Mohon tunggu...
Irfan Teguh Prima
Irfan Teguh Prima Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pembelajar sepanjang hayat

Selanjutnya

Tutup

Money

Hilirisasi Minerba, Kebijakan Setengah Hati (Lagi)?

2 Januari 2014   00:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:15 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Amanat UU No.4 tahun 2009 dengan jelas mengatakan bahwa tidak lagi diperbolehkannya ekspor bahan mineral mentah dimulai dari 12 Januari 2014, yang notabene tidak lama lagi. Berbagai kebijakan pendukung sudah dibuat untuk mendukung dan menjalankan peraturan hilirisasi industri minerba ini, akan tetapi jauh panggang daripada api, sudah 5 tahun UU tersebut disahkan, pelaksanaannya kembali diragukan dan bahkan beberapa menteri meminta "relaksasi" peraturan selagi beberapa perusahaan pertambangan menyelesaikan pembangunan pengolahannya. Lalu apa yang salah sebenarnya?

Hal yang menjadi perhatian belakangan adalah ketidaksiapan industri pertambangan dalam memenuhi tenggat waktu pengoperasian smelter, hal ini membuat beberapa perusahaan pertambangan mengancam akan hengkang dari Indonesia jika dilarang melakukan ekspor bijih mineral. Ketakutan utama pemerintah dan kalangan industri adalah hilangnya nilai ekonomis ekspor mineral selama beberapa waktu, padahal seperti yang kita tahu Indonesia masih cukup bergantung pada ekspor barang mentah. Menteri Keuangan, Chatib Basri sendiri telah mengatakan bahwa meskipun ekspor akan turun tajam tetapi pada 2015 ekspor olahan (procced) akan naik cukup signifikan, kalau sekarang angkanya sekitar 4,9 miliar dolar, maka pada 2015 mungkin naik mendekati sembilan miliar dolar (Yahoo.com).

Ada yang optimis ada pula yang pesimis, Menteri Perindustrian M.S Hidayat mengatakan diperkirakan pabrik pemurnian (smelter) mineral di dalam negeri masih belum siap hingga 2014 (website Kemenperin). Dikhawatirkan pula hal ini akan menyebabkan gelombang PHK tenaga kerja pertambangan Indonesia. Tentunya hal ini menyebabkan kebingungan di kalangan masyarakat, apakah kebijakan ini memang sepenuh hati dibuat oleh pemerintah atau (lagi-lagi) hanya kebijakan pemanis menuju tahun politik. Jika kita melihat pada potensi ekonomi pembangunan smelter tentunya hal ini berdampak sangat positif bagi perekonomian Indonesia. Keberadaan Smelter tentunya akan mengundang arus modal asing masuk karena pembangunannya yang cukup mahal, selain uang yang masuk dalam pembangunannya, keberadaan Smelter ketika sudah selesai tentu saja dapat menciptakan lapangan kerja baru dengan jumlah tidak sedikit,  selain itu smelter juga merupakan upaya dalam menciptakan nilai tambah bagi perekonomian Indonesia, seperti yang kita tahu bahwa selama ini industri minerba Indonesia sangat minim kontribusinya bagi perekonomian negara dibandingkan dengan sumber daya yang sudah mereka keruk.

Pengajuan pembangunan smelter sebenarnya sangat banyak, bertebaran seperti jamur dikala hujan, namun yang disayangkan adalah kebanyakan smelter masih dalam tahap pengajuan. Pembangunan smelter tidak semudah membangun telapak tangan, dibutuhkan 2-3 tahun membangun smelter lengkap dengan pasokan sumber tenaganya. Bisa saja terjadi gejolak kecil sampai besar dalam industri pertambangan nasional karena ketidaksiapan industri pengolahannya di dalam negeri sendiri. Maka, dengan semakin dekatnya pemberlakuan UU No.4/2009 dan kenyataan bahwa masih banyak smelter yang sedang dibangun atau masih dalam pengajuan, akankah pemerintah dapat konsisten menjalankan keputusannya? Apakah kebijakan ini (lagi-lagi) merupakan kebijakan setengah hati dan minim perencanaan? Apakah pada detik-detik terakhir akan muncul kebijakan jalan pintas berupa "relaksasi ekspor" kepada industri pertambangan? Rasanya sudah cukup banyak di negeri ini ayam yang mati kelaparan di lumbung padi, jika momentum perubahan ini disia-siakan (lagi) negeri ini akan kembali menunggu, entah apa yang ditunggu.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun