Konflik antara Palestina dan Israel sudah menjadi berita panas sejak lama. Konflik ini sudah berkepanjangan dan mengakar. Banyak simpatisan dunia yang menaruh rasa simpatiknya kepada Palestina. Bukan tanpa sebab, warga Palestina sudah menjadi sasaran penyerangan pasukan Israel. Yang menjadi sasaran bagi pasukan Israel bukan hanya para tenaga perangnya saja, namun juga warga sipil juga menjadi sasaran serangannya. Banyak infrastruktur yang rusak dan tidak bisa dipakai karena terkena rudal. Saat ini negara-negara Islam banyak yang ikut memberikan kepada Palestina, seperti Indonesia dan Turki contohnya. Kedua negara ini menunjukan konsistensinya untuk membantu saudara jauh mereka. Salah satunya dengan mengirimkan pasukan keamanan ke medan pertempuran guna membantu pasukan Palestina. Turki juga selalu mengkecam tindakan Israel terhadap Palestina. Dalam sebuah pertemuan Erdogan bertemu dalam satu tempat bersama pemimpin Israel. Pada waktu itu juga Erdogan dengan gagah dan berani mengutarakan isi hatinya kepada pemimpin Israel tersebut. Selain itu, Turki juga akan melatih pasukan Palestina di Akademi Gendarmerie dan Akademi Penjaga Pantai di Turki. Tidak sampai disitu, Turki juga menyediakan sarana konsultasi dan teknis kepada Palestina. Indonesia juga tidak mau kalah dalam memberi bantuan ke Palestina. Indonesia mengirimkan para tenaga kesehatan guna membantu meningkatkan upaya penyembuhan terhadap warga Palestina yang terkena dampak serangan Israel. Indonesia juga memberikan bantuan berupa pembuatan akses air bersih di Palestina. Masjid Istiqlal Indonesia di Palestina juga sudah berdiri gagah ditengah kota di Palestina. Baik Turki dan Indonesia merupakan dua negara yang sama-sama memperlihatkan kepeduliannya kepada Palestina. Mungkin jika perlu, Indonesia dan Turki bisa saja mempelopori berdirinya sebuah organisasi internasional ataupun rezim internasional yang menyuarakan gerakan dukungan kepada Palestina. Mungkin hal ini sudah pernah terpikirkan baik dari Indonesia maupun Turki, namun mereka sadar lawan mereka adalah Israel yang dibalik namanya terdapat negara Supper Power yakni Amerika Serikat. Jadi baik dari Indonesia dan Tukri sedang memutar otak guna mencari cara yang paling efektif guna membantu Palestina. Hubungan bilateral maupun multilateral yang sedang dijalani oleh Palestina ini diharapkan akan mematik negara-negara lain juga untuk turut serta membantu Palestina dalam upaya pembebasnnya.
Palestina juga sudah membuka hubungan diplomatik dengan negara-negara Islam didunia guna meminta bantuan karena memiliki kesamaan yaitu negara Islam atau negara mayoritas penduduknya beragama Islam. Praktik diplomasi ini sangat berguna bagi Palestina yang kita tahu mendapatkan banyak ancaman dari berbagai negara di dunia sebagai akibat konflik dengan Israel. Palestina tidak boleh memikirkan masalah konflik ini sendiri. Mereka harus sadar bahwa mereka mempunyai saudara-saudara muslim juga di penjuru dunia.
Konflik ini merupakan konflik internasional yang dipicu oleh perebutan wilayah antara Palestina dan Israel. Kompleks Al-Aqsa merupakan tempat suci bagi ummat Islam dan ummat Yahudi. Awal dari konflik antara Palestina dan Israel ini bermula saat Inggris muncul sebaga pemenang Perang Dunia I. Kemudian Inggris memberikan jatah wilayah untuk Yahudi melalui Deklarasi Balfour pada tahun 1917. Namun masyarakat Palestina beranggapan bahwa alasan Inggris memberikan jatah wilayah kepada Yahudi karena jumlah pengungsi Yahudi di Eropa sudah pecah dan over capacity. Padahal sebelum Inggris memberikan jatah tanah, masyarakat Palestina juga sudah melakukan penolakan namun tidak ditanggapi oleh Inggris.
Sempat terjadi peperangan dimasa lalu antara Islam Palestina melawan Yahudi Israel pada tahun 1948. Namun dalam perang ini Islam Palestina harus menelan kekalahan karena Yahudi Israel mendapatkan bantuan juga dari Inggris yang merupakan pemenang Perang Dunia I. Dampak akibat kekalahan ini sangat besar bagi Palestina. Palestina terpecah menjadi beberapa golongan dan mayoritas wilayah sudah dikuasai oleh Yahudi Israel.
Perjuangan Islam Palestina tidak selesai sampai disitu. Palestine Liberation Organization atau disingkat PLO merupakan bukti bahwa warga Palestina masih akan terus memperjuangkan kepentingannya, yakni merebut kembali wilayahnya dari tangan Yahudi Israel. PLO ini memiliki tujuan untuk mendirikan negara Palestina yang berdaulat melalui perang maupun diplomasi. Yasser Arafat yang merupakan tokok penting di PLO berpidato dalam salah satu sidang PBB. Dia menyatakan bahwa semua pihak yang terlibat dalam konflik tidak selamanya harus bersitegang, namun juga bisa hidup berdampingan dan damai. PLO ini bersifat kompromitif dan kooperatif. Sehingga gerakan ini cukup membuahkan hasil nyata pada Perjanjian Oslo pada tahun 1993. Dimana Palestina diperbolehkan mengadakan pemilu. Hal ini secara tidak langsung memberikan isyarat bahwa ada titim terang untuk kebebasan Palestina. Karena jasa besarnya terhadap Palestina, Yasser Arafat menerima penghargaan nobel perdamaian dan dilantik menjadi presiden pertama Palestina.
Namun setelah Perjanjian Oslo, masih tetap saja terdapat celah untuk memulai konflik kembali. Intifada pada tahun 2000 dan serangan teroris pada 11 September 2001, memicu lagi aksi-aksi kontra-damai antara Palestina dan Israel. Gencatan senjata hanya menjadi penawar sementara dari panasnya konflik ini. Gencatan senjata hanya berlangsung selama 2 minggu atau hanya beberapa bulan. Bahkan selama gencatan sejata saja sempat beberapa kali terjadi insiden kecil yang berpeluang menyulut api konflik ditengah gencatat yang sedang terjadi. Banyaknya insiden kecil inilah yang membuat masyarakat Palestina geram. Yang paling menyakitkan adalah saat pasukan Israel membakar bagian dari kompleks Masjid Al-Aqsa. Hal ini tentunya menyulut amarah warga Palestina disana. Masjid Al-Aqsa adalah salah satu masjid penting bagi ummat Islam di dunia. Aksi kecaman keras banyak terlontar dari pemimpin dunia. Tidak etis jika sebuah tempat ibadah menjadi sasaran pengrusakan.
Setelah berbagai banyak konflik yang terjadi, nama Hamas mulai muncul ke permukaan. Hamas atau Harakat Al-Muqawwamat Al-Islamiyah. Merupakan perlawanan umat Islam dari sektor militer lalu berkembang menjadi politik. Hamas awalnya merupakan bagian dari kelompok sayap dari Ikhwanul Muslimin atau IM di Palestina di masa intifadlah pada tahun 1987 sampai 1993. Namun langkah Hamas tentunya juga sama-sama tidak mulus seperti PLO. Hamas pernah "diteroriskan" tanpa pertimbangan hukum yang jelas oleh Pengadilan Umum Uni Eropa pada tahun 2015. Pengadilan Mesir juga menetapkan Hamas sebagai daftar organisasi teroris pada tahun yang sama. Hamas dianggap telah melanggar HAM karena dituding atas kasus eksploitasi terhadap anak untuk tenaga perang. Negara-negara barat menuding bahwa Hamas telah memiliterisasi anak-anak usia 14-20 tahun melalui kamp pelatihan militer. Tapi pemimpin Hamas menyatakan bahwa pelatihan anak sebagai bentuk kekecewaa atas perjanjian selama dua puluh tahun yang tidak kunjung membuahkan hasil nyata. Hamas saat ini sudah memegang peranan penting di Palestina. Mereka menjadi garda terdepan jika serangan Israel terus terjadi.
Palestina juga telah melakukan upaya diplomasi dalam sidang PBB. Palestina selalu menyerukan perdamaian. Namun para peserta sidang terutama diplomat dari negara-negara maju dan pemegang hak veto dalam Perang Dunia II, terutama Amerika Serikat tidak mau menandatangani jika terjadi kesepakan damai antara Palestina dan Israel. Pemegang hak veto mempunyai hak untuk melakukan penolakan terhadap suatu putusan yang dilakukan dalam sidang PBB dan sifatnya mutlak. Bukan tanpa alasan, Amerika Serikat sebagai negara Supper Power didunia saat ini mempunyai agenda tersendiri dibalik tidak mau menandatangani perdamaian antara Palestina dan Israel. Amerika Serikat mempunyai agenda untuk menguasai ladang minyak disana. Seperti yang kita tahu bahwa tanah Arab memiliki kekayaan yang sangat melimpah atas minyak. Itu menjadi peluang Amerika Serikat untuk mengambil "kesempatan dalam kesempitan". Seperti yang kita tahu bahwa Amerika yang membiayai segala peralatan tempur milik Israel. Alasan inilah yang menguatkan bukti bahwa Amerika Serikat ikut campur secara internal dalam konflik antara Palestina dan Israel ini.
Berdasarkan data dari Kantor Koordinasi Kemanusiaan PBB yang mengambil sampel data dari tahun 2008 sampai 2021 terdapat 5.739 korban yang meninggal dunia akibat perang panas ini. Bahkan 95% dari total 5.739 korban yang meninggal itu adalah warga Palestina. Artinya ada sekitar 5.453 korban meninggal dari Palestina. Hal ini menandakan betapa mengerikannya serangan Israel terhadap Palestina. Kemudian 21% lagi dari 5.453 korban merupakan anak usia dibawah 18 tahun. Artinya terdapat 1.146 korban anak dari Palestina yang meninggal dunia. Yang sempat menggemparkan dunia adalah saat dokter yang merupakan tenaga kesehatan juga menjadi sasaran keganasan pasukan Israel. Dokter tersebut merupakan dokter asli Palestina bernama Razan Al Najjar yang mengabdikan dirinya dijalur perang Gaza. Dia tewas tertembak oleh penembak jitu dari Israel. Hal ini jelas melanggar hukum perang internasional. Dimana perang tidak boleh terlalu merusak infrastruktur sipil, anak-anak dan warga sipil tidak boleh menjadi sasaran, dan terutama tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan ini mutlak mendapatkan perlindungan dalam perang. Namun malah harus tewas dalam pengabdiannya dimedan perang.
Dalam Teori Hubungan Internasional, Israel menerapkan prinsip dari realisme. Yakni menganggap bahwa manusia adalah serigala untuk manusia lain. Jadi Israel ini melakukan semua hal tadi karena proses untuk mempertahankan diri. Dalam teori realisme, aktor yang paling penting dan utama adalah negara, oleh karena itu Israel akan melakukan apapun demi menjaga kelangsungan hidup negaranya. Dalam teori realisme, hal-hal dilakukan oleh Israel merupakan hal yang sah-sah saja dilakukan, karena menganut prinsip survival. Mereka tidak mau mengalah demi keberadaan negara Israel.
Kemudian yang dilakukan oleh Palestina bisa disebut sebagai penerapan prinsip liberalisme. Bilateral dan multilateral sudah dilakukan oleh Palestina, seperti menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesia dan Turki contohnya. Kemudian Palestina juga ikut menyuarakan upaya pembebasan mereka dalam sidang PBB. Nah, dalam teori liberalisme negara bukan jadi aktor utama. Dalam praktiknya Palestina juga menerapkan konsep rule of law. Dimana Palestina memanfaatkan kehadiran PBB dalam penyelesaian konflik mereka dengan Israel. Namun Palestina juga menggunakan teori realsme yakni survival. Dimana mereka juga membalas serangan kepada Israel melalui Hamas yang merupakan organisasi militer yang berubah menjadi politik pembebasan Palestina.
Indonesia dan Turki juga menerapkan konsep liberalisme yakni, bilateral dan multilateral. Dimana kedua negara ini terus konsisten untuk membantu Palestina dengan berbagai kerjasama yang dilakukan antar negara. Hal ini dilandasi karena adanya perasaan yang sama sebagai sesama ummat muslim didunia. Dimana mereka selalu berupaya membantu satu sama lain demi terbebasnya Palestina dari Zionist Israel.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H