Rival sekota Milan itu jauh lebih nyaris ketimbang MU. Inter melaju hingga final sebelum kandas dari Sevilla dan ironisnya, di laga itu Romelu Lukaku bikin gol bunuh diri. Baik MU dan Inter sangat terpukul dengan pencapaian mereka.
Bandingkan dengan semifinalis Liga Champions musim lalu. Leipzig dan Lyon justru dipuji atas pencapaian mereka, pun sama dengan PSG yang jadi runner-up. Namun, MU dan Inter yang statusnya semifinal dan finalis justru jadi pesakitan. Apa sebabnya?
Hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari pamor Liga Europa yang jauh di bawah Liga Champions. Ya, jauh di bawah. Bagaimanapun, klub besar yang berlaga di Liga Europa terlanjur difavoritkan terlalu dini untuk jadi juara. Siapapun mereka dianggap mampu berkuasa karena persaingan Liga Europa yang tak seketat Liga Champions.
Bagi klub-klub di luar 5 liga top Eropa, juara di Liga Europa adalah sebuah prestasi prestisius. CSKA Moscow, Zenit St. Petersburg, dan Shakhtar Donetsk pernah merasakannya dulu. Namun, bagi klub yang rutin mentas di Liga Champions, Liga Europa bisa dibilang sebatas pelipur lara, bisa pula disebut lahan perebutan gengsi. Tetapi, itu berlaku sebelum mereka lolos ke babak semifinal.
Mentas di Liga Europa ini memang dilematis bagi klub-klub besar semacam MU, Arsenal, Spurs, ataupun Milan. Secara perhitungan, berkompetisi di Liga Europa itu untungnya tidak signifikan. Gugur di awal fase gugur tidak masalah, tetapi jadi masalah apabila gugur saat tinggal selangkah jadi juara.
Masalahnya ada di prize money yang masuk kantong peserta Liga Europa. Perbedaan prize money Liga Champions dan Liga Europa ini bagaikan bumi dan langit. Ini Europa League dan Champions League lho, belum UEFA Conference League yang rencananya akan digelar mulai pertengahan tahun ini.
Di musim yang sama, Bayern Munich jadi juara Liga Champions. Berapa uang yang dibawa pulang Bayern sebagai juara? Yang pasti banyak dan estimasinya bisa mencapai lebih dari 100 juta euro. Khusus Liga Champions, kita tak usah membicarakan prize money sang juara, lha wong lolos jadi peserta babak grup Liga Champions saja sudah dapat uang 15 juta euro. Bila lanjut ke babak 16 besar dapat extra sebesar 9,5 juta euro.
Bayangkan saja, kontestan Liga Europa kudu jadi juara dulu untuk menyaingi prize money para peserta babak grup Liga Champions. Dengan estimasi pendapatan seperti itu, klub besar Eropa yang terlempar ke Liga Europa ada baiknya lebih memilih menjual 1-2 pemain bagusnya dengan harga mahal. Namun, bagi klub kecil, angka tersebut sangatlah berarti untuk penghidupan sekarang.
Maka wajar bila MU terlihat lebih niat di Liga Europa ketimbang Premier League. Selain mengejar prize money, ada gengsi yang MU perjuangkan. Musim lalu, mereka jadi bahan tertawaan netizen saat gagal juara. Jomplang dengan perlakuan yang diterima Leicester, PSV, Lille, dan Napoli yang gugur di babak 32 besar Liga Europa musim ini.
Apakah ada yang peduli dengan klub-klub yang gugur di babak 32 besar Liga Europa? Rasanya tidak bukan? Pun kemungkinannya sama untuk hasil di babak 16 besar hingga 8 besar nanti. Perhatian baru tertuju saat memasuki babak semifinal.