Di era industrialisasi sepak bola, klub dituntut untuk mandiri. Mampu berdiri sendiri, mampu berprestasi, mampu menghasilkan pemasukan sendiri, dan seharusnya punya stadion sendiri.Â
Artikel ini merupakan lanjutan dari artikel yang berjudul "Dari Tiket Sampai Hadiah, Inilah Sumber Pendapatan Klub Sepak Bola Eropa". Sila simak terlebih dulu pembahasan di artikel sebelumnya agar lebih memahami ulasan berikut.
Pada tahun 2019, penghasilan Juventus di sektor matchday revenue mencapai 208,5 juta euro. Angka tersebut jauh dari penghasilan rivalnya Internazionale yang hanya mendapat 159,2 juta euro. Penghasilan di sektor matchday revenue memang sangat ditunjang oleh stadion.
Berapa kapasitasnya, apa saja fasilitasnya, dan yang paling penting, stadion tersebut milik siapa?
Juventus bisa menghasilkan pemasukan lebih besar dari Juventus Stadium yang hanya punya kapasitas 41.507 kursi, lebih kecil dibanding Stadion Giuseppe Meazza/San Siro yang dipakai Inter yang punya kapasitas maksimal 75.923 kursi. Lalu, kenapa Juventus Stadium bisa menghasilkan cuan lebih banyak dari San Siro?
Faktor pertama, kepemilikan
Giuseppe Meazza/San Siro adalah stadion kandang Internazionale, berbagi dengan saudara tuanya, AC Milan. Diketahui, San Siro adalah stadion milik pemerintah kota Milan, bukan punya AC Milan ataupun Internazionale. Kedua klub ini meminjam stadion tersebut dan membayar biaya sewa.
Berbeda dengan duo Milan ini, Juventus memakai stadion kebanggan miliknya sendiri, Juventus Stadium yang resmi dibuka pada September 2011 lalu. Juventus masih jadi satu-satunya klub Serie A yang membangun dan memiliki stadion sendiri hingga saat ini.
Memakai stadion milik sendiri artinya tidak perlu membayar biaya sewa seperti yang dilakukan Rossoneri dan Nerazzurri kepada pemerintah kota Milan. Bila diumpamakan di kondisi bisnis Indonesia, pendapatan Milan dan Inter di sektor ini dipotong pajak retribusi yang cukup tinggi. Sementara itu, Juventus bisa memaksimalkan potensi dan mengelola langsung pendapatan dari stadionnya.
Faktor kedua, manfaat
Dulu, sempat terjadi kontroversi saat pembangunan Juventus Stadium. Juve membongkar Stadio delle Alpi yang punya kapasitas sekitar 67.000 kursi dan diganti dengan stadion baru (Juventus Stadium) yang direncanakan hanya punya kapasitas sekitar 41.000.
Sekilas, Juve terlihat bodoh dengan mengikis potensi besar dari stadion besarnya. Namun, cara tersebut justru genius. Si Nyonya Tua menghilangkan trek atletik dan malah bisa memaksimalkan pendapatan dari uang tiket.
Begini analisisnya. Musim 2018/2019, kehadiran rata-rata fans Inter di San Siro mencapai 61.423, tertinggi di antara klub lain termasuk Juve yang hanya menempati posisi ketiga di bawah Inter dan Milan. Namun, rekor kehadiran tersebut hanya mengisi sekitar 81% dari kapasitas total San Siro (75.923 kursi).
Sementara itu, kehadiran rata-rata di Juventus Stadium hanya 39.231 penonton. Akan tetapi, jumlah tersebut sudah cukup untuk mengisi sekitar 95% kursi yang tersedia di Juventus Stadium yang punya kapasitas maksimal 41.507 kursi.
Artinya, Juve justru membangun stadion sesuai kebutuhannya dan memaksimal loyalitas kehadiran fansnya. Dengan langkah tersebut, La Vecchia Signora justru mampu mendapat manfaat maksimal dari stadionnya.
Lalu, apa manfaat punya stadion sendiri? Bagaimana stadion sepak bola menghasilkan uang?
Ada yang namanya hospitality tickets. Ini adalah tiket terbaik dengan pelayanan paling "wah" yang ditawarkan klub kepada penonton hingga bisa dinikmati lebih dari 90 menit pertandingan. Penonton akan ditempatkan dalam satu ruang khusus, ber-AC, dengan pelayanan serupa restoran dan perhotelan.
Paketnya bisa berbeda-beda tiap klub dan tiap paket menawarkan harga dan pelayanan yang berbeda pula. Sama seperti tiket pertandingan, hospitality tickets juga dijual harian dan musiman.
Beberapa layanan yang bisa dinikmati dengan tiket ini antara lain, diijinkan turun ke lapangan sebelum dan sesudah pertandingan berlangsung, menonton pertandingan secara eksklusif di tempat duduk khusus di ruang ber-AC, mendapat layanan makanan dan minuman ala restoran mewah, hingga mendapat suvenir eksklusif.
Bila mau, suporter juga bisa menyewa lapangan untuk bermain sepak bola selama beberapa jam dan beberapa ruangan di stadion ada yang disewakan untuk berbagai acara.
Kompasianer Tonny Syiariel pernah membagikan pengalamannya saat memberi komentar di salah satu artikel saya. Beliau menceritakan bahwa kandang Barcelona, Camp Nou juga menyediakan persewaan beberapa ruangnya untuk berbagai acara, salah satunya untuk gala dinner lengkap dengan kateringnya.
Percontohan paling sempurna adalah Arena AufSchalke, stadion berkapasitas 62,271 kursi milik kontestan Bundesliga Jerman, Schalke 04. Bisa dibilang, stadion ini merupakan stadion paling modern di Eropa saat ini.
Yang paling masyhur dan penulis yakin bahwa pembaca sekalian sudah mengetahui adalah, stadion ini punya lapangan yang bisa digeser keluar-masuk stadion. Dengan teknologi itu, Arena AufSchalke bisa dipakai untuk berbagai ajang tanpa merusak kualitas lapangan bolanya.
Sejak berdiri pada 2001 lalu, selain menjadi kandang Schalke 04, stadion ini juga pernah dipakai di ajang Speedway Grand Prix (2007, 2008), Ice Hockey World Championship (2010), German Darts Masters (2018), dan sejak 2002 menjadi tuan rumah kejuaraan biathlon dunia hingga saat ini.
Selain itu, beberapa band kelas dunia pernah manggung di stadion tersebut. Sebut saja Bon Jovi, Metallica, hingga Coldplay. Bahkan Wladimir Klitschko and Ruslan Chagaev pernah beradu tinju pada 2009 lalu di stadion ini.
Stadion ini layak pula disebut stadion canggih, sebab Arena AufSchalke punya tribun tambahan yang bisa digeser pula seperti lapangan bolanya. Sejak 2005, naming rights stadion ini dibeli perusahaan bir Jerman, Veltins dan sejak saat itu kandang Schalke ini lebih dikenal dengan nama Veltins Arena.
"Naming Rights", cara cerdas hasilkan uang dari stadion
Salah satu hal yang paling menarik disorot dari manfaat punya stadion sendiri adalah bebas menjual naming rights atau hak penamaan stadion. Klub bisa menjual hak penamaannya kepada pihak lain untuk jadi sponsor.
Naming rights sangat akrab di sepak bola Jerman. Berdasarkan survei Duff & Phelps, 80% klub Bundesliga menyematkan sponsor pada nama stadionnya. Selain Veltins Arena milik Schalke, sang rival sekota, Borussia Dortmund juga menjual "naming rights" stadionnya, Westfalenstadion.
Hak penamaan stadion Dortmund dijual ke perusahaan asuransi, Signal Iduna sejak tahun 2005 demi mengurangi hutang klub saat itu. Diketahui, Signal Iduna punya kontrak hingga 2021 nanti. Oleh karenanya, kandang Dortmund berganti nama menjadi Signal Iduna Park (namun fansnya tak suka menyebut nama itu).
Juventus Stadium juga. Diketahui, Juve menjual hak penamaan stadion kepada salah satu sponsor pembangunan stadionnya, Sportfive Italia. Juventus menandatangani perjanjian dengan Sportfive Italia yang memberi perusahaan tersebut "hak penamaan eksklusif dan sebagian hak promosi dan sponsor untuk stadion baru".
Sportfive diberi hak mengelola nama stadion dari 2011 hingga 2023 dengan biaya 75 juta euro dan diberi hak juga untuk memasarkan sky box dan kursi VIP. Sejak 1 Juli 2017, Stadion Juventus dikenal secara komersial sebagai Allianz Stadium Turin hingga 30 Juni 2030.
Berdasarkan fakta-fakta di atas, maka wajar bila Milan dan Inter sedang merencanakan proyek pembangunan stadion baru sejak 2019 lalu. Mungkin Anda menganggapnya lucu karena dua klub rival ini akan membangun stadion bersama dan kembali berbagi kandang.
Ada beberapa alasannya. Pertama, membangun bersama berarti menghemat beban biaya masing-masing klub. Kedua, perizinan di kota Milan cukup sulit. Sebelumnya, pemkot Milan ingin agar Rossoneri dan Nerrazzuri membeli saja San Siro, tapi masalahnya San Siro sudah terlalu tua dan biaya renovasi lebih mahal.
Terakhir, apakah kita bisa menyimpulkan bahwa setiap klub sepak bola profesional harus punya stadion sendiri?
Jangan dulu ambil kesimpulan pasti. Permasalahan tiap klub berbeda-beda, apalagi masalah dana yang sering mengganjal dan seperti kasus di Italia, tidak mudah membangun stadion baru. Perizinan dan masalah pembebasan lahan di berbagai negara juga berbeda-beda.
Lalu, apa solusinya? Adakah opsi lain selain membangun stadion baru? Bagaimana dengan Indonesia, opsi mana yang bisa ditiru klub sepak bola kita?
Tak perlu jauh-jauh, contoh terbaik adalah Suita City Football Stadium yang terletak di Kota Suita, Jepang. Stadion yang kini bernama Panasonic Stadium Suita karena alasan komersial itu adalah kandang milik Gamba Osaka sejak 2016 lalu.
Stadion yang nyaris berkapasitas 40 ribu penonton itu mulai dibangun pada tahun 2013 hingga selesai pada 2015. Stadion Suita dibangun atas kerjasama dan sumbangan dana beberapa pihak termasuk bantuan dari masyarakat kota Suita dan fans Gamba Osaka.
Diketahui, stadion ini dibangun dengan biaya yang cukup murah, yaitu Rp 1,4 T. Suita City Footbaal Stadium dibangun atas sumbangan dari 721 perusahaan lokal dengan total donasi mencapai Rp 1 T. Pemerintah Jepang memberi tambahan dana subsidi sebesar Rp 350 M, sementara sisa kekurangan dana disumbang Gamba Osaka dan 34.600 anggota masyarakat.Â
Setelah selesai dibangun, hak kepemilikan stadion diberikan kembali ke pemerintah setempat dengan Gamba Osaka diberikan hak pemakai eksklusif. Stadion ini juga termasuk stadion modern dan terbesar keempat di Jepang.
Di atap stadionnya dipasang panel surya yang disponsori Panasonic untuk kebutuhan kelistrikan stadion. Sejak Januari 2018, naming rights dibeli oleh pemilik Gamba Osaka, yaitu Panasonic Corporation.Â
Gamba Osaka dengan Panasonic Stadium Suita adalah contoh jalan keluar terbaik masalah pembangunan stadion baru. Selain dibangun atas uluran tangan banyak pihak, stadion ini juga masih memberi pemasukan pendapatan kepada pemerintah setempat. Sebuah langkah solutif bagi klub yang punya pemerintah kota yang sulit dilobi.
Akan tetapi, perlu dipahami bersama bahwa se-solutif apapun caranya, punya stadion sendiri adalah opsi terbaik. Klub bebas memaksimalkan potensi manfaatnya sehingga pendapatan bisa digaruk maksimal.Â
Berdasarkan riset Duff & Phelps, stadion legendaris seperti Old Trafford, Santiago Bernabeu, hingga Camp Nou diperkirakan punya valuasi naming rights hingga lebih dari 30 juta euro. Apa sebabnya? Simpel, semakin klub tersebut berprestasi, punya basis fans besar, maka akan semakin mudah menarik investor atau minimal sponsor.
Akan tetapi, klub juga harus memahami dampak sosialnya. Yaitu semakin besar, megah, dan canggihnya stadion yang dimiliki, maka semakin besar pula beban biaya perawatan dan karyawannya. Jangan sampai klub lupa akan hal itu hingga perlu diingatkan Covid-19 yang membuat beberapa klub terpaksa memangkas karyawannya.
Sekian.
@irfanpras
***
Tulisan ini merupakan lanjutan dari rencana penulis untuk membuat pembahasan dengan topik "bisnis dan finansial klub sepak bola". Insyaallah akan ada pembahasan berikutnya. Sila ditunggu. Bila ada masukan, kritik, atau saran sila tuliskan di kolom komentar.
***
Referensi: [1], [2], [3], [4], [5]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H