Mohon tunggu...
IrfanPras
IrfanPras Mohon Tunggu... Freelancer - Narablog

Dilarang memuat ulang artikel untuk komersial. Memuat ulang artikel untuk kebutuhan Fair Use diperbolehkan.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Mendukung AC Milan Meski Kusut

17 Maret 2021   19:23 Diperbarui: 17 Maret 2021   19:32 816
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Samu Castillejo dan Zlatan Ibrahimovic. Sejak Ibra cedera, persentase kemenangan Milan turun. | Foto: Twitter @acmilandata

Sudah sejak lama saya memendam kemampuan intuisi yang saya miliki. Seperti kemarin (15/3) malam, saya sudah punya firasat bahwa Milan akan kalah dari Napoli. Firasat itu pula yang membuat saya memutuskan tidak menonton pertandingan di giornata 27 Serie A itu.

Benar saja, Milan ditundukkan Napoli meski bermain di kandang sendiri, San Siro. Tipis, cuma 0-1, tapi dampaknya bikin sakit. Tak hanya jadi kekalahan kelima di Serie A musim ini, kekalahan dari Napoli membuat Milan tertinggal 9 poin dari pemuncak klasemen, sementara jarak dengan peringkat 4 (batas lolos Liga Champions) tinggal 4 poin saja.

Situasi yang berbanding terbalik dibanding tahun lalu. Rasa-rasanya, rekor puluhan laga tak terkalahkan selama tahun 2020 merupakan rekor fiktif. Angkanya (mungkin) dimanupulasi, seolah-olah ingin memperlihatkan bahwa AC Milan telah bangkit dari tidur lamanya.

BACA DULU: Kaleidoskop AC Milan 2020: Penuh Friksi, Kejutan, dan Awal Kejayaan Baru

Akan tetapi, kini faktanya jauh panggang dari api. Setelah memimpin klasemen Serie A selama 21 pekan, Milan seketika terpeleset ke posisi 2 dan bahkan terancam terlempar dari 4 besar. Sejak pekan ke-22 hingga 27 kemarin, rossoneri hanya mampu memetik 2 kemenangan, sekali imbang, dan 3 kali kalah.

Kedigdayaan Milan sejak lockdown pertama hingga pertengahan musim 2020/2021 runtuh seketika. Yang tadinya dijagokan jadi calon juara Serie A, kini posisi Milan justru rawan tergusur hingga memungkinkan untuk terlempar kembali ke zona Liga Europa.  

Sekadar cocoklogi, nasib Milan ternyata berujung mirip dengan Liverpool. Kebetulan kedua tim tersebut merupakan rival di ajang Liga Champions hampir 2 dekade lalu. Kebetulan pula kedua tim ini sama-sama bercorak merah.       

Tadinya, Liverpool juga kandidat juara Premier League. Namun, semua berangsur memburuk. The Reds kini malah terlempar keluar zona Liga Champions, tepatnya di posisi keenam. Salah satu sebabnya, badai cedera sedang menggerogoti skuad Jurgen Klopp.

Situasi tersebut mirip dengan apa yang dialami Milan saat ini. Sejak November 2020, Milan tidak bisa tampil dengan skuad lengkap. Sejak saat itu, Stefano Pioli juga tidak bisa menurunkan 11 terbaiknya. Penyebabnya, tentu saja cedera yang datang silih berganti.

Saat Ibrahimovic pulih, giliran Bennacer yang menepi. Bennacer sempat kembali, pun dengan Ibrahimovic yang bisa tampil lagi. Namun, Benncer cepat menepi lagi dan di waktu yang sama Hakan ikut-ikutan cedera. Saat mereka belum pulih, cedera Ibrahimovic kumat. Apes, Mandzukic yang diproyeksikan sebagai pelapisnya malah ikut menyusul.

Saat badai tengah menerpa Milan, eh penyakit lama kambuh lagi. Entah apa penyebabnya, entah siapa yang mengajarkan, entah apa alasannya. Saat pincang begini, ada saja pemain Milan yang kena akumulasi kartu. Tak bisa jaga sikap, emosi di lapangan, dan bikin pelanggaran yang tidak perlu. 

Ante Rebic terkena sanksi larangan tampil 2 laga setelah terbukti menghina wasit di laga vs Napoli (15/3). | Foto: Twitter @_InsideMilan
Ante Rebic terkena sanksi larangan tampil 2 laga setelah terbukti menghina wasit di laga vs Napoli (15/3). | Foto: Twitter @_InsideMilan

Kini yang orang bicarakan tentang Milan bukan lagi peluang meraih scudetto. Topik tersebut sepertinya (memang) sudah tidak relevan dengan kondisi Milan saat ini. Di media sosial, pendukung Milan juga lebih suka memandang permasalahan internal klub lewat sudut pandang lain.

Pelatih di salahkan. Formasi diminta diubah. Tidak percaya dengan pemain cadangannya sendiri. Saat pemain cadangan tampil untuk menggantikan pemain utama, ada saja pendukung Milan yang justru menyudutkan mereka. "Auto kalah kalau si A main", begitu kata mereka.

Memilih menjadi pendukung Milan alias milanisti haruslah siap dengan bonus yang menanti. Selain drama dan friksi di internal klub, pemain yang tampil angin-anginan, prestasi yang sedang kering, dan yang utama adalah pendukungnya yang berego terlampau tinggi.

BACA DULU: Problematika AC Milan dan Ego Pendukungnya yang Terlampau Tinggi

Realitasnya, kerusakan Milan tidaklah begitu besar. Setidaknya, musibah yang menimpa Liverpool malah lebih parah. Bayangkan saja, Jurgen Klopp kehabisan bek tengah murni hingga terpaksa membeli bek baru sembari menggeser posisi beberapa pemainnya.

Kondisi Milan masih mending. Memang kondisinya seperti sungai tercemar yang pemadangannya menjijikkan. Namun, laiknya sungai yang tercemar di sekitar kita, sumber yang mengotorinya berasal dari manusia yang tinggal di dekar bantaran sungai. Begitulah realitas Milan saat ini.

Alih-alih memberi kritik solutif dan dukungan bermoral yang mampu mengangkat semangat tim, pendukung Milan malah berdiri di sisi yang berseberangan. Setidaknya itulah yang terlihat di media sosial. Banyak milanisti berego tinggi yang tak tahu malu.  

Kini yang dibicarakan orang tentang Milan tak jauh dari olokan dan tertawaan. Ada hukum sebab dan akibat di sini. Netizen bola di media sosial tak serta-merta mengolok Milan tanpa ada pemicunya. Mereka begitu, sebab sebelumnya pendukung Milan inilah yang lebih dulu mengolok pendukung tim lain, khususnya pendukung tim rival di Serie A.   

Oke, mungkin frasa mengolok terlalu kasar untuk kawan milanisti saya. Jumawa, mungkin itu frasa yang tepat. Saat berada di puncak, ada pendukung Milan yang adem ayem. Namun, ada pula yang langsung berkoar bahwa takada tim lain yang sanggup menundukkan Milan yang sedang garang-garangnya.

Siapapun yang menilai pemain Milan yang banyak diidolakan milanisti tampil buruk akan kena serangan di akun media sosialnya. Siapapun yang mempermasalahkan banyaknya hadiah penalti yang Milan dapat juga kena demo pendukung Milan yang arogan.

Ada yang membalas dengan meme, ada yang membalas dengan cacian, dan ada pula yang membalas dengan ancaman kematian. Penulis sendiri pernah diserang dan dijadikan bahan tertawaan saat memberi penilaian terhadap performa salah satu pemain. Ironis, padahal statusnya sama-sama milanisti.  

Pendukung Milan yang demikian, kita sebut saja arogan dan jumawa, adalah pihak yang membuat milanisti seperti saya tak nyaman saat bermedia sosial. Imbas terbesarnya, sebagai kompasianer, saya cukup lama tidak menulis tentang Milan. Habis gimana, ada kelompok suporter Milan yang ogah mengobati luka masa kini, maunya berpaling muka dan (kembali) menikmati romansa prestasi masa lalu.

Tak ada asap tanpa api. Netizen bola di media sosial tak akan menertawakan situasi Milan saat ini andaikan rossoneri punya pendukung yang sedikit mau menurunkan egonya. Bagaimana tidak malu, saat penampilan buruk yang berujung kekalahan tak bisa lagi disembunyikan, eh ada saja pendukung Milan yang malah (kembali) menyalahkan wasit seperti yang mereka lakukan di masa lalu. Kusut. Benar-benar kusut.

Saya pribadi menilai, kondisi buruk ini berawal dari target yang berubah di pertengahan musim. Saat mampu memimpin klasemen Serie A selama setengah musim, target diubah.  Tadinya cuma mau mengamankan spot Liga Champions saja, tetapi kala melihat adanya peluang untuk meraih scudetto, manajemen menilai bahwa kesempatan itu tak boleh lepas begitu saja.

Setelah merevisi target, bisa kita lihat sendiri kondisinya. Milan yang tadinya digdaya tampil seperti kerupuk yang disiram kuah sop. Amem alias melempem. Kalau setelah ini ada yang berkomentar di kolom komentar artikel ini dengan mengatakan peluang Milan meraih scudetto masih ada, saya cuma mau bilang, "Bullshit!".

Sebagai pendukung Milan, saya rindu melihat tim yang fokus perlaga. Fokus meraih 3 poin di tiap laganya tanpa embel-embel 'harus menang demi mengamankan peluang scudetto'. Ternyata dugaan saya dulu benar. Skuad Milan saat ini belum tahan tekanan dan kembali lagi, kondisi itu diperparah dengan kelakuan sebagian pendukungnya di media sosial.

Kalau milanisti mau mengkritisi secara lebih sehat, mereka bisa mempertanyakan metode dan menu latihan fisik Milan, kenapa banyak pemain yang menepi karena masalah otot? Kalau mau, mereka juga bisa mengkritisi keputusan manajemen terkait kontrak pemain, kenapa beberapa pemain andalan kontraknya masih belum juga diperpanjang?

Kalau mau lebih mikir lagi, milanisti bisa ikut urun rembuk terakit masalah finansial klub. Kenapa pendapatan Milan masih segitu-gitu aja? Kenapa kenaikan pendapatannya belum sebesar tim besar lainnya? Andai kata obrolan semacam ini yang menguasai diskusi tentang Milan, tentu kondisi Milan juga terimbas positif.

Ah, lagi-lagi itu hanyalah sekadar angan belaka. Realitasnya, ya beginilah AC Milan sekarang dengan keunikan pendukungnya. Meski kusut, tak ada alasan untuk berkhianat kepada Milan. Saya yakin, cepat atau lambat, awan kelabu yang menyelimuti Milan akan sirna. Cepat atau lambat, penyakit yang menggerogoti Milan bisa terobati.

Quote Rui Costa soal Milan. | foto: Twitter @acmilan
Quote Rui Costa soal Milan. | foto: Twitter @acmilan

#ForzaMilan

@IrfanPras

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun