Mohon tunggu...
Irfan Teguh Pribadi
Irfan Teguh Pribadi Mohon Tunggu... -

Saya seorang peminat buku dan terkadang suka menulis. Sekarang tinggal di Jakarta. Belum lama seorang kawan saya berkata : "masadepan adalah sekarang, jadi maksimalkanlah hari ini".

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Hot Inside

11 November 2010   10:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:42 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Nadya sedang mandi pagi itu, ketika seorang laki-laki masuk ke kamar. Di bawah guyuran air yang dingin dia tidak tahu, laki-laki itu tengah tidur di atas kasur. Aktivitas di kamar mandi di mana-mana sama, gosok ini, gosok itu, guyur ini, guyur itu, semua tidak ada yang istimewa, kecuali jika Nadya membuatnya menjadi istimewa. Laki-laki itu sebenarnya tidak tidur, dia hanya memejamkan mata saja, dia sebenarnya tengah menunggu, menunggu sesuatu yang membuatnya tidak sabar. Dengan hanya memakai handuk sebatas dada, Nadya kemudian berjalan menuju kamarnya. Sementara karena sudah tidak sabar, laki-laki yang di kasur kemudian membuka baju. Kemudian Nadya masuk kamar dan menutup pintu, lalu memakai baju dan membereskan buku, Nadya kuliah pagi hari. Yang ditunggu laki-laki itu akhirnya datang, kawannya yang bernama Iwan datang membawa minyak angin dan uang logam, bersiap dia mau kerok punggung laki-laki yang tengah terbaring, karena semalam suntuk main PS dengan jendela kamar terbuka, laki-laki itu akhirnya masuk angin dan harus dikerok dengan bantuan kawannya, untung dia kuliah siang hari. Nadya pergi ke kampusnya yang berada di Depok. Sementara laki-laki itu tengah dikerok di kamarnya di Bandung.”

Itu adalah dua adegan tentang dua orang mahasiswa yang berbeda tempat. Nadya dan laki-laki yang masuk angin. Dua adegan dalam satu cerita. Kamu suka adegan yang mana?. Yang mandi atau yang dikerok?. Oh, mungkin ini tergantung jenis kelamin. Tapi yang pasti kamu adalah seorang sutradara. Ketika kamu menulis, sebenarnya kamu juga tengah membayangkan apa-apa yang kamu tulis itu. Maka cerita yang bergulir adalah potongan-potongan adegan yang sambung-menyambung. Mirip dalam sebuah film. Jalan cerita seperti apa yang kamu inginkan?, itu tergantung bayangan adegan yang ada di kepalamu. Maka sebuah tulisan adalah rangkaian adegan-adegan yang kamu reka-reka sesuai selera kamu. Tapi jika itu bukan fiksi melainkan cerita nyata, maka kamu juga pasti sambil mengingat peristiwa yang telah kamu alami atau merangkai berbagai teori dan konsep.

Membayangkan sesuatu yang akan kamu tulis, terkadang membutuhkan mata yang terpejam, atau kamu akan menerawang, melihat-lihat tapi tidak fokus dan kosong, karena pikiranmu sedang tertuju pada bahan tulisan, pada adegan yang akan kamu tuliskan. Kadang-kadang hal itu membuat kamu pusing, karena terlalu banyak adegan yang memungkinkan untuk kamu tulis. Menuliskan seorang Nadya yang sedang mandi saja bisa banyak sekali. Bisa kamu bahas dari masalah sabun dulu, bisa dari baju dulu, bisa dari keluarga Nadya dulu, dan macam-macam yang lain sesuai seleramu. Sehingga hal itu terkadang membuat kening berkerut-kerut dan kepalamu terasa pening, karena tumpukan ide yang menggunung, karena gagasan tumpang tindih di batok kepalamu.

”Adegan Panas” adalah salah satu ide yang keluar dari keputusanmu dalam menuliskan sesuatu, dan hal ini sangat relatif. Tergantung seleramu. Mau dibawa kemana banjir idemu?. Mau seperti apa jadinya tsunami gagasanmu?.

[Id hawab ajem urug ub agitiges anrawreb harem nuram]

Seperti ingat Bandung. Angkot Gerlong - Ciwaruga yang selalu menunggu penuh, komposisi harus lima-tujuh. Gang penuh dengan kuburan, dan penduduk masih rajin bakar kemenyan. Khairil anam di setiap awal subuh dan ashar, warung mie rebus yang berjajar dengan jarak yang wajar. Warnet dengan kecepatan orang sabar, download tiga lagu perut keburu lapar. Tukang cukur dekat warung fotokopi, dan jalanan yang sering penuh debu. Alfamart di pusat ibukota, tak jauh dari kantor kepala desa. Penuk sesak di Salwa dan nasi Padang si Uda. Rental DVD selalu menyembunyikan film biru, dan mahasiswa yang menyewa selalu berbisik dengan malu-malu.

Seperti ingat Bandung. Naik jurusan Ledeng-Kebon Kalapa, dan turun di Gramedia. Mahasiswa kere dilarang beli buku, harga kertas mencekik penerbit. Lalu terdampar di pojok buku murah yang tak laku, beli novel tebal seharga sembilan ribu. Omunium di Ciumbuleuit, Rumuh Buku di Hegarmanah, Rumah Malka di Suci, Alebene di Karang Sari, Baca-baca di selasar utara Sabuga. Perjalanan malam Sarijadi-Viaduct, tiga orang dikhianati ijazah Diploma. Perempuan symbol khayalan di Sarijadi, penyu yang diawetkan di depan kostan Amerika. Kawan-kawan penganguran beradu tembakau di tempat jemuran, menghitung nasib di bawah sinar matahari sore.

Seperti ingat Bandung.Persib. Siliwangi. Lembang. Cikole. Jayagiri. Manglayang. Babakan Siliwangi yang dinding jalannya penuh tato. The Pandal. Barak, asrama di bibir jurang. Perempuan Wanguihujan.

"Jangan takut preman, preman juga makan nasi

Jangan takut Polisi, kalau tidur kita gilas

Jangan takut Tentara, tentara juga punya istri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun