Apa yang membuat sebuah kampanye diterima oleh publik? Ada banyak sebab. Salah satunya, adalah pilihan kata yang tepat. Mari kita simak dua iklan layanan masyarakat dengan tema keselamatan di jalan raya ini. Kampanye pertama berasal dari Australia, berjudul "Cara-cara Dungu untuk Mati" - "Dumb Ways to Die". Kampanye dengan menggunakan tiga menit animasi ini, diluncurkan oleh pengelola Metro Trains, sebagai upaya mengurangi kecelakaan pengguna kereta api di Melbourne. Tujuannya adalah untuk mengaet publik yang tak mau mendengar pesan yang berat dan menggurui. Link ke Youtube Video animasi yang ditulis oleh John Mescall dari McCann itu menampilkan pesan bahwa banyak cara untuk mati, dan ditabrak kereta adalah sesuatu yang sebenarnya bisa dihindari. Dengan menggunakan tokoh yang imut dan grafis yang bersih, kampanye ini juga menggunakan musik yang "easy listening" dari musisi setempat, Tangerine Kitty. Laman Tumblr, yang berisi potongan gambar video kampanye juga tersedia disini. Kampanye berikutnya datang dari negeri sendiri, Indonesia. DILARANG TOLOL. Itulah slogan utama yang menjadi sorotan kampante ini. Dikutip dari website mereka: "Dilarang Tolol adalah kampanye untuk mewujudkan jalanan yang aman di Indonesia. Kampanye ini bagian dari dukungan kami untuk Decade of Action for Road Safety yang diprakarsai oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Semua data yang disampaikan dalam situs ini dikompilasi dari informasi yang ada pada The United Nations Road Safety Collaboration (UNRSC)."
Kampanye yang didukung oleh Tunas Cendekia ini memakai kata yang--saya gunakan kata yang halus--provokatif. Kata "TOLOL" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan Kateglo berarti "sangat bodoh" atau "bebal". Bisa jadi, pengagas yang ada di belakang kampanye ini, sangat bersemangat dalam memilih kata. Mereka menggunakan diksi "kasar" dan superlatif untuk menyasar target dan sasaran kampanye. Tidak cukup dengan menggunakan "bodoh", kata TOLOL yang merupakan bentuk superlatif dari bodoh dijadikan pesan utama dan menjadi merek akun di media sosial. Makna peyoratif yang ditimbulkan oleh kedua kata itu berbeda, dan memiliki nilai rasa bahasa yang tak sama. Kampanye pertama menggunakan kalimat yang dapat dimasukkan dalam komunikasi persuasif. Sementara, pilihan kata yang dipakai kampanye kedua, koersif. Koersif dapat berarti ancaman, paksaan, dan punya relasi erat dengan kekerasan. Manakah yang lebih tepat digunakan untuk kampanye perubahan sosial? Tak ada jawaban mujarab untuk semua ini. Sebab kampanye perubahan perilaku, adalah sesuatu yang melibatkan banyak hal. Namun, jika boleh saya menilai,semuanya akan tergantung pada siapa target yang dijadikan sasaran kampanye. Lapisan masyarakat yang mana yang akan menjadi fokus dan sorotan, dan menjadi publik penerima pesan-pesan kampanye, itulah salah satu kunci yang harus dipahami oleh seorang perencana komunikasi perubahan perilaku. Identifikasi detil mengenai gaya berbahasa, pilihan kata dan corak grafis akan menentukan dan mendefinisikan khalayak yang menjadi target. Merancang sebuah pesan dalam kampanye komunikasi sosial, membutuhkan serangkaian pemahaman tentang target masyarakat yang dipilih. Aplikasi dari pemahaman itu, pada akhirnya akan menentukan ragam pesan yang diambil. Kedua kampanye diatas, punya target yang berbeda. Oleh karenanya, punya pilihan kata yang berlainan pula. Menurut Anda, diantara dua kampanye diatas, mana yang lebih dapat diterima?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H