Mohon tunggu...
IrfanPras
IrfanPras Mohon Tunggu... Freelancer - Narablog

Dilarang memuat ulang artikel untuk komersial. Memuat ulang artikel untuk kebutuhan Fair Use diperbolehkan.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Surat Terbuka untuk Kawanku Mahasiswa Psikologi

23 Oktober 2020   08:55 Diperbarui: 24 Oktober 2020   16:33 1006
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

10 Oktober lalu diperingati sebagai Hari Kesehatan Mental Sedunia atau World Mental Health Day. Awalnya, saya tak menyadarinya hingga #WorldMentalHealthDay telah menjadi tren di linimasa Twitter.

Yang membuat peringatan Hari Kesehatan Mental Dunia yang ke-28 ini terasa spesial adalah, karena berlangsung saat pandemi Covid-19. Sudah jadi pengetahuan umum bahwa pandemi virus corona tak hanya memberi dampak secara finansial, tapi juga mental.

Maka wajar bila #WorldMentalHealthDay selalu diawali dengan pesan-pesan moral, nasihat, motivasi, dan tips kesehatan mental terutama yang berkaitan dengan efek pandemi. Momen peringatan tersebut akhirnya jadi ajang saling mendukung dan mewanti-wanti soal pentingnya menjaga kesehatan mental.

Tak luput dari pengamatan penulis bahwa, beberapa dari mereka yang mengikuti tagar tersebut berbagi nasihat soal bahayanya self diagnose dan bahayanya memberi diagnosis kepada orang lain tanpa diikuti kepentingan untuk kebutuhan penyembuhan atau pengembangan diri orang lain.

Masalahnya, diagnosis semacam itu sering kali keluar dari mulut para mahasiswa psikologi. Orang yang sedang menempuh perjalanan suci demi mendapat gelar Sarjana Psikologi yang seharunya paham betul bahayanya mendiagnosis orang lain secara sembarangan.

Setidaknya, inilah pengalaman pribadi penulis beberapa tahun lalu soal mahasiswa psikologi di salah satu kampus di Indonesia yang membuat penulis memilih menjauh atau enggan berteman dengan mereka.

Begini kisahnya,...

Kuliah Kerja Nyata (KKN) adalah salah satu ajang bertemunya mahasiswa lintas jurusan. Mereka tergabung dalam satu kelompok yang memiliki visi dan misi berbeda tiap kelompoknya, tergantung tema dan wilayah penempatannya.

Nah, salah satu kawan saya mendapat teman kelompok beberapa mahasiswa psikologi. Sebetulnya, ini bukan pengalaman pertama saya berkenalan dengan mahasiswa psikologi, lha wong teman saya juga menempuh pendidikan di jurusan ini kok.

Akan tetapi, ini adalah pertama kalinya saya mendengar kemampuan menilai, mendiagnosis, dan melabeli orang lain yang dimiliki dan dipelajari mahasiswa atau lulusan psikologi.

Pada saat di kantin kampus, teman sejurusan saya memanfaatkan kemampuan teman sekelompoknya tersebut untuk menilai dirinya, temannya, dan beberapa orang yang ada di kantin. Teman saya ini meminta si mahasiswa psikologi itu untuk menilai alias membaca kepribadian orang lain.

Bagaimana caranya? Hanya dengan memandangi targetnya saja. Ya, cukup dengan langkah tersebut dan dibarengi melihat gerak-gerik serta caranya berbicara. Sederhana, tapi bagi saya menjengkelkan.

Bagaimana bisa seseorang menilai orang lain tanpa kontak langsung dengan dirinya? Bagaimana bisa seseorang mendiagnosis orang lain hanya dengan melihat dan mendengar tanpa berbicara langsung? Bagaimana bisa seseorang melabeli orang yang bahkan tidak ia kenal?

Ironis, sebab orang-orang itu di luar sana berbicara soal bahayanya self diagnose, tapi dia sendiri dikit-dikit menilai, dikit-dikit mendiagnosis hanya demi kepuasan dan terlihat superior. Asyik, mungkin begitu pandangan mereka karena mereka bisa sekaligus praktik (praktik apanya?).

Ya, saya paham bahwa tidak semua mahasiswa psikologi seperti itu. Saya yakin hanya segelintir saja dan itu hanya oknum saja. Namun tetap saja, praktik semacam itu sangat menyebalkan.

Yang lebih menyebalkan lagi adalah orang lain seperti teman saya yang dengan awamnya meminta kepada mahasiswa psikologi kenalannya untuk membaca dan menilai orang lain. Dikit-dikit; "ayo dong baca aku, menurutmu aku gimana dan harus gimana?", "kalau orang itu gimana?, "kalau yang itu orangnya baik gak?".

Bagi saya, tindakan semacam itu termasuk perbuatan "membicarakan orang dibelakangnya" alias "menggunjing" atau bahasa halusnya "ghibah". Sebuah perbuatan keji nan berdosa dan sungguh saya sangat membencinya. Kalau pembaca bagaimana?

Ilustrasi sesi konseling psikolog klinis untuk bisa mendiagnosis pasien. | foto: alodokter.com
Ilustrasi sesi konseling psikolog klinis untuk bisa mendiagnosis pasien. | foto: alodokter.com

Dampak: Persepsi dan Trauma

Sejak kejadian di kantin itu, saya putuskan untuk menjauh dari kawan atau kenalan dari kalangan mahasiswa psikologi. Saya marah dan risih.

Setelah kejadian itu, teman saya jadi sedikit mempraktikkan ilmu menilai orang lain kepada kami teman-temannya. Dasarnya, ya hanya berdasarkan penuturan singkat si oknum mahasiswa psikologi itu.

Dari sini saja sudah terlihat efek buruknya. Penegakan diagnosis tidak bisa dilakukan hanya dengan modal "katanya". Dari satu kasus contoh ini saja sudah terjadi ajang ghibah berantai.

Kalau sudah ghibah berantai, apa bisa disimpulkan kalau bakal jadi dosa jariyah?

Bagaimana dengan saya? Setelah kejadian itu, selain menjauh dari pertemanan dengan mahasiswa psikologi, saya akhirnya jadi punya persepsi pribadi soal dunia psikologi.

Akhirnya pula, persepsi saya terhadap psikolog klinis jadi buruk. Di mata saya, psikolog klinis itu sok tahu, lha wong pas jadi mahasiswa saja dikit-dikit menilai orang lain dan mendiagnosis orang yang tidak Ia kenal.

Jalan takdir Yang Maha Kuasa sungguh sulit ditebak setelah itu. Saya dipaksa mengenali apa kesehatan mental dan sialnya saya menjadi cinta dengan topik ini.

Saya pun belajar dan berkenalan dengan isu kesehatan mental di Indonesia. Sialnya lagi, referensi saya berasal dari penulis, dosen, dan psikolog klinis yang dulunya pernah mengalami gangguan kesehatan mental.

Sungguh jalan takdir yang kejam, dimana saya jadi punya persepsi bahwa seorang psikolog hebat pasti dulunya pernah "gila", haha. Seiring berjalannya waktu hingga pandemi virus corona menghantam, Yang Maha Kuasa meneruskan guratan takdirnya-Nya.

Pada akhirnya, saya menjadi terbuka bahwa self diagnose dan diagnosis sembarangan adalah perbuatan yang salah dan melanggar kode etik. Seorang psikolog klinis/psikiater tidak akan melakukan itu (seharusnya).

Jadi jelas bahwa apa yang dilakukan mahasiswa psikologi yang belum punya gelar itu adalah salah besar! Bila oknum itu bisa dengan santainya melabeli orang lain, maka bolehlah kita melabeli mereka "sok tau", "sok jago" Siap Bang Jago!

Untung baru persepsi, sebab dampak terparah dari tindakan tebak-tebakan diagnosis psikologi seperti apa yang pernah saya alami adalah trauma. Trauma untuk curhat, trauma mendapat penilaian positif, hingga trauma bertemu psikolog.

Bayangkan bila seseorang pernah mendapat tebakan diagnosis asal-asalan hingga diberi label mengalami gangguan tanpa adanya tujuan treatment. Parahnya, apabila ia di kemudian hari mengalami gangguan mental tanpa ia sadari dan membuatnya stress atau depresi (semoga tidak), tapi tidak mendapat pertolongan karena trauma mendapat diagnosis ugal-ugalan.

Yang rugi siapa? Ya pasien, ya dunia psikologi Indonesia. Bukankah kepedulian masyarakat akan kesehatan mental sedang naik-naiknya? Masa iya, semua itu dirusak dengan tindakan self diagnose suka-suka oleh oknum kurang ajar.

Di bulan kesehatan mental ini, saya ingin berpesan kepada kawan-kawan mahasiswa psikologi. Berhentilah bermain-main dengan penilaian sok tahu anda! Saya tak tahu apakah ini hanya kasus di kampus saya atau juga terjadi di kampus lain, tapi semoga saja tidak ya.

Akhir kata, mari kita saling menjaga kesehatan mental kita dan orang-orang di sekitar kita. Jangan malu untuk sekadar curhat dan bila perlu datang saja ke psikolog atau psikiater bila memang memerlukan bantuan profesional.

Tenang, seperti yang sudah saya tuliskan, seorang psikolog klinis tak akan mendiagnosis sembarangan dan tidak akan manin tebak-tebak buah manggis soal keluhan atau gangguan pasiennya.

Mohon maaf bila ada kesalahan terutama mohon maaf kepada pihak yang merasa tersinggung dengan tulisan ini. Akhir kata, salam sehat dan bugar selalu.  

@IrfanPras

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun