Manchester United (MU) mengawali laga perdananya di Premier League 2020/2021 dengan hasil pilu. Bermain di stadion yang katanya "angker", Old Trafford, Ole dan anak asuhnya kalah dari Crystal Palace, 1-3.
Pilu, sebab pada laga yang digelar Minggu (20/9) dini hari WIB itu, gawang David De Gea dibobol dua kali oleh sang mantan. Adalah Wilfried Zaha, yang pernah menyandang status sebagai penggawa MU selama periode 2013-2015.
Zaha yang dulu sempat dicap gagal, lalu dibuang The Red Devils justru jadi dalang dibalik kekalahan MU di laga perdana Premier League dengan dua golnya. Kekalahan di kandang sendiri dalam pertandingan perdana Premier League ini adalah yang ketiga kalinya bagi MU sepanjang sejarah.
Dikutip dari BBC Sports via detik.com, sebelum ini, MU sudah kalah dari Everton pada musim 1992/93 dan Swansea City pada musim 2014/15. Ironisnya lagi, kekalahan ini tentu membuat rekrutan baru MU, Donny van de Beek kecewa.
Van de Beek adalah satu-satunya pencetak gol bagi MU di pertandingan dini hari tadi dengan golnya di menit ke-80. Faktanya, Ia menjadi pemain ke-20 yang berhasil mencetak gol debut di pertandingan perdanya untuk Manchester United di Premier League.
Kekalahan The Red Devils atas The Eagles pun langsung ramai dibicarakan netizen, terutama oleh fansnya sendiri. Bagaimana tidak? Berdasarkan catatan whoscored, penguasaan bola hingga 75,8% dan percobaan tembakan hingga 17 kali rasanya tidak ada gunanya, sebab hanya satu gol yang bisa MU buat.
Bayangkan, skuat MU yang bernilai hampir 800 juta euro kalah dari skuat The Eagles yang hanya bernilai 203,05 juta euro saja. Crystal Palace bahkan hanya mendapat kesempatan menguasai bola sebesar 24,2%, tapi anak asuh Roy Hodgson bisa menciptakan 14 peluang dan mencetak 3 gol ke gawang MU.
Yang membuat pendukung MU kecewa bin marah, 3 gol Palace dicetak dengan cara konyol. Duet bek andalan MU yang bermain dini hari tadi, Lindelof dan Maguire pun jadi bahan olok-olokan hingga disebut lebih pantas jadi pelawak ketimbang pengawal De Gea.
Whoscored juga punya pendapat serupa. Lindelof jadi pemain terburuk di laga MU vs Crystal Palace. Pemain timnas Swedia itu hanya meraih rating 5.8, lebih buruk dari De Gea yang mendapat rating 5.9.
Lindelof 2 kali dikelabuhi pemain Palace dan satu kali membuat handsball yang berujung penalti bagi Palace yang sukses dikonversi menjadi gol oleh Zaha. Gol kedua Zaha di menit ke-85 juga dibuatnya setelah mengecoh dua bek tengah MU, Lindelof dan Maguire. Artinya, kekalahan MU ini memang lebih banyak disponsori oleh deretan bek mereka yang bermain lawak.
Fosu-Mensah, Lindelof, Maguire, dan Shaw tak banyak berkutik menghadapi kecepatan Zaha, Ayew, Schlupp, dan Townsend. Legenda MU yang kini jadi pundit, Gary Neville juga punya pendapat serupa. Ia mengkritik dua bek tengah MU yang bermain buruk dini hari tadi.
"Salah satu area yang akan coba diperkuat Manchester United adalah bek tengah dan itu harus pemain yang cepat. Jordan Ayew dan Wilfried Zaha seperti menikmati pertarungan satu lawan satu dengan Lindelof dan Maguire.", kata Neville, seperti dilansir BolaSport.com dari Metro, Minggu (20/9/2020).
Hingga Minggu pagi, kekalahan MU atas Crystal Palace masih jadi trending topic di twitter. Kata "Odading Mang Ole" bahkan sempat bertengger di 5 besar trending topic Twitter Indonesia. Kata para suporter MU, Odading Mang Ole rasanya anjing banget. Â
Mengutip perkataan Daeng Khrisna Pabhicara, "Dalam hal mengecewakan suporter, Manchester United memang sempurna". Ya, saya sepakat. Bahkan kekecewaan mereka saja bisa dibuat viral serta bisa menghasilkan cuan.
Antara jualan basi dan tipu daya pemilik MU
Awal tahun 2020, pendukung The Red Devils dibuat bangga dan berbahagia. Manchester United masih masuk daftar 3 besar klub sepak bola dengan pendapatan tertinggi sedunia.
Dalam rilis Deloitte Money Football League (DFML) untuk data pendatapan tahun 2019, MU menempati posisi ketiga di bawah Barcelona dan Real Madrid dengan totol pendapatan 711,5 juta euro. MU sukses mencatat total pendapatan tertinggi selama 5 tahun terakhir.
Sektor komersial jadi penyumbang pemasukan terbanyak dengan pendapatan sebesar 317,2 juta euro atau 45% dari total pendapatan total MU tahun 2019. Selengkapnya simak infografis berikut ini.
#MUFC have paid 209m pounds in last 5 years to fund Glazers' ownership structure: 120m pounds interest plus 89m pounds dividends. In fact, in last 10 years they spent an extraordinary 838m pounds on financing: 488m pounds interest, 251m pounds debt repayments & 99m pounds dividends. Took out 140m pounds loan since year-end.
Bayangkan, MU sudah membayar 209 juta pounds dengan rincian; bunga 120 juta pounds  + dividen 89 juta pounds selama 5 tahun terakhir untuk mendanai struktur kepemilikan The Glazers. Fakta ini sangat jomplang bila dibandingkan The Roman Emperor di Chelsea yang justru mendanai klubnya hingga 440 juta pounds selama 5 musim terakhir.
Bukannya menyumbang kekayaan untuk mendanai klub, The Glazers justru ikut nimbrung demi meraup keuntungan tidak sehat. Maka jangan heran bila MU terlihat sangat hemat di bursa transfer tapi tiap tahun selalu nangkring di daftar klub paling kaya dunia.
Kembali ke rilis DMFL, selama 5 tahun terakhir, MU memang tak pernah keluar dari daftar 3 besar klub dengan pendapatan tertinggi dunia. Dan selama periode itu, sektor komersial adalah penyumbang pemasukan tertinggi.
Untuk memahaminya lebih jauh, kita perlu paham apa saja yang jadi andalan MU untuk menghasilkan cuan di sektor komersial.
Sektor komersial ini paling besar ditunjang oleh kontrak sponsor dan penjualan merchandise. Selain itu, klub masih bisa mendapat pemasukan tambahan dari kegiatan tur pramusim, membuka sekolah sepak bola, acara coaching clinic, hingga menjual hak penamaan stadion.
Nah, perlu kita ingat bahwa MU adalah salah satu tim paling populer sedunia. Dalam hasil survei Results Sports, MU bertengger di posisi 3 klub dengan basis pendukung terbesar di dunia setelah Barca dan Madrid.
Bisa dibilang, kuantitas dan loyalitas pendukung MU jadi salah satu sebab klub ini tetap kaya. Ingat, sektor komersial jadi penghasil keuntungan terbesar MU dimana sektor ini sangat bergantung pada sponsor dan fans.
Klub tak ada mendapat uang dari hasil penjualan merchandise bila klub tersebut tak punya basis fans yang besar dan loyal. Bila diingat-ingat juga, MU adalah klub yang sering melakukan tur pramusim di luar Inggris, utamanya ke benua Asia setiap libur kompetisi.
Maka, bisa diasumsikan juga kalau fenomena ini ditunggangi pemilik MU beserta jajarannya untuk meraup cuan. Dengan menjual "nama besar" dan "loyalitas", tiap tahunnya MU tetap menghasilkan untung besar dari sektor komersial. Â Â
Seperti yang terjadi sejak dini hari tadi hingga Minggu pagi dimana pendukung MU sangat berisik di media sosial. Hal-hal yang berkaitan dengan MU bahkan masuk trending twitter, dan di banyak media sosial lain, kekalahan MU tengah jadi olok-olokan.
Sialnya, pendukung MU sendirilah yang membuatnya viral. Sialnya lagi, ya itulah "jualannya" MU dan para pendukung setianya. Sebuah drama, ironi, nama besar, dan loyalitas yang selalu dijadikan jualan basi klub yang dimiliki The Glazers itu.
Masih dari data DMFL, MU juga masuk dalam daftar 3 besar klub dengan jumlah pengikut terbanyak di media sosial dengan Facebook sebagai penyumbang terbanyaknya dan Paul Pogba sebagai pemain dengan jumlah pengikut terbanyak.
Maka, dari sinilah keuntungan MU dapatkan. Sialnya, baik menang ataupun kalah, MU dan para pendukungnya selalu bisa menghasilkan "keramaian" yang bisa dijual. Ini juga yang jadi jaminan sponsor mau menanamkan modal besar beserta bonus ke dalam kantong The Red Devils.
Sebuah jualan basi ala The Glazers yang memanfaatkan para pendukung loyalnya demi meraup cuan. Ini jugalah yang menjadikan salah satu pendukung setia MU di twitter @EdwinAryeh menyerukan kepada kawan-kawannya untuk berhenti mem-follow seluruh media sosial MU, tidak membeli segala merchandise-nya, dan memboikot laga kandang MU ketika stadion di buka kembali untuk penonton.
Sungguh ironis memang!
Lalu, bagaimana dengan pendapatan MU di tahun 2020 yang terdampak pandemi Covid-19?
DMFL memprediksi, MU masih akan meraup pendapatan di angka maksimal 560-580 juta pounds. MU pun terancam turun posisi di daftar DMFL dan diprediksi akan disalip Man. City dan Liverpool sebagai klub Inggris dengan pendapat tertinggi. Namun, angka ini tentu masih sangat tinggi bukan?
Usut punya usut, DMFL juga mengungkap bahwa penurunan pendapatan MU juga disebabkan kegagalan klub menembus Liga Champions di musim 2019/2020. Nah, dalam prediksi DMFL, MU kehilangan bonus besar yang disyaratkan sponsor bila klub mencapai capaian tertentu.
Mari kita lihat dari kacamata lain. Ini sebetulnya jadi bukti bahwa manajemen MU sekarang tak perlu diragukan kapasitasnya di bidang bisnis. Sayangnya, kehebatan di bisnis tak bisa ditularkan di lantai bursa dan di atas lapangan.
Ed Woodward, eksekutif di manajemen MU yang punya tanggung jawab di bursa transfer sering gagal merekrut pemain baru. Di bursa transfer 2020 ini saja sudah banyak pemain incaran yang lepas dari bidikannya.
Sebut saja Jadon Sancho (yang tidak ada kejelasannya), Jude Bellingham yang ditikung Dortmund, serta Reguilon dan Bale yang lebih memilih ke Tottenham. Ini belum termasuk nama lain yang sempat dirumorkan, yang sayangnya tiap kali MU masuk di berita transfer pemain, para pendukungnya terlanjur kegirangan duluan.
Bahkan perlu ada peran seorang Edwin van der Sar, mantan kiper MU yang kini menjabat CEO Ajax untuk memuluskan transfer Van de Beek ke Old Trafford. Apakah MU perlu seorang sporting director yang khusus menangani perkara semacam ini? Kalau fokus mereka prestasi iya, kalau masih bisnis ya tidak perlu. Â
Saya pribadi sedikit menyayangkan fenomena ini dan sedih bila kembali melihat data-data di atas. Bila ada yang bilang MU sudah jadi klub bisnis, saya tak akan menyangkal itu. Kenyataannya begitu bukan?
Lalu, apa solusinya?
Kejahatan dan tipu daya The Glazers semacam ini harus segera dihentikan. Meraup untung dari kekecewaan suporter harus segera diakhiri.
Angka sebesar 209 juta pounds yang masuk ke kantong The Glazers selama 5 tahun terakhir bukanlah angka yang kecil. Apalagi kalau ternyata uang tersebut tidak benar-benar untuk keperluan operasional pemilik tapi justru masuk kantong pribadi (?).
Sekali lagi, menjual loyalitas untuk meraih cuan bukanlah cara yang hebat, tapi jahat. Bila terus berlanjut, mau menang atau kalah seperti dini hari tadi ketika melawan Crystal Palace, rasanya tidak berpengaruh sama sekali.
Toh, tiap menang atau kalah, MU tetap untung, Glazer makin kaya. Menang tambah kaya, kalah ya tetap kaya.
Sekian.
@IrfanPras  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H