Mohon tunggu...
Irfan Suparman
Irfan Suparman Mohon Tunggu... Penulis - Fresh Graduate of International Law

Seorang lulusan Hukum yang hobi membaca dan menulis. Topik yang biasa ditulis biasanya tentang Hukum, Politik, Ekonomi, Sains, Filsafat, Seni dan Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Melawan Patriarki Dalam Novel "Perempuan di Titik Nol"

11 Mei 2020   14:47 Diperbarui: 11 Mei 2020   15:23 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Yayasan Obor Indonesia

"Karena Saya seorang yang cerdas, saya lebih menyukai menjadi seorang pelacur yang bebas daripada seorang istri yang diperbudak" Nawal El-Saadawi.

Sesuatu yang dianggap lemah di lingkungan sosial kini bangkit dan menunjukan keberaniannya. Diberi sifat lemah lembut, perempuan dianggap tidak dapat menyaingi laki-laki dalam persoalan pekerjaan oleh karena itu laki-laki diberi label kuat serta kasar. 

Labeling seperti itu yang menjadikan perempuan lebih rendah. Hal ini membuat perempuan mendapatkan ancaman dari yang lebih kuat. 

Dalam buku Perempuan di Titik Nol karya Nawal El-Saadawi, perempuan bernama Firdaus mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual dan selalu dianggap tidak mampu karena tidak memiliki kekuatan alias lemah. Namun siapa sangka, Firdaus dapat membunuh seseorang yang mengancamnya. Perempuan yang lemah lembut itu bisa membunuh.

Pada tahun 1973 Novel ini lahir dengan judul Woman At Point Zero (Perempuan di Titik Nol). Terinspirasi dari kisah di penjara Qanatir beberapa tahun sebelumnya. 

Novel ini menggambarkan kisah tragis dari seorang pelacur yang memperjuangkan kebenarannya dan kehormatannya sebagai seorang perempuan. Karena tidak ingin menjadi budak bagi sang suami yang menindasnya Firdaus, memilih jalan pelacuran. 

Dari menjadi pelacur ia bisa mengerti bahwa semua orang adalah pelacur. Hasil pelacurannya kerap ia sumbangkan kepada panti sosial. Cita-citanya sungguh mulai, hidup terhormat dengan memperjuangkannya.

Diceritakan bahwa Firdaus adalah seorang pelacur, ia merasa semua orang adalah pelacur dalam bentuk lain. Seperti seorang revolusioner yang melacurkan pikirannya demi sebuah jabatan. Buku tersebut sangat erat dengan nuansa kebudayaan mesir yang sangat patriarki. 

Dimana sejak kecil, Firdaus mengalami kekerasan dalam rumah tangga oleh ayahnya sendiri dan melihat ibunya mendapatkan perlakuan kasar dari Ayahnya. 

Kemudian orang tua Firdaus meninggal dunia karena kelaparan. Mendapatkan pelecehan seksual dari teman kecilnya dan Pamannya. 

Namun, setelah orang tuanya meninggal Firdaus tinggal bersama Paman dan Isterinya. Pamannya menyekolahkannya sampai tingkat menengah. Setelah lulus, Firdaus tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi karena ia akan ditikahkan oleh seorang tua bangka bernama Syekh Mahmoud. 

Pernikahan tidak membuatnya bebas dan bahagia tetapi membuatnya seperti budak atau pelacur gratisan sang suami. Ia mendapatkan perlakuan kasar dari suaminya itu kemudian dia mengadu pada pamannya dan pamannya mengaminkan tindakan Syekh Mahmoud.

Karena ia tidak tahan dengan perlakuan suaminya itu, ia memutuskan untuk kabur dan akhirnya bertemu Bayoumi yang pada awalnya berniat mencarikan ia pekerjaan dan berbuat baik tapi Bayoumi hanyalah bagian dari orang munafik dan pembual yang suka merendahkan perempuan. Ia dan temannya dilecehkan. Firdaus dikurung dan berhasil kabur dan kemudian bertemu Sharifa. 

Ditangan Sharifa, Firdaus mengerti bahwa harga seorang pelacur lebih tinggi dari pada harga seorang istri yang menjadi budak. Memutuskan untuk menjadi terhormat dengan melacur dan kemudian mendapatkan anggapan tidak mengenakan dari seorang teman wartawannya. Sampai pada akhirnya Firdaus jatuh cinta dengan laki-laki bernama Ibrahim yang nyatanya juga seorang pelacur baginya.

Menjadi pelacur yang terhormat dan harga tinggi dengan perawatan mahal membuat dirinya dalam bayang-bayang ancaman. Pada suatu ketika ia mendapat ancaman dari seorang germo, Firdaus merasa dia tidak membutuhkan germo. Namun, germo itu memaksa dengan kekerasan. 

Hadir dari lubuk hati dan sejarah penderitaan, Firdaus memutuskan membunuh germo tersebut dan menyadari kalau selama ini dia hanya takut untuk melawan dan tidak lemah.

Setelah membunuh, Firdaus berdandan bagai seorang puteri raja. Cantik dan penuh dengan kemewahan. Pada suatu ketikka dia bertemu seorang pangeran dan pangeran itu menawar dirinya berapapun agar bisa tidur dengannya. 

Pangeran itu tidak mempercayai kalau Firdaus yang seperti puteri, lemah lembut dapat membunuh seseorang. Jelasnya adalah sang pangeran tidak percaya bahwa perempuan bisa melawan.

Pada akhirnya yang hidup haruslah mati. Tapi bagi Firdaus mati untuk kebenaran lebih baik daripada hidup dengan kemunafikan. Semua orang adalah munafik dan pelacur dalam bentuk yang lain. Firdaus dihukum mati karena membunuh dan tidak ingin meringankan hukumannya.

Di lingkungan patriarki, semua perempuan dianggap lemah. Suasana Mesir kala novel itu lahir adalah suasana perang dengan Israel yang dijuluki Perang Yom Kippor. 

Novel ini hadir saat tahun bersejarah saat itu bagi Mesir dan beberapa negara lainnya. Negara Mesir yang terkenal dengan ratu Cleopatra ternyata menyimpan kebudayaan patriarki yang dibongkar oleh Novel Perempuan di Titik Nol. Pantas saja novel itu banyak mendapatkan kritik terutama bagi negara yang didominasi Islam. 

Dijelaskan oleh Istri pamannya dalam novel tersebut bahwa tunduk kepada suami adalah kewajiban sang istri. Tunduk pada penindasan bagi Firdaus adalah ketidakadilan, apalagi dalam khotbah-khotbah di Masjid yang melarang manusia berbuat jahat tetapi kenapa suami bisa memukul Istrinya karena tidak patuh. 

Menurut pandangan saya novel ini relevan untuk kondisi di Indonesia yang sama patriarkinya dengan Mesir, karena masih banyak pandangan bahwa perempuan lemah dan tidak lebih kuat dari laki-laki, perempuan harus mendapatkan perlindungan dari laki-laki, perempuan tidak boleh keluar malam kalau tidak ingin dilecehkan dan masih banyak lainnya. 

Pandangan tersebut berseliweran di daerah, di sudut-sudut kota dan di dalam rumah. Oleh karena itu, novel ini perlu dibaca supaya pandangan kita terhadap perempuan lebih terbuka.

Perempuan di Titik Nol. Bukan merupakan sembarang novel tapi mengajarkan pada kita semua tentang Humanisme. Novel ini secara eksplisit menjelaskan bahwa kebebasan manusia adalah hak asasi, oleh karena itu kita perlu memperjuangkannya. 

Perempuan dalam hal ini ditempatkan yang tidak bebas dan dikutuk untuk patuh terhadap suaminya yang kerap memperbudak. Sehingga pada akhirnya, Firdaus mendapatkan kebebasannya dari menjadi pelacur. Namun lagi-lagi, dalam novel ini menjelaskan tentang bagaimana semua orang mendapatkan kebebasannya karena uang. 

Sampai pada akhirnya perjuangan untuk membuktikan kebenarannya itu, Firdaus memilih hukuman mati dari pada hidup bersama orang-orang munafik. Firdaus telah berjuang dan membuktikan bahwa kebebasan tidak diraih dengan cara diam dan mengeluh. Firdaus melawan. Perempuan melawan ketidakadilan.

Dalam hal ini, sejarah mencatat bahwa dominasi laki-laki sudah ada sejak manusia mulai menganggap bahwa perempuan lebih baik di rumah dan laki-laki berburu, kemudian perempuan karena hamil tidak usah bercocok tanam oleh sebab itu laki-laki yang menanam. 

Sampai pada estetika disematkan pada tubuh perempuan. Praktek patriarki dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah, tempat kerja bahkan lingkungan sosial. 

Adanya gerakan Feminisme membuat perempuan sedikit lebih diakui keberadaannya sebagai manusia yang sama dengan laki-laki. 

Mulai dari perjuangan politik, diskriminasi gender, eksploitasi kecantikan sampai yang ekstrem pernah dilakukan perempuan agar menghilangkan patriarki. Namun, budaya dan agama tanpa logika akan mewarisi patriarki.

 Hukum Alam bisa diubah kalau tidak ada anggapan bahwa perempuan lebih lemah dari laki-laki. Padahal perempuan membuktikan kekuatannya dengan mengandung bayi dan melahirkan. 

Itu baru salah satu, penelitian menjawab bahwa perempuan bisa lebih kuat dari laki-laki dalam hal mengangkat beban. Oleh karena itu, Yuk kita rubah pola pikir kita terhadap perempuan.

Novel ini bagus sekali untuk memahami kondisi sosial di masyarakat. Total halaman adalah 156 Halaman membuat saya betah membaca seharian. Terjemahan yang bagus juga tidak membikin bosan dalam membaca. Nawal El-Saadawi adalah dokter dan penulis yang baik bagi saya. Bagian termanis dari Novel ini adalah saat Firdaus mengatakan kebenaran. 

Dia mengatakan "Kebenaran saya menakutkan mereka". Mereka yang dimaksud adalah para penguasa dan para polisi serta orang-orang yang berbicara kebohongan. Media juga termasuk yang dimaksudkan oleh Firdaus yang munafik itu. Diakhir tulisan saya ingin mengutip paragraf dari novel ini.

"Dengan mudahnya saya meludahi muka-muka dan kata-kata penuh kebohongan itu, meludahi surat-surat kabar penuh kebohongan itu."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun