Ujian dari Allah itu datang bukan sekadar untuk menguji, tapi merupakan bentuk kasih sayangNya. Namun, manusia sering kali mengeluh ketika ujian itu mampir ke kehidupannya.
Manusia kerap kali lupa. Untuk apa manusia diciptakan? Untuk apa manusia tinggal di bumi? Untuk siapa selama ini mereka hidup?
Pertanyaan di atas sangat jarang terlintas di dalam pikiran manusia. Kalau pertanyaannya saja tidak terlintas, otomatis jawabannya juga tak terpikirkan.
Bukannya gak mikir, sayangnya kesibukan membuat pertanyaan seperti itu bagaikan angin lalu. Bagaikan hantu yang cuma terlihat sekelebat saja. Sesudahnya, ya hidup mesti jalan lagi.
Sekali lagi, manusia lupa kalau hidup ini hanya sementara. Namun, dunia memenuhi pikirannya. Harta dicari-cari. Jabatan buat rebutan. Wanita malah dijadikan mainan.
Hidup ini sejatinya berisi ujian yang olehNya terus diperbarui sesuai kondisi hambaNya. Ya, ujian itu memang datang silih berganti. Bentuknya juga macam-macam.
Ada yang diuji dengan kekayaan, ada yang diuji dengan kemiskinan. Ada yang diuji dengan cinta dan kasih sayang, ada yang diuji dengan kekerasan dan penderitaan. Semua itu sudah ditentukan dan manusia tidak bisa memilih ataupun mengelak.
Sekalipun tak pernah diperjuangkan, bila sesuatu sudah ditakdirkan menjadi milikmu, tidak akan menjadi milik orang lain. Pun sama, mau berjuang sekeras apapun kalau sesuatu itu tidak ditakdirkan menjadi milikmu, selamanya tidak akan jadi milikmu.
Lalu, apa yang akan dilihat dan dinilai oleh Allah? Tentu saja sikap, respon, dan cara manusia dalam menghadapi ujian tersebut. Bila sukses akan diberi ujian lanjutan, bila gagal akan diberi kesempatan revisi.
Sikap, respon, dan cara itulah yang menentukan ridha atau tidaknya Allah. Seperti sebuah pemberian. Apakah diberikan dengan ala kadarnya asal sampai, atau diberikan secara ikhlas dan penuh senyuman.
Semuanya sudah ada hitungannya. Sayangnya, manusia kerap tidak betah dengan ujian dan cobaan yang ia hadapi. Menghindar dan lari adalah cara yang dipilih. Padahal cara itu justru bikin Tuhan marah!
Maka tak ada cara lain selain menghadapi ujian dari Allah tersebut. Ujian tidak melulu berbentuk musibah, tapi bisa juga berupa rezeki atau malah sesuatu yang selama ini diidam-idamkan.
Ada yang berdoa untuk jadi orang yang terkenal, diundang ke mana-mana, dan dibayar selangit. Namun, doanya belum kunjung dikabulkan. Hingga pada satu titik dia coba menguji doanya.
"Coba deh lepas jilbab dulu, sepertinya rezekiku disitu."
"Ada larangan solat jumat kalau aku tetap mau kerja di sini. Gapapa deh, taubatnya nanti saja setelah kaya."
"Solatnya nanti saja deh, setelah toko sepi, nanggung."
Sejatinya, kodrat manusia itu diuji, bukan menguji. Sampai kiamat sekalipun, manusia tidak akan pernah bisa menguji janji dan ketetapan Allah. Sebab, Allah lah sang Maha Pencipta.
Bisa saja Allah mengabulkan doa setelah manusia melakukan kelalaian. Tetapi, itu namanya bukan rezeki, melainkan azab yang datangnya sebagai balasan perbuatan buruk manusia.
Bila merasa dalam kondisi itu, buru-burulah kembali ke jalanNya. Sebab, musibah itu datang sebagai peringatan dan Allah sangat menyukai hambaNya yang mau bertaubat.
Bisa saja Allah mengabulkan doa manusia usai dia melanggar perintahNya. Namun, bukan rezeki yang datang, tetapi istidraj. Sungguh merugi mereka-mereka yang terjebak dalam kondisi istidraj. Â Â Â
Manusia turun ke bumi untuk senantiasa beribadah dan melaksanakan perintah serta menjauhi laranganNya. Tidak ada catatan baik di dunia sebagai pengantar menuju ke surga, bila yang dikejar bukanlah rida dari Allah.
Percayalah, rezeki, dan kebahagiaan itu datangnya dari Allah. Semua itu diturunkan sebagai nikmat sekaligus ujian untuk meninggikan derajat manusia. Itulah bentuk kasih sayang Allah kepada hambaNya. Â
@IrfanPras
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H