Mohon tunggu...
Irfan Suparman
Irfan Suparman Mohon Tunggu... Penulis - Fresh Graduate of International Law

Seorang lulusan Hukum yang hobi membaca dan menulis. Topik yang biasa ditulis biasanya tentang Hukum, Politik, Ekonomi, Sains, Filsafat, Seni dan Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Awas! Malapetaka Diri Sendiri dan Jebakan Teknologi

11 Juni 2021   17:38 Diperbarui: 11 Juni 2021   18:06 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jebakan Teknologi / Dokumen Pribadi

Skema tersebut menghasilkan pemikiran kritis akan standar kecantikan yang melekat dalam stigma masyarakat. Stigma masyarakat tumbuh seiring adanya dominasi dari kelompok masyarakat yang dirangkul bersama sistem ekonomi kapitalistik, yang pada akhirnya menciptakan standar masyarakat yang homogen dan populis.

Ketahuilah bahwa melawan diri sendiri tidak serta merta menghilangkan lingkaran setan yang sudah ada, yaitu standar nilai dari masyarakat yang mendarah daging. Masyarakat dibawa oleh arus budaya populis untuk menyingkirkan individu-individu yang kritis dan sadar terhadap keadaan dan situasional masyarakatnya. Cakupan nilai bermuara pada produk-produk yang individu sematkan ke badan sebagai pendorong status sosial dan nilai.

Perkembangan teknologi menambah semua ini seakan-akan tidak bisa diubah. Kehadiran teknologi yang pada dasarnya untuk kepentingan dan kesejahteraan umat manusia malah senantiasa memutus akar permasalahan dan menimbulkan masalah baru. Perubahan budaya hanya menjadi komoditas baru yang direspon oleh pasar.

Jadi, bagaimana caranya untuk mencintai diri sendiri di era yang serba cepat ini dan teknologi yang semakin berkuasa, yaitu menyadari bahwa diri sendiri mampu menyetop arus perkembangan teknologi dan menyadari dampak dari teknologi itu sendiri. Mencintai diri sendiri bukan sebatas mengapresiasi hasil kerja diri sendiri dengan membelikan diri sendiri sebuah produk. Sejatinya, bentuk yang seperti itu adalah kebahagiaan yang diciptakan pasar.

Musuh terbesar manusia bukan terletak pada diri sendiri, tapi pada teknologi. Kita mempelajari teknologi tapi kita tidak mempelajari pikiran kita untuk bijak dalam memakai teknologi. Otak kita dipengaruhi dan dipetakan sesuai dengan keinginan-keinginan yang berdasarkan pada keputusan yang emosional. Pengaruh teknologi bukan hanya sebatas pada finansial semata, tapi juga kondisi mental individu.

Kita tidak mau memiliki masa depan yang berantakan karena kemahakuasaan teknologi dalam mengontrol berbagai hal sampai ke hal terkecil seperti memilih makanan. Jangan sampai kita menjadikan teknologi sebagai berhala bagi diri sendiri. Sebelum semuanya seperti novel distopia, ada arus yang harus kita hentikan sekarang juga.

Yang pertama adalah arus pemikiran konsumtif. Sekarang realitanya, semua manusia selalu konsumtif tentang apapun itu. Yang Kedua adalah arus politik identitas. Banyak hal yang menjadi kacau karena politik identitas (ras, agama dan suku), karena arus politik identitas ini kita melihat bagaimana pemimpin di demo karena menistakan sebuah agama. Yang Ketiga adalah menyadari bahwa bumi adalah satu-satunya tempat yang kita huni sampai anak cucu kita lahir selagi menunggu planet mars bisa dihuni oleh manusia.

Semua penyembahan atas diri sendiri, teknologi, budaya ataupun agama saat ini harus memusatkan perhatian bersama atas apa yang sudah manusia lakukan sejauh ini. Fokus kesehatan mental saja tidak mengubah selagi masih ada penindasan kelompok yang berpengaruh terhadap mental individu dan perkembangan memori manusia. Menjaga kelestarian alam dan terus berpikir rasional adalah kunci hidup yang lebih baik di tengah lautan masyarakat kelas munafik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun