"Corona itu gaada"
Kala mendengar pernyataan itu dari kawan satu kos saya, rasanya saya ingin segera meluapkan emosi. Dengan misuh-misuh salah satunya.
Saya urungkan niat dan hasrat untuk misuh yang sudah sampai di ujung lidah ini. Saya ndak mau pada akhirnya tindakan dan ucapan saya dicatat dosa oleh malaikat dan justru memperkeruh suasana obrolan.
Tapi saya benar-benar tak habis pikir dengan pernyataan kawan saya itu. Kok bisa sih?
Lucu sekali pernyaatan itu keluar dari mulutnya. Sebab, beberapa hari sebelumnya dia terlihat panik bin waspada sampai akhirnya menyediakan tempat cuci tangan di depan pintu kos setelah mendengar salah satu tetangga kami positif Covid-19.
Tapi sekali lagi saya ndak mau menghakimi sepihak kawan saya itu. Karena dalam lingkungan saya banyak yang begitu kok. Sungguh, masih banyak di sekitar kita, makhluk yang bernama manusia yang diberkahi akal pikiran, tapi masih tak percaya adanya virus corona.
Kalau menurut Devie Rahmawati, Pengamat Sosial dari Universitas Indonesia, ada 2 alasan yang membuat seseorang tak percaya adanya virus corona. Pertama, corona itu tidak nampak, sementara masyarakat kita tahunya penyakit itu nampak, gejalanya bisa dilihat dengan mata.
Kedua, masyarakat kita tidak percaya dengan Covid-19 karena banyaknya hoaks dan penyesatan informasi yang beredar cepat selama ini. Kita tahulah bahkan sekelas profesor saja ada yang bikin teori konspirasi, belum lagi adanya kelas masyarakat kita yang sangat percaya kalau corona itu makhluk Tuhan dan hanya Tuhan yang bisa menghilangkannya, tapi lucunya banyak yang modalnya cuma doa tanpa usaha. Â Â
Salah satu tetangga kos saya bercerita kalau dia sempat bertanya kepada salah satu pedagang pasar yang terdampak penutupan. Katanya, si pedagang jawab begini.
"Lha mboh ki, ra jelas og pemerintahe." ("Gak tau tuh, gak jelas pemerintahnya")
Ada ungkapan kekesalan dari para pedagang akibat penutupan itu. Selain kesal ditutup, mereka juga kesal dengan keputusan dan aturan pemkot soal protokol kesehatan selama pandemi Covid-19.