Sebuah perjalanan merupakan sebuah kabar menggembirakan untuk disimak baik-baik dengan duduk di kursi dan sembari minum teh. Selagi masih muda, melakukan perjalanan yang berani merupakan suatu bentuk pengabdian masa muda. Tinggal menunggu dikala tua, duduk masih dengan teh dan mulai menyeduhkan cerita hari muda yang telah kita lewati.
Atau jangan-jangan kita memilih untuk diam dan tidak mau menceritakan sebuah cerita yang luar biasa hanya karena respon seseorang yang tidak memiliki kesan terhadap cerita kita. Hmm, sebaiknya cerita itu ditulis saja dan semoga ada yang sudi membacanya.
Ketinggian Gunung Prau juga cukup ramah untuk para pendaki pemula seperti aku. Dengan ketinggian 2.565 Mdpl, kami berhasil mencapai puncak dengan jarak tempuh kurang lebih 5 jam perjalanan dengan pendakian yang tidak terburu-buru.
Dari Serang, kami berkumpul di Indomaret samping kampus UNTIRTA. Menunggu teman kami Arip yang berasal dari Cilegon karena dengan berbagai alasan yang membutnya baru mendapatkan bis dari Cilegon menuju Serang. Pada pukul 23.00 WIB kami memutuskan untuk menjemput Arip di Patung, daerah keluar Tol Serang Timur.Â
Setelah menjemput, kami beli bahan bakar dan e-toll tentunya. Dari Serang ke Wonisobo, kita berangkat tepat jam 00.00 WIB dengan bantuan Google Maps kita diprediksi sampai pada jam 08.00 WIB. Perjalanan dimulai.
Di mobil tak banyak cerita, hanya ada kisah untuk seorang supir dan navigatornya. Pada perjalanan pertama, Aldian selaku pemilik mobil yang menjadi supir sampai kira-kira menuju pintu Tol Palimanan. Kemudian digantikan Arip dan aku menjadi navigatornya. Pertama aku menjadi navigator, rute berubah namun masih sama menuju ke Patak Banteng, Wonosobo.Â
Google Maps pun mengarahkan ke jalanan Dieng. Yang jalannya naik turun, hingga kami bisa melihat awan di atas permukaan jalan. Sungguh indah dan menakjubkan perjalanan di jalan Dieng. Hamparan awan-awan beserta langit biru turut mengihiasi debaran perjalanan naik turun jalanan.
Pukul 09.00 WIB Kita semua sampai di basecamp. Sesampainya disana, semua bergegas mencari bekal pendakian. Untuk dimakan dalam perjalanan dan untuk kekebalan tubuh kami. Kemudian mengisi perut kami dengan sedikit makanan di basecamp. Ku putuskan untuk tertidur dan beristirahat.Â
Namun yang lain masih asik mengobrol dengan para pendaki lainnya. Pendakain di mulai pukul 15.00 WIB. Cuaca saat pendakian cukup bersahabat setelah hujan melanda basecamp tadi siang.
Di Pos Patak Banteng, kami semua mengumpulkan semua berkas dan merapihkan kembali barang bawaan kami. kemudian mencari air untuk minum dan memasak di perjalanan. Pendakian dimulai setelah kami semua berfoto, mengabadikan momen kami bersama.
Pendakian POS ke Satu Gunung Prau
Aku merasakan beban pertamaku untuk mendaki cukup lumayan menguras energi dan sesering mungkin mengatur napas. Untung, aku sering olahraga walaupun hanya lari kecil dan bersepeda. Jadi itu sudah biasa aku lakukan.Â
Jalur menuju pos satu semakin menanjak namun jalanan masih bebatuan, kemudian teman kami, Aldian sudah kelihatan kelelahan dan akhirnya tumbang. Semua makanan yang dimakan keluar semua. Akhirnya kami sampai pos satu, tas Aldian pun aku bawa sampai pos satu.Â
Di Pos satu kami mulai merebus teh dan kopi serta tolak angin untuk menghangatkan tubuh aldian. Sejak di basecamp udara pegunungan Dieng-Wonosobo memamg sangat dingin. Kira-kira 17°C dibawah sedangkan di puncak katanya bisa sampai 10°. Setelah Aldian kelihatan membaik, kita mulai lagi perjalanan menuju pos berikutnya.
Menuju POS 2
Selama perjalanan menuju pos kedua ini tidak banyak hal yang kami temukan. Aldian juga sudah terbiasa dengan jalur pendakian, dia sudah mulai mengatur napasnya. Sesekali kami berhenti dibeberapa tempat pemberhentian untuk meredakan lelah sejenak. Kami juga mengunjungi warung dan sedikit membeli jajanan gorengan hangat.Â
Nampak keindahan kawasan Dieng-Prau dari atas, ramah tamah warganya kelihatan dari atas. Sampai di Pos 2 dan hari sudah gelap. Kami memutuskan untuk menunggu sampai adzan selesai. Semua mempersiapkan lampu untuk penerangan jalan. Kami bersyukur malam itu tidak hujan sedikitpun menemani perjalanan kami.
Dari POS Dua ke POS 3, POS terakhir.
Perjalanan gelap, dengan sangat hati-hati kami lalui. Karena jalurnya semakin naik dan banyak tanah yang licin bekas hujan. Pendakian terus kami lakukan karena mengingat POS ketiga adalah pos terakhir yang harus kita lewati sebelum menuju puncak. Akhirnya kami berenam membagi menjadi dua tim.Â
Aku bersama Aa Ucen dan Teh Nia sementara Aldian, Arip dan Apan sebagai Tim yang satunya. Sampai di POS Tiga, kondisi tubuh kami sudah sangat lelah dan dingin malam sudah menyengat kulit-kulit kami. Aldian merasa sangat lelah dan kram. Aku memutuskan untuk membawa Tasnya dari POS 3 menuju puncak. Karena dari POS 3 ke puncak hanya berjarak sebentar.
Puncak
Sebelum sampai puncak, Teh Nia menangis karena merasa sangat lelah kemudian ditenangkan dan dikuatkan oleh Aa Ucen. Kami bertigapun sampai puncak duluan.Â
Kemudian kami mencari tempat untuk mendirikan sebuah tenda agar kami dapat beristirahat dan membuatkan makan dan minuman agar suhu tubuh kami tetap terjaga dan tidak kelelahan. Tenda pun jadi, kami tinggal menunggu Aldian dkk datang.Â
Namun, yang datang hanyalah Arip dan Apan yang kebingungan serta keletihan karena mencari-cari posisi tenda kami. Akhirnya aku dan Aa Ucen menjemput Aldian yang kram di dekat shelter.Â
Setelah menjemput kemudian tenda kedua kami buat. Setelah semua sudah rapih dan beres, kami tidak ada kesempatan untuk ngobrol dan berhahi sejenak karena waktu sudah cukup malam. Akhirnya kami makan, dan setelah makan kami bergegas untuk tidur karena kami tidak menginginkan fajar yang kami tunggu terlewati.
Sunrise di Prau
Aku yang pertama bangun, melihat keadaan luar sangat berkabut serta gerimis. Ku lihat waktu masih pukul 04.00 WIB, ku pikir itu masih terlalu dini untuk melihat matahari terbit.Â
Sejam setelahnya barulah mulai semburat matahari terbit muncul dari depan tenda kami persis. Sungguh pemandangan akhir tahun yang mengesankan bagi hidupku saat itu. Untuk pertama kalinya aku mendaki gunung dan melihat sunrise langsung di gunung yang ku daki.Â
Sungguh letih terbayar semua setelah pagi-pagi itu kami abadikan melalui semua rekam jejak media sosial kami. Semua orang terbangun dan mengabadikan setiap sunrise yang mereka idam-idamkan sejak pendakian pertama. Semuanya terlihat bahagia tanpa beban dan masalah, begitupun aku merasakannya.
Sungguh perjalanan mendaki ke atas gunung bukanlah perjalanan remeh temeh, banyak yang harus kita jaga. Apalagi lisan bocah-bocah kota yang pergaualannya kebarat-baratan harus benar-benar dijaga. Untuk perjalanan kali itu aku persembahkan sebagai hasil dari proses untuk menjadi manusia yang lebih menghargai waktu dan proses menjadi manusia yang peka terhadap yang lain seperti tumbuhan, hewan dan sekitarnya.Â
Perjalanan ini aku berinama dengan judul Skema Perjalanan Menjadi Manusia Di Gunung Prau. Karena bukan hanya letih dan pemandangan yang indah, tapi juga menjaga emosi tetap stabil dan mampu peka terhadap orang-orang yang lebih membutuhkan energi kita dan bagaimana menjadi manusia yang tidak memikirkan diri sendiri.Â
Mungkin dilain kesempatan perjalanan selanjutnya akan aku abadikan lebih detail lagi. Barangkali banyak yang dilupakan dari perjalanan tapi itulah yang dapat kita raih, lelah dan letih serta kebersamaan sebagai makhluk yang peka terhadap yang lain. Mampu menegosiasi dirinya menjadi manusia yang tidak mendewakan egonya.Â
Inilah kisah manusia yang sekedar haha-hihi tapi bisa melukiskan kisah di atas sana serta mampu membawa pulang pelajaran. Tulisan ini ku persembahkan kepada kawanku Aldian, yang terus berjuang sampai puncak melawan semua yang dikhawatirkan oleh dirinya sendiri. Dan dia mampu membuktikan tidak hanya pada dirinya tapi juga orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H