Mohon tunggu...
Irfan Suparman
Irfan Suparman Mohon Tunggu... Penulis - Fresh Graduate of International Law

Seorang lulusan Hukum yang hobi membaca dan menulis. Topik yang biasa ditulis biasanya tentang Hukum, Politik, Ekonomi, Sains, Filsafat, Seni dan Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengendalikan Diri dari Jebakan Konsumerisme

6 Juni 2021   19:26 Diperbarui: 6 Juni 2021   19:28 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi oleh Penulis

Setiap bulan saya sering mendapatkan notifikasi berupa promo atau diskon belanja dari beberapa aplikasi e-commerce yang saya miliki di telepon saya. 

Notifikasi itu memberitahu kalau di hari tertentu untuk barang atau produk tertentu memiliki promo istimewa. Bahkan merek-merek tertentu juga tidak mau ketinggalan untuk menjadi bagian dari peristiwa tersebut. Berbagai macam strategi marketing-pun dikerahkan untuk menarik perhatian saya sebagai calon pembeli.

Mereka berhasil mencuri perhatian saya. Dengan kata-kata ajaib dari para copywriting dan visual yang menarik dari graphic designer membuat perhatian saya langsung tertuju pada produk yang mereka tawarkan. 

Mereka mencoba meyakinkan saya, kalau saya membutuhkan barang tersebut. Padahal jika, saya boleh berpikir rasional, saya tidak butuh-butuh amat produk yang sedang mereka tawarkan.

Sesekali mereka mampu mendorong saya untuk membeli. Pada akhirnya, ketika saya memiliki barang atau produk tersebut, saya berkata "Untuk apa saya membeli ini?" itulah kalimat tanya saya kepada diri saya sendiri sebagai bentuk penyesalan. 

Yang luar biasa dari sebuah produk bukanlah nilai guna atau nilai fungsi dari produk tersebut, yang luar biasa adalah nilai kepuasan. Ketika saya membelinya tanpa memperhatikan nilai guna atau fungsi maka saya hanya membelinya dengan nilai kepuasan. 

Kepuasan sendiri berada pada ranah emosi. Suatu produk yang baik atau laku dipasaran adalah produk yang mampu mempengaruhi emosi calon pembeli.

Emosi sendiri sering dipahami pada satu perasaan saja (marah misalnya). Sejatinya perasaan memiliki banyak ragam. Ada senang, sedih, hampa dan banyak lainnya. Pemahaman kita terhadap emosi ini yang harus dicerahkan. 

Menurut pakar neourosains, Dr. Ryu Hasan dengan judul video "Hasrat, Emosi, dan Rasionalitas by Dokdes Ryu Hasan | Mental Brain Series Eps-1" melalui YouTube, InsideOurBrain. 

Menjelaskan tentang emosi. Menurutnya emosi adalah bagaimana otak kita mengenali pola, entah itu pola yang diluar tubuh kita atau dalam tubuh kita, dan merespon pola itu dengan cepat. 

Jadi, pilihan yang kita pilih ternyata digerakan oleh otak emosi. Seperti ketika dihadapkan pada rasa lapar, kita makan adalah suatu keputusan yang emosional.

Dalam video tersebut juga disebutkan bahwa manusia lebih sering menggunakan otak emosional daripada otak rasionalitas dalam mengambil keputusan. 

Mari kita menarik bagaimana keputusan emosional mempengaruhi manusia dalam memutuskan untuk membeli suatu produk atau barang. Berbagai macam produk yang ditawarkan bukan menawarkan nilai guna, tapi menawarkan nilai kepuasan yang mempengaruhi kerja otak emosional.

Pada zaman yang serba canggih dan dinamis ini. Semua bisa masuk ke dalam otak kita dan otak dengan cepat merespon. Arus informasi yang kita terima juga tidak dapat kita filterisasi. 

Sebagai contoh adalah notifikasi diskon produk sepatu sampai dengan 70%. Notifikasi itu kita terima, lewat iklan di media sosial atau melalui notifikasi langsung dari bar notifikasi telepon kita.

Pengaruh buruk digitalisasi salah satunya adalah kita tidak dapat membendung arus informasi. Semua informasi baik buruk masuk dan di respon. 

Satu-satunya yang dapat kita lakukan saat ini adalah meningkatkan kesadaran diri akan bahaya dan malapetaka dari bom notifikasi yang tidak kita inginkan. 

Dengan cara menutup notifikasi aplikasi yang tidak perlu, menghindari menonton TV sepertinya menggunakan YouTube premium lebih baik untuk kesehatan mental dan finansial, banyak baca buku dan mengurangi diri dari penggunaan media sosial.

Dengan meningkatan kesadaran diri kita, kita lebih memahami apa yang diinginkan diri sendiri. Untuk itu penting sekali mengontrol emosi dan mengelola emosi menjadi lebih baik. 

Supaya emosi kita tidak dijadikan target pasar oleh para pengendali pasar yaitu kaum kapital. Bukan maksud mengkritik kapitalisme, tapi memang begitu kenyataannya.

Saya kira hal-hal yang disebutkan diatas dapat membantu untuk mempengaruhi diri kita untuk lebih memilah apa yang kita butuhkan dan kita tidak butuhkan. 

Jangan sampai kita dibuat bingung dan pada akhirnya kita terbawa oleh arus. Sebagai makhluk yang berpikir, kita harus terus berpikir terhadap hal-hal yang masuk ke dalam diri kita. 

Iklan-iklan yang masuk harus kita cerna dengan baik, jangan sampai kita membeli hanya karena suatu kepuasan. Entah itu berbentuk pengakuan dari masyarkat atau diri sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun