Mohon tunggu...
Irfan Suparman
Irfan Suparman Mohon Tunggu... Penulis - Fresh Graduate of International Law

Seorang lulusan Hukum yang hobi membaca dan menulis. Topik yang biasa ditulis biasanya tentang Hukum, Politik, Ekonomi, Sains, Filsafat, Seni dan Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Sampai Jadi Abu

19 Maret 2020   20:43 Diperbarui: 19 Maret 2020   20:47 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di pagi yang masih gelap, telah nampak beberapa kilauan magenta di angkasa menemani perjalananku. Dingin, tenang dan tidak ada keributan selain suara pejalan kaki yang hendak pergi mencari kayu.

Aku membeli kayu dari salah satu penjual kayu yang sudah membawa-bawa kayu dari hutan di desa sebelah. Harganya dua ribu rupiah, murah sekali pikirku. Di kota dua ribu rupiah dapat apa. Paling hanya dapat kerupuk. Di sini, aku dengan dua ribu rupiah bisa membeli kayu sebanyak ini. Yang mencarinya dengan susah, harus bangun pagi serta harus sudah siapkan masakan untuk anak dan suami di rumah.

Pagi terlihat lebih terang dari pada sebelumnya. Meski warna ungu di langit sudah hilang di gantikan oranye yang menghampar alam semesta di bawah bukit Jura. Dan udara semakin dingin, sementara ketenangan masih begitu tenang. Para pejalan kaki itu sudah tidak nampak lagi pakaian lusuhnya.

Di bukit Jura, aku kedinginan seorang diri. Tanpa keluarga tanpa seorang kekasih, tanpa seorang teman. Rumput-rumput mengeluarkan uap dan kebasahan. Aku duduk di atas batu yang ada di sekitarku. Melihat desa di kejauhan. Mendengar tangisan bayi di kejauhan. Aku berpikir, mengapa aku terus menyaksikan matahari terbit setiap hari tanpa seorang kekasih. Bukankah Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan? , tapi aku masih sendiri. Atau mungkin aku belum berpikir.

Dari kejauhan, desa itu seperti desa di negeri-negeri dongeng. Terlihat kabur karena kabut. Udara semakin dingin. Aku membakar rokokku. Dan membuat api unggun dengan kayu yang tadi aku beli dari penjual kayu. api itu sudah jadi, keadaan lebih tenang dengan hangat yang berbenturan dengan dingin.

Aku memandang terus api itu, dia terbakar apakah merasakan panas, perih dan menyaksikan nyawanya terangkat ke atas atau dia hanya keasikan karena sebentar lagi dia akan menuju tempat yang tinggi di atas sana. Melihat kejadian tersebut sambil berpikir demikian, aku adalah manusia yang dituntut untuk berpiir terus-terusan karena untuk menyaksikan eksistensiku.

Api itu semakin ganas membakar kayu-kayu itu. Udara dingin semakin membarra untuk menghentikan api hidup lebih lama. Tapi dari sekian wilayah yang terkena dingin, api selalu menjadi minoritas yang menolong manusia dari kedinginan.

Api itu mati dan kayu menjadi abu. Hujan datang. Aku bergegas pergi menuju goa. Di dalam goa aku menyaksikan abu itu terguntal-guntal. Kotor. Hanyut, turun terbawa genangan menuju desa. Desa sudah tidak tampak karena hujan semakin deras. Lalu, aku menjadi sangat sendiri bak manusia unggul. Kalau ada Zarathustra aku akan membunuhnya dan mengatakan Tuhan Tidak Mati, aku bersamanya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun