry Hitamnya. Nanti ketika konsentrasi sudah penuh lagi, barulah korban berteriak, "Aduh, saya kecopetan!!", sementara dompet dan ponselnya yang hilang sudah berada di genggaman tuan-tuan pecundang. Saya lihat kondektur yang masih menagih ongkos, semuanya menyerahkan uang 2000 rupiah. Kemungkinan kali ini copet tidak berani, sebab medan untuk melarikan diri agak riskan, banjir setinggi lutut orang dewasa akan menjadi penghambat lari, dan kalau lambat berarti siap dibantai khalayak ramai, sebuah perhitungan yang cukup pandai.

Bus terus berjalan menyaingi keong paling lambat sedunia. Sudah hampir jam sembilan malam waktu Indonesia bagian banjir, angin sesekali menerobos lewat kaca jendela, memberi nuansa freon kepada tumpukan ikan asin yang selalu nrimo diberi angkutan umum macam begitu oleh pemerintahnya. Sebenarnya bukan nrimo sih, tapi mungkin tak ada waktu buat protes, buat demonstrasi ke Bundaran HI, sementara perut butuh isi, pulsa harus tetap oke, anak harus tetap sekolah, istri hamil lagi, dan aspirasi tersumbat di tengah got. Angin datang lagi, tak ada sedikit pun aroma bulan, benda-benda langit yang biasanya terlihat bercahaya, malam itu hilang berjamaah. Sebentar lagi sampai di Pedongkelan, sebuah daerah yang punya perkampungan seperti di film Slumdog Millionare, tepat di pinggir semacam danau yang airnya hijau bagai kubangan kerbau. Keringat membuat kacamata minus berembun lagi, saya bersihkan dengan baju kerja, pakai lagi, berembun lagi : resiko bermata empat. Saya lihat lagi keluar, oh sudah di Pedongkelan. Di depan sudah terlihat komplek ITC Cempak Mas dan antrian kendaraan yang tak ada putusnya. Sopir berjuang keras mencari celah di tengah kendaraan yang tumpah ruah. Lalu sampailah di perempatan Cempak Mas, dan MasyaAllah... : macet pisan !!!.

Saya turun dan memilih berjalan kaki, Sumur Batu sedikit lagi. Tiga metro mini tenggelam setengah badan, tepat di dekat halte Cempaka Timur. Kemacetan yang benar-benar tidak bisa diurai. Saya naik ke jembatan penyebarangan dan bertemu tiga orang karyawati bank yang sedang seru berphoto-photo dengan latar belakang banjir dan kemacetan, oh pasti buat dipamerkan di fb. Dari atas terasa sekali, Jakarta seperti sarang kunang-kunang yang tak mau berhenti mengeluarkan cahaya. Saya berdiri sebentar di jembatan penyeberangan itu dan kemudian pulang lewat komplek ruko Cempaka Mas. Sandal jepit masih dipijak, dan dingin mulai terasa menyerang. [ ]

27 Oktober 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun