Indonesia memiliki kekayaan alam luar biasa dan keragaman budaya yang masih dijaga oleh masyarakatnya, seperti masyarakat adat  Cia-Cia di salah satu pulau di Sulawesi. Tepatnya di Pulau Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara.
Seperti wilayah pada umumnya di Indonesia, masyarakat Cia-Cia masih menggunakan bahasa Cia-Cia untuk berkomunikasi sehari-hari. Namun, bahasa Cia-Cia tidak memiliki aksara sendiri. Masyarakat Cia-Cia mengadaptasi aksara Hangeul dari Korea untuk melestarikan bahasa Cia-Cia.
Dikutip dari web site Jendela Kemendikbud, Pada tahun 2009 Wali Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, Mz. Amirul Tamim membuat kebijakan yang memungkinkan bahasa Cia-Cia mengadaptasi aksara Hangeul sebagai aksara resmi bahasa Cia-Cia.
Hal itu banyak menimbulkan pro dan kontra. Namun, dibalik pro dan kontra aksara Korea sebagai aksara Bahasa Cia-Cia, tujuannya tetaplah sama. Melestarikan bahasa Cia-Cia sebagai bahasa daerah.
Kebijakan penggunaan Hangeul dimulai dengan Simposium Naskah Internasional ke-9 pada tanggal 5-8 Agustus 2005. Setelah simposium, ketika para peserta melakukan keliling kota, ahli Bahasa Malaysia Mr. Chun Tai-Hyun berkata bahwa bahasa Cia-Cia membuatnya teringat pada bahasa Korea.
"Aksara Hangeul dapat digunakan sebagai aksara untuk bahasa Cia-Cia yang sedang mengalami kepunahan," kata Chun Tai-Hyun dalam artikel berjudul Aksara Korea dalam Bahasa Cia-Cia yang ditulis Mikka Wildha Nurrochsyam dilaman Jendela Kemendikbud tahun 2021.
Pernyataan Mr. Cheon Tae-Hyun yang kala itu sedang bercanda, direspon positif oleh Wali Kota Bau-Bau. Pada akhirnya Wali Kota Bau-Bau meresmikannya menjadi aksara resmi untuk Bahasa Cia-Cia.
Pada tahun 2013 kemudian dilakukan penelitian untuk memperdalam keilmuan terkait adaptasi aksara Korea menjadi aksara resmi Bahasa Cia-Cia.
Lokasi penelitian terletak di kota Bau-Bau, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara, dan merupakan tempat adaptasi aksara Korea. Penelitian dilakukan selama 7 hari. Terhitung dari tanggal 15 Desember sampai dengan 21 Desember 2013.
Adaptasi aksara Korea menjadi Aksara resmi Bahasa Cia-Cia menimbulkan Pro dan Kontra yang terjadi di wilayah Bau-Bau, Sulawesi Tenggara.
Bagi pihak yang Pro mereka menelisik jejak masa lalu pada masyarakat Sulawesi yang juga menggunakan aksara Arab ke dalam Bahasa Wolio.
"Mereka berargumen bahwa adaptasi aksara Korea menjadi aksara Cia-Cia itu sangat mungkin, seperti dinamika yang terjadi pada masa lalu juga adaptasi aksara Arab menjadi aksara Buri Wolio aksara yang digunakan untuk bahasa Wolio. Kenyataannya dengan adaptasi aksara Arab tidak membuat masyarakat memiliki identitas budaya Arab," tulis Mikkha, Peneliti  Peneliti pada Pusat Penelitian dan Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan Badan Penelitian dan Pengembangan, Kemendikbud.
Sementara itu, pihak yang kontra berargumen memiliki ketakutan kalau suatu saat Bahasa Cia-Cia malah tercampur dengan Bahasa Korea.
"Masuknya aksara Korea ke dalam bahasa Cia-Cia justru mengakibatkan percampuran bahasa antara bahasa Cia-Cia dan bahasa Korea, yang akhirnya akan diikuti oleh masuknya kosa kata dan istilah bahasa Korea dalam bahasa kata Cia-Cia," kata pihak yang kontra, seperti yang ditulis Mikhha.
Demikian keragaman bahasa dari seluruh wilayah di Indonesia yang perlu dilestarikan dan penting untuk diketahui bersama. Bahasa Cia-Cia akan tetap dipakai dan dilestarikan oleh masyarakat di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H