Kini yang orang bicarakan tentang Milan bukan lagi peluang meraih scudetto. Topik tersebut sepertinya (memang) sudah tidak relevan dengan kondisi Milan saat ini. Di media sosial, pendukung Milan juga lebih suka memandang permasalahan internal klub lewat sudut pandang lain.
Pelatih di salahkan. Formasi diminta diubah. Tidak percaya dengan pemain cadangannya sendiri. Saat pemain cadangan tampil untuk menggantikan pemain utama, ada saja pendukung Milan yang justru menyudutkan mereka. "Auto kalah kalau si A main", begitu kata mereka.
Memilih menjadi pendukung Milan alias milanisti haruslah siap dengan bonus yang menanti. Selain drama dan friksi di internal klub, pemain yang tampil angin-anginan, prestasi yang sedang kering, dan yang utama adalah pendukungnya yang berego terlampau tinggi.
BACA DULU: Problematika AC Milan dan Ego Pendukungnya yang Terlampau Tinggi
Realitasnya, kerusakan Milan tidaklah begitu besar. Setidaknya, musibah yang menimpa Liverpool malah lebih parah. Bayangkan saja, Jurgen Klopp kehabisan bek tengah murni hingga terpaksa membeli bek baru sembari menggeser posisi beberapa pemainnya.
Kondisi Milan masih mending. Memang kondisinya seperti sungai tercemar yang pemadangannya menjijikkan. Namun, laiknya sungai yang tercemar di sekitar kita, sumber yang mengotorinya berasal dari manusia yang tinggal di dekar bantaran sungai. Begitulah realitas Milan saat ini.
Alih-alih memberi kritik solutif dan dukungan bermoral yang mampu mengangkat semangat tim, pendukung Milan malah berdiri di sisi yang berseberangan. Setidaknya itulah yang terlihat di media sosial. Banyak milanisti berego tinggi yang tak tahu malu. Â
Kini yang dibicarakan orang tentang Milan tak jauh dari olokan dan tertawaan. Ada hukum sebab dan akibat di sini. Netizen bola di media sosial tak serta-merta mengolok Milan tanpa ada pemicunya. Mereka begitu, sebab sebelumnya pendukung Milan inilah yang lebih dulu mengolok pendukung tim lain, khususnya pendukung tim rival di Serie A. Â Â
Oke, mungkin frasa mengolok terlalu kasar untuk kawan milanisti saya. Jumawa, mungkin itu frasa yang tepat. Saat berada di puncak, ada pendukung Milan yang adem ayem. Namun, ada pula yang langsung berkoar bahwa takada tim lain yang sanggup menundukkan Milan yang sedang garang-garangnya.
Siapapun yang menilai pemain Milan yang banyak diidolakan milanisti tampil buruk akan kena serangan di akun media sosialnya. Siapapun yang mempermasalahkan banyaknya hadiah penalti yang Milan dapat juga kena demo pendukung Milan yang arogan.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!