Hari mulai gelap, suara bedug adzan sudah terdengar dari kejauahan. Saatnya berbuka Puasa. Mulai dari takjil hingga makanan besar sudah di makan. Ku hisap rokok ku depan pagar rumah sambil melihat anak tetangga bermain lari-larian dengan pecut sarung.
Adzan Isya berkumandang, lima batang rokok telah habis dihisap. Ku sempatkan waktuku untuk bergegas terawih. Sudah rapih, saatnya berangkat menuju masjid.
Jarak antara rumahku dengan masjid cukup jauh. Dalam perjalanan menuju masjid harus melewati pohon besar yang sepi. Aku tau ini Ramadhan, bulan yang dimana setan dan iblis dapat menggoda manusia.
Tapi manusia tetap manusia, berhak atas rasantakutnya. Sambil membaca istighfar, aku terus berjalan. Ke betulan ada orang yang juga ingin menuju masjid, jadinya aku tidak sendirian. Aku bersyukur dalam hati, untung saja ada orang yang melewati jalan ini.
Pohon itu konon katanya, pada tahun 1965-1966 adalah tempat untuk menggantung para orang komunis yang diduga tergabung dalam Partai Komunis Indonesia. Penggantungan disaksikan seluruh warga termasuk para PKI itu sendiri. Penggantungan dilakukan oleh para tokoh masyarakat yang dekat dengan cendikiawan. Banyak kejadian aneh setelah peristiwa itu, yang melakukan eksekusi setahun berikutnya bersetubuh di bawah pohon itu dengan botol kecap. Kasus lain juga ada yang ceramah sambil mengelilingi itu pohon seakan-akan ia tawaf. Parahnya ada yang gantung diri di pohon itu.
Sesampainya di masjid, salat Isya sudah di mulai yang kemudian dilanjut dengan ceramah. Dalam ceramahnya, khotib menyampaikan kisah tentang dua pemuda PKI yang pernah mengacungkan arit ke dirinya. Ia membeberkan kalau PKI itu kafir dan anti agama. Dengan muka yang masam, ia menekan ekspresinya sambil meneriakan "Halal kepalanya untuk dipenggal!" Teriak khatib.
Entah mengapa, ceramah tentang PKI selalu saja ada di bulan Ramadhan. Hampir setiap Ramadhan yang aku lalui di desa ini. Sudah 10 tahun aku disini dan setiap ceramah tentang PKI pasti selalu dia orangnya dan selalu ramai karena diawal bulan Ramadhan. Ceramahnya begitu menggebu-gebu, sehingga para jemaah dengan khidmat mendengarkannya. Setiap tahun, ceritanya berbeda-beda. Tapi kisah dua pemuda ini bikin ngeri diriku, mungkin karena aku membayangkan itu diriku lantaran aku juga pemuda.
Setalah lebih dari tiga puluh menit khatib menyampaikan ceramahnya, ia pun turun. Salat terawih pun dimulai. Aku pun merasa ngantuk karena saat berbuka tadi aku cukup banyak mengkonsumsi karbohidrat. Sampai kekenyangan.
Pada rakaat pertama, panjang sekali surat yang dibacakan. Aku sudah tidak fokus karena ngantuk. Terlintas dipikiranku tentang orang-orang PKI yang mati di bawah pohon besar itu. Ah, aku harus fokus. Tapi bagaimana dengan kuburannya, aku tidak pernah melihat ku buruan orang PKI. Ah, ayo fokus.
Rakaat kedua, kali ini suratnya tidak terlalu panjang. Suara imam ini indah, sehingga membuatku semakin mengantuk. Mata ku sayup-sayup terpejam, tiba-tiba bayangan anak PKI, berumur lima tahun di tusuk kepalanya dengan linggis sambil berdiri. Astagfirullah, langsung terbuka mataku. Itu adalah kisah dari kakaku yang menyaksikan peristiwa itu. Konon, anak itu adalah anak dari petinggi partai.
Rakaat ketiga, panjang lagi. Suratnya lebih panjang dari yang pertama. Pemikiran ku semakin tak karuan, setiap gerakan solat yang terlintas di pikiran beragam. Kebanyakan soal PKI, kadang soal kerjaan, kadang juga soal kompor di rumah. Sungguh tidak fokus.
Sampai pula pada rakaat terakhir. Aku mencoba untuk tetap fokus. Tapi tetap saja pikiran ini tidak dapat dihentikan. Aku hanya ingin fokus dalam hati ku berkata.
Salat tarawih selesai, saatnya pulang ke rumah. Aku bergegas pulang supaya mengecek kompor dan pekerjaan ku yang sedari tadi terlintas di pikiran. Aku mencari sendalku dan kemudian pulang.
Sebelum melewati pohon besar itu, pikiranku berkecamuk. Aku memikirkan roh-roh gentayangan di desa ini. Sekali lagi aku meyakinkan diriki, bahwa ini adalah bulan Ramadhan bulan yang tidak ada hantu-hantu seperti hantu komunis.
Ketika aku melangkah perlahan melewati pohon itu. Semakin dekat dengan pohon itu terdengar suara tertawa laki-laki. Langsung seluruh tubuhku merinding. Pas di pohon itu suaranya semakin terdengar jelas.
"Hahahaha" suara ketawa di balik pohon itu.
Aku semakin takut, aku mencoba untuk lari saja. Tapi gagal, karena ada yang memanggilku. Dia adalah Jalal, temanku.
"Astagfirullah, Jalal. Ngapain kamu disitu?" Dengan nafas terangas-ngos aku bertanya kepada Jalal.
"Ini, Mil. Biasalah. Sini, kamu mau gak?" Jawab Jalal cengengesan.
"Apa itu ?" Tanyaku.
Jalal datang menghampiriku dan membawaku ke balik pohon itu. Ternyata di balik pohon itu ada beberapa kawan Jalal juga. Mereka adalah para pemuda desa pengangkut beras di pasar. Marwan dan Agus.
"Ini." Jalal menyodorkan sesuatu.
"Ganja ?" Tanyaku dengan bingung.
"Ia, ini." Kembali menyodorkan.
Aku menolaknya dan langsung berpamitan kepada mereka. Bukan aku tidak suka ganja, tapi dikonsumsi tanpa anjuran dari medis aku tidak mau. Walaupun banyak fakta yang menunjukkan bahwa ganja dapat bermanfaat untuk medis, tapi Jalal bukanlah ahli medis. Ia hanya menggunakan ganja, hanya untuk rekreasi.
Tidak habis pikir, kenapa mereka menghisap ganja di balik pohon itu. Mereka pasti tau betapa angker dan tragisnya peristiwa di bawah pohon itu. Mereka malah tertawa, seakan-akan tempat itu adalah wahana.
Sampai aku di rumah, dengan segera aku mengecek kompor kemudian melanjutkan pekerjaan ku. Sial, kerjaanku belum aku kirimkan. Untung saja waktu masih tersisa satu jam. Masih bisa aku kirim sekarang juga.
Mengingat kembali ceramah tadi, membuat aku terbayang. Betapa tragisnya masa itu, masa pembantaian orang-orang PKI. Mungkin orang yang membunuh dan dibunuh sudah bertemu di alam sana, mereka. Entah siapa yang dihakimi atau malah mereka saling mengasihi karena mereka tau kehidupan disana akan kekal selamanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H