Mohon tunggu...
IrfanPras
IrfanPras Mohon Tunggu... Freelancer - Narablog

Dilarang memuat ulang artikel untuk komersial. Memuat ulang artikel untuk kebutuhan Fair Use diperbolehkan.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Problematika AC Milan dan Ego Pendukungnya yang Terlampau Tinggi

5 Maret 2021   08:03 Diperbarui: 5 Maret 2021   08:14 638
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Alessio Romagnoli, Frank Kessie, dan Rafael Leao dalam laga Milan vs Udinese (3/3). | foto: Twitter @acmilandata

Berbanding terbalik dengan capaiannya di tahun 2020, utamanya di paruh pertama Serie A 2020/2021, performa AC Milan di paruh kedua sangat mengkhawatirkan. Setidaknya itulah yang terjadi di 2 bulan pertama tahun 2021.

Tujuh laga sudah dijalani Milan di paruh kedua Serie A musim ini. Hasilnya, Romagnoli cs menang 3 kali, kalah 3 kali, dan sekali imbang. Dari 21 poin maksimal yang bisa diraih, rossoneri cuma bisa memetik 10 poin saja.

Akibat hasil minor tersebut, seperti yang bisa kita lihat saat ini, Milan sudah tidak duduk manis di puncak klasemen Serie A. Dari tim yang nyaris tak terkalahkan, Milan kini justru jadi tim yang sulit meraih kemenangan.

Klasemen Serie A 2020/2021 di pekan ke-25. | foto: Twitter @SerieA_EN
Klasemen Serie A 2020/2021 di pekan ke-25. | foto: Twitter @SerieA_EN
Terbaru, di pekan ke-25 Serie A 2020/2021, Milan yang bertindak sebagai tuan rumah hanya mampu memetik 1 angka. Anak asuh Stefano Pioli ditahan imbang 1-1 oleh tamunya, Udinese. Laga yang berlangsung 3 Maret dinihari lalu itu juga diwarnai hadiah penalti kontroversial di akhir laga.

Kesampingkan handsball konyol yang dibuat Stryger Larsen, dalam 7 laga terakhirnya, gawang rossoneri sudah jebol 11 kali. Artinya, gawang Gigio Donnarumma selalu nyaris kebobolan 2 gol dalam tiap laga. Kontras dengan 7 laga pertama Milan di awal musim ini yang hanya kebobolan 7 gol saja.

Bisa dibilang bahwa lawan mulai mudah membongkar pertahanan Milan. Sayangnya, masalah tak cuma di pertahanan saja. Di 7 laga terakhirnya, Milan sudah kalah 3 kali, dan di 3 kekalahan tersebut Milan selalu gagal mencetak gol.

Sembilan gol berbanding sebelas kebobolan dalam 7 laga. Sebuah catatan negatif tentunya. Atas hasil buruk dalam beberapa laga terakhirnya, banyak pendukung Milan yang mendengungkan pergantian pemain yang performanya dianggap buruk.

Sandro Tonali, Alexis Saelemaekers, Rafael Leao, Diogo Dalot, hingga sang kapten Alessio Romagnoli pernah mendapat kritik di media sosial. Ya kalau hanya kritikan, terkadang fan Milan kelewat batas hingga merundung siapa saja yang dinilai tampil kurang memuaskan.     

Untuk masalah tersebut, Pioli tak tinggal diam. Perombakan susunan pemain sudah beberapa kali dilakukan. Misalnya, mengganti Alexis dengan Castillejo, Dalot dengan Kalulu, hingga Romagnoli dengan Tomori. Namun nyatanya, tidak terjadi perubahan signifikan.

Selain meminta Pioli mengganti susunan 11 pemain utamanya, fan juga meminta Pioli mengganti formasi andalannya. Selama ini allenatore berkepala plontos itu selalu memakai formasi 4-2-3-1. Formasi tersebut dinilai usang dan sudah tidak manjur.

Untuk perkara ganti formasi, Pioli tetap kekeh dengan 4-2-3-1 yang sudah diterapkan sejak awal ia melatih Milan. Dinilai dari sisi taktikal dan teknikal, sejatinya tidak ada masalah pada formasi tersebut. Lagipula, daftar pemain Milan musim ini memang sudah sesuai dengan formasi tersebut. 

Menerapkan formasi baru di tengah kompetisi yang hanya menyisakan sedikit pertandingan rasanya riskan dilakukan. Waktu jadi masalah utamanya. Semenjak pandemi Covid-19, jadwal pertandingan menjadi kacau, termasuk Serie A musim ini yang jadwal pertandingan tiap giornata-nya mepet.

Masing-masing tim bisa terus berlaga dengan waktu rehat cuma 3 hari. Atas dasar inilah, tidak tepat bila jadwal pertandingan jadi penyebab menurunnya performa Milan. Toh, semua tim juga merasakan hal yang sama.

Masalah ganti formasi juga tak bisa dibongkar pasang begitu saja. Sebuah formasi dipilih sesuai dengan ketersediaan pemain dan taktik si pelatih. Formasi juga tak bisa tiba-tiba diubah di tengah kompetisi tanpa dilatih terlebih dahulu di sesi latihan internal tim.

Penulis pribadi belum menemukan satupun berita yang memuat kabar soal Pioli yang coba menerapkan formasi berbeda di sesi internal tim. Masih sama, 4-2-3-1. Adapun rumor Pioli yang mencoba formasi 3 bek ataupun kembali ke 4-3-3 merupakan saran dari beberapa jurnalis kenamaan Italia. Hanya sebatas spekulasi.

Intinya, mustahil memakai formasi baru tanpa formasi tersebut diciptakan dan dilatih terlebih dahulu. Karena ganti formasi artinya juga ganti skema. Nah, berbicara soal skema serangan dan bertahan, skema Pioli di Milan bisa dibilang mulai tumpul.

Ada beberapa alasan, tergantung sudut pandang yang dipakai untuk menganalisis. Pertama, taktik dan skema Pioli tidak berubah sejak setahun lalu, ajek. Risikonya adalah, lawan mulai terbiasa dan mampu mengantisipasi skema serangan dan pertahanan Milan.  

Kedua, skema serangan yang ajek menciptakan sebuah kebiasaan dan kebiasaan tersebut lama-lama mudah dibaca lawan. Sejatinya, taktik Pioli lebih condong ke situasional play ketimbang set play. Masalanya, saat terjadi kebuntuan, Pioli tak punya "plan B".

Bandingkan dengan Antonio Conte bersama Inter. Conte adalah pelatih yang terkenal dengan set play-nya. Semua bentuk serangan dan pertahanan sudah ada pakemnya. Walau semua sudah diatur, tetapi Conte punya banyak pilihan set play. Di awal musim ini, Conte juga banyak bereksperimen dengan hal itu. Kekayaan itulah yang tak dimiliki Pioli.

Sejatinya, masalah tersebut masihlah bisa diatasi. Bila terjadi kebuntuan saat situasi open play, seharusnya Milan bisa mencoba membuat peluang lewat situasi bola mati alias set piece. Nah, inilah perkara berikutnya dari Milan asuhan Pioli. Rossoneri tidak pandai memanfaatkan situasi tersebut walau dalam 6 pertandingan terakhirnya Milan juga hanya bisa mencetak 1 gol dari open play.

Hingga 25 laga di Serie A, Milan sudah mencetak 48 gol. Namun, hanya 9 gol yang berasal dari skema bola mati, sisanya 26 gol dari open play, dan 12 gol dari eksekusi penalti. Padahal, bila skema serangan biasa sudah mulai terbaca dan waktu untuk meracik taktik baru mepet, membuat skema khusus untuk memanfaatkan set piece bisa jadi solusi instan.

Milan punya beberapa pemain untuk memaksimalkan bola-bola mati. Untuk tendangan bebas langsung, rossoneri punya Hakan Calhanoglu dan Zlatan Ibrahimovic yang dulu kerap mencetak gol dari situasi tersebut. Selain keduanya, ada Bennacer, Tonali, atau Theo Hernandez yang bisa melambungkan bola dari eksekusi tendangan bebas atau corner kick.

Sayangnya, Milan musim ini justru lebih banyak mencari hadiah penalti. 16 penalti didapat sejauh ini, terbanyak di antara peserta Serie A lainnya. Memang, mayoritas penalti tersebut bisa dijelaskan penyebabnya, termasuk seringnya pemain Milan masuk kotak penalti lawan. Namun, ada perkara lain yang harusnya lebih diperjuangkan.

Milan musim ini tergolong tim yang rajin menciptakan peluang lewat upaya crossing ke kotak penalti lawan. Pada laga versus Udinese misalnya, rossoneri membuat 29 crosses, tapi 7 yang akurat dan hanya menghasilkan 1 handsball yang berujung gol penalti.

Begitupun saat melawan Inter. Pemain Milan membuat 36 crosses, tapi hanya 6 yang tepat sasaran. Statistik di FBref.com juga menunjukkan angka yang sama. Pemain Milan mampu menghasilkan rata-rata 11,6 crosses dan 6,16 tendangan sudut tiap 90 menit. Hasilnya, hanya sedikit yang berbuah gol.

Banyaknya jumlah crossing yang jadi ciri khas Milan tak lepas dari target utamanya, yaitu Ibrahimovic. Dengan keunggulan postur dan fisiknya, mengirim umpan silang ke Ibra merupakan upaya cepat menempatkan bola di sepertiga akhir area lawan. Sayangnya, sejauh ini hanya Ibra yang bisa memanfaatkan umpan-umpan tinggi itu dan anehnya skema yang sama dipakai saat ujung tombaknya bukan Ibra.

Untuk urusan tersebut, Milan bisa belajar dari Manchester United kala membantai Southampton 9-0 beberapa waktu lalu. 7 dari 9 gol MU tercipta melalui skema crossing. MU tidak hanya mengandalkan 1 target man di dalam kotak penalti, melainkan 2, dan kadang juga ada yang jadi pengecoh.

Rangkaian permasalahan di atas masih diperparah dengan fakta banyaknya pemain Milan yang menepi karena cedera. MilanData mengungkapkan ada 54 kasus cedera yang terjadi di musim ini, dimana 27 kasusnya merupakan masalah otot. Jumlah tersebut terbanyak di antara kontestan Serie A lainnya.

Terbaru, masalah otot paha jadi penyebab Tonali ditarik di awal babak kedua saat melawan Udinese kemarin. Tonali jadi pemain kesekian setelah sebelumnya Kjaer, Zlatan, dan Hakan sudah lebih dulu merasakannya. Penulis menduga ada yang salah dengan metode latihan Milan. Mungkin juga ada yang tidak beres dengan tim fisik dan tim dokter AC Milan.

Daftar pemain Milan yang menepi akibat cedera. | foto: Twitter @acmilandata
Daftar pemain Milan yang menepi akibat cedera. | foto: Twitter @acmilandata
Dugaan tersebut sayangnya tidak bisa penulis buktikan. Hingga detik ini takada satupun media yang meliput masalah cedera pemain Milan yang didominasi masalah otot paha. Mereka justru lebih fokus dengan banyaknya penalti yang Milan dapat musim ini.

Uraian masalah di atas bisa saja benar, bisa pula salah. Yang pasti, Milan sedang tidak baik-baik saja. Sempremilan.com menuliskan bahwa masalah Milan adalah menurunnya antusiame pemain beberapa bulan belakang yang salah satunya karena tekanan akibat margin poin yang makin kecil.

Sekali lagi, akan ada banyak dugaan, sebanyak sudut pandang yang dipakai untuk menganalisis permasalahan Milan. Apalagi bila membicarakan hal-hal nonteknis yang sulit dianalisis secara objektif. Hanya saja, rumor adanya opsi memecat Pioli dan menggantinya seperti yang ditulis salah satu media olahraga kita bukanlah solusi yang tepat, tapi ngawur.  

Penulis tidak akan mengungkap media tersebut di sini, toh dalam berita yang mereka terbitkan tidak ada rujukan sumber berita alias referensinya. Namun, rumor ini bakal jadi santapan nikmat untuk ego para pendukung Milan yang terlanjur jumawa, berekspektasi terlalu tinggi, tapi ujungnya kecewa karena selalu merasa tidak puas.

Memberi makan ego para fan semacam ini memang tidak akan pernah usai. Lihat saja saat Pioli merombak susunan pemain sesuai kehendak fan. Hasilnya percuma, selalu ada pihak yang harus disalahkan dan di sisi lain ada pihak yang disanjung setinggi langit, lalu beberapa waktu kemudian bakal dihempaskan ke tanah saat kepuasannya tak terpenuhi (lagi).

Belajarlah dari Schalke wahai Milan dan para pendukungnya. Di musim ini, Schalke sudah berganti pelatih sebanyak 5 kali. Baru-baru ini direktur olahraganya juga dipecat bersama beberapa staf yang juga dirombak habis. Namun, tetap saja, Schalke tak beranjak dari zona degradasi.

Kesimpulannya, membuat keputusan secara tergesa-gesa bukanlah pilihan bijak. Pun sama dengan membuat analisis, perlu dikaji dengan cermat agar permasalahan performa Milan bisa diselesaikan secara tuntas. Tujuannya tentu saja demi lolos ke babak grup Liga Champions musim depan!

Forza Milan!

@IrfanPras

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun