Mohon tunggu...
IrfanPras
IrfanPras Mohon Tunggu... Narablog

Dilarang memuat ulang artikel untuk komersial. Memuat ulang artikel untuk kebutuhan Fair Use diperbolehkan.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Prediksi: Inggris Tak Akan Melangkah Jauh di Euro 2020

7 Juni 2021   10:01 Diperbarui: 11 Juni 2021   08:12 779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Skuad timnas Inggris di Euro 2020. | foto: Sebastian Frej/MB Media/Getty Images via theathletic.com

Tim nasional Inggris tergabung dalam Grup D Euro 2020. The Three Lions akan berjumpa dengan Kroasia, Skotlandia, dan Republik Ceko di babak grup. Seharusnya mudah bagi mereka untuk lolos dari babak awal tersebut. Namun, Inggris akan sulit melangkah jauh di babak selanjutnya.

Menjadi unggulan di setiap turnamen yang diikuti. Itu sudah jadi takdir tim nasional Negeri Ratu Elizabeth. Iya, unggulan. Namun, saat turnamen berlangsung, takdir bisa berubah 180 derajat. Inggris bukan lagi unggulan atau favorit, melainkan sekadar penantang.

Menurut hemat saya, ada 3 penyakit kronis dalam tubuh timnas Inggris yang dari dulu hingga sekarang belum juga punya obat penawarnya. Pertama, ketiadaan pelatih mumpuni. Kedua, media atau pers yang jahat. Ketiga, pelatih Inggris yang selalu berusaha menyenangkan semua pihak.

Mari kita bedah satu persatu agar Anda tidak salah sangka dengan prediksi saya.

Pertama, ketiadaan pelatih mumpuni dalam timnas Inggris. Adakah pelatih top dunia era sekarang yang berkebangsaan Inggris? Begini saja, kapan terakhir kali pelatih asli Inggris mampu membawa klubnya juara Liga Primer Inggris? Atau, adakah pelatih asli Inggris yang melatih klub top di negaranya sendiri?

Ya, Inggris tidak punya pelatih yang memenuhi kualitas tersebut kawan. Terakhir kali pelatih Inggris meraih juara di negerinya sendiri terjadi pada musim 1991/1992. Adalah Howard Wilkinson yang menjuarai Liga Inggris bersama Leeds United. Masalahnya, itu terjadi sebelum era Premier League.

Howard Wilkinson (pojok kiri) dengan trofi Divisi 1 musim 1992 yang ia menangkan di Leeds United. | foto: by Howard Walker via leeds-live.co.uk
Howard Wilkinson (pojok kiri) dengan trofi Divisi 1 musim 1992 yang ia menangkan di Leeds United. | foto: by Howard Walker via leeds-live.co.uk
Lalu, musim kemarin saja, klub-klub papan atas Inggris takaada yang dilatih orang Inggris. Liverpool dan Chelsea dilatih Jurgen Klopp dan Thomas Tuchel, orang Jerman. Manchester City punya Pep Guardiola, orang Spanyol, sama seperti Mikel Arteta di Arsenal. MU dilatih mang Ole, beliau orang Norwegia. Cuma Spurs yang dilatih orang Inggris, yakni Ryan Mason, tapi statusnya hanya interim alias sementara.

Tak seperti negara klub top dunia lainnya, suka tidak suka, Inggris tak punya pelatih yang punya level tinggi. Mereka juga tak punya sekolah kepelatihan yang terpandang. Untuk urusan pelatih, Negeri Ratu Elizabeth ini memang jauh tertinggal dari Prancis, Portugal, Belanda, Italia, Spanyol, apalagi Jerman.

Pelatih The Three Lions saat ini adalah Gareth Southgate. Untungnya, Southgate bisa membawa Inggris juara 4 Piala Dunia dan juara 3 Nations League 2019. Tetapi, tak ada yang mengenal baik beliau sebelumnya. Sebetulnya, kualitas pelatih bisa sedikit dikesampingkan. Lagipula, Inggris tidak kolot, mereka terbuka dengan pelatih asing, tak seperti beberapa negara Eropa yang pelatihnya harus lokal.

Gareth Southgate | foto: Clive Rose/Getty Images via 90min.com
Gareth Southgate | foto: Clive Rose/Getty Images via 90min.com
Inggris dulu pernah punya Sven-Goran Eriksson. Anak sekarang mungkin tak tahu beliau, tapi Erikson adalah pelatih yang sukses membawa Lazio juara Piala Super Eropa dan mendominasi Italia di akhir era 90an hingga awal 2000an. Eriksson bukan orang Inggris, dia orang Swedia. Kualitas jelas jempolan, tapi apa hasilnya? Nihil.

Inilah masalah klasik Inggris. Skuad tiga singa kurang apa sih? Liga mereka terbaik di dunia. Pemain top berlimpah. Tetapi, mengapa mereka gagal? Kembali soal kualitas pelatih, tak perlu menunjuk pelatih top dunia dengan kualitas nomor wahid. Inggris cukup dilatih pelatih yang paham gaya main anak asuhnya dan yang terpenting bisa menyatukan skuad.

Ini ada hubungannya dengan masalah kronis nomor dua, media yang jahat. Sudah bukan rahasia lagi kalau persaingan atau rivalitas antarklub dan pemain di Liga Primer Inggris sangatlah tinggi. Kalau Anda ingat, dulu Steven Gerrard dan Frank Lampard pernah mengakui kalau rivalitas di liga terbawa ke tim nasional.

Siapa yang menyebabkan hal itu? Ya tentu saja media-media Inggris yang kita semua sudah tahu bagaimana jahatnya mereka. Media Inggris suka sekali menabur bara api dalam rivalitas antarklub Inggris. Misal, MU dengan Liverpool atau Arsenal dengan Chelsea. Rivalitas mereka terus disorot secara non-stop dan kadang dibumbui hoax.

Belum lagi, media Inggris yang kadang memperlakukan para pemainnya sendiri bak selebritis. Jadi, gosip-gosip remeh yang tak ada hubungannya dengan sepak bola juga jadi berita utama. Pokoknya, apa saja bisa jadi berita bagi media Inggris. Imbasnya, iklim sepak bola mereka tak sehat.

Ingat pernyataan mantan ketua PSSI? "Kalau medianya baik, timnasnya baik" Itu benar lho, kawan! Tengok timnas Prancis. Mereka punya pusat pelatihan bernama Clairefontaine. Jauh dari pemukiman, fasilitasnya lengkap, mulai dari sarana latihan sampai hiburan, dan yang terpenting tidak semua media bisa meliput. Imbasnya, Prancis bisa fokus saat TC. Hasilnya, mereka menjadi runner-up Piala Dunia sekali, runner-up Piala Eropa sekali, serta juara dunia 2 kali dan juara Piala Eropa sekali hanya dalam waktu 2 dekade.

Rivalitas yang terus dipupuk dan ditaburi bara api akan berimbas buruk dalam hubungan antarpemain. Inggris bisa belajar dari Spanyol. Rivalitas Barcelona dan Real Madrid luar biasa panas dan kerap digoreng media. Namun, saat di timnas, kedua pemain dari klub tersebut bisa menyatu. Apa kuncinya? Balik lagi soal pelatih.

Tak bisa dipungkiri kalau pemain Inggris punya ego yang terlampau tinggi, imbas dari persaingan tidak sehat di liga yang kerap digoreng media. Mereka butuh staf pelatih di tim nasional yang mempu menyatukan pemain dengan ego tinggi itu. Menyatukan dan membuat nyaman ruang ganti adalah hal dasar sebelum bermimpi meraih prestasi.

Di Eropa, Spanyol adalah contohnya dan di Amerika Selatan ada Brasil. Dalam kurun waktu 1994-2004, Negeri Samba juara Piala Dunia 2 kali, Copa America 3 kali, Piala Konfederasi sekali, dan Gold Cup 2 kali. Kala itu, mereka punya Ronaldo, Adriano, Ronaldinho, Rivaldo, dan Kaka dalam satu tim. Seluruhnya dikenal doyan menggiring bola dan mencetak gol dengan cantik. Salut dengan Carlos Alberto Parreira dan Luiz Felipe Scolari yang berhasil menyatukan mereka dalam sebuah tim yang solid dan tangguh.

Soal seperti ini ada hubungannya dengan masalah kronis ketiga. Staf pelatih Inggris harusnya tegas dan tidak mencoba menyenangkan semua pihak. Bayangkan saja, di Euro 2020, Southgate mau membawa 4 bek kanan sekaligus. Mubazir! Juara bertahan Portugal dan juara Piala Dunia Prancis cuma membawa 2 bek kanan murni. Italia juga, begitu pula Jerman. Bahkan, Spanyol cuma membawa 1 bek kanan murni.

Tak semua pemain top bisa diangkut. Itu adalah sebuah dasar saat memilih pemain ke dalam timnas dan sepertinya Southgate tak memahami hal itu. Lagi-lagi dia harus belajar dari Joachim Low atau Didier Deschamps.

Di Piala Dunia 2014, Low kehilangan Mario Gomez yang cedera. Striker mereka tinggal Miroslav Klose yang sudah uzur dan Klose pula yang akhirnya dibawa. Jerman cuma membawa 1 striker murni saat itu. Padahal, di liga mereka punya Stefan Kiessling. Low dikritik, tapi dia tutup kuping sampai akhirnya semua bersuka cita saat Der Panzer mengangkat trofi Piala Dunia di Brasil.

Deschamps di Piala Dunia 2018 juga sama. Mereka punya Karim Benzem, Bafetimbi Gomis, sampai Alexandre Lacazette. Tapi Deschamps lebih memilih Olivier Giroud yang musim itu biasa-biasa saja. Sama seperti Jerman 2014, semua akhirnya bersuka cita di akhir turnamen.

Trent-Alexander Arnold batal tampil di Euro 2020. | foto: skysports.com
Trent-Alexander Arnold batal tampil di Euro 2020. | foto: skysports.com
Namun lihatlah Inggris, Southgate seperti ingin menyenangkan semua pihak dan menyingkirkan kritik di awal turnamen. Entahlah, apa ia takut dihujat netizen saat mencoret satu dua pemain? Untungnya, Trent Alexander-Arnold akhirnya menepi setelah mengalami cedera. Ada slot kosong yang bisa diisi oleh pemain lain dan Southgate harusnya melihat peluang itu untuk memperkuat sektor lain.

Itulah 3 masalah kronis yang akan menghambat Inggris meraih prestasi di tunamen akbar. Yang terdekat tentu Euro 2020. Peluang mereka juara dibanding negara top Eropa lainnya terbilang kecil. OptaAnalys yang menghitung peluang dengan permodelan statistik cuma menilai peluang Inggris menjuarai Euro tahun ini sebesar 5,2% saja. Skuad tiga singa ada di posisi ke-9 dan duduk di bawah Denmark.

Prediksi peluang juara Euro 2020 dari The Analyst | foto diolah dari theanalyst.com
Prediksi peluang juara Euro 2020 dari The Analyst | foto diolah dari theanalyst.com
Saya paham mengapa mereka menempatkan Inggris di posisi tersebut. The Three Lions memang mudah untuk melewati babak grup. Harusnya lho ya. Namun, takdir sulit bakal langsung mereka hadapi di babak gugur. Begini gambaran lawan-lawan Inggris.

Prediksi lawan Inggris di babak gugur Euro 2020. | Dokumen Pribadi
Prediksi lawan Inggris di babak gugur Euro 2020. | Dokumen Pribadi
Euro 2020 tak hanya mengundi babak grup saja, tapi skema di babak gugur juga sudah ditentukan dan begitulah kenyataan yang harus dihadapi Inggris di babak gugur. Jauh lebih aman kalau mereka lolos sebagai runner-up. Kalau lolos sebagai peringkat 3, The Three Lions bisa langsung berjumpa dengan Belgia, Belanda, atau Spanyol.

Situs Insider.com juga memprediksi Inggris bakal terhenti maksimal di babak 16 besar Euro 2020. Kini, saya punya 2 pihak yang sepakat dengan prediksi saya, yakni OptaAnalys dan Insider. Namun, saya tak sesadis Insider yang memprediksi Inggris mentok di babak 16 besar.

Inggris bisa saja lolos sebagai runner-up grup, menang di babak 16 besar sebelum akhirnya kandas di babak perempat final. Sangat mungkin bukan? Bisa pula mereka melaju jauh seperti saat Piala Dunia 2018, tapi pada akhirnya terhenti dengan tim yang bermain dengan determinasi tinggi dan semangat juang luar biasa.

Inggris memang punya skuad paling mahal. Total, 26 pemain timnas Inggris dibandeol dengan harga 1,25 miliar euro. Meski mahal dan punya rataan usia yang muda (25,4 tahun), suka tidak suka, Inggris adalah favorit juara sebelum Euro 2020 bergulir, tapi mereka cuma penantang saat Euro 2020 bergulir. Inggris butuh lebih dari sekadar pemain muda dan skuad mahal untuk dapat menyanyikan "football it's coming home" di akhir turnamen. Mari kita sama-sama buktikan prediksi ini di Euro 2020 nanti.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun