Mohon tunggu...
IrfanPras
IrfanPras Mohon Tunggu... Freelancer - Narablog

Dilarang memuat ulang artikel untuk komersial. Memuat ulang artikel untuk kebutuhan Fair Use diperbolehkan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Terancamnya Budaya Jagongan dan Cangkrukan Bila Pengguna Kata "Anjay" Terancam Dipidana

6 September 2020   16:56 Diperbarui: 6 September 2020   16:45 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Contoh situasi cangkrukan. | foto: tribratanewstulungagung.net

Komisi Nasional Perlindungan Anak atau biasa disingkat Komnas PA meminta masyarakat untuk menghentikan penggunaan kata “anjay”. Lebih lanjut, berdasarkan pres rilisnya, ungkapan “anjay” berpotensi mengandung unsur perundungan dan pengguna yang menggunakan kata tersebut dapat dipidana berdasarkan Undang-undang RI Nomor 35 Tahun 2014.

Sontak, pres rilis Komnas PA yang terbit 29 Agustus lalu itu menjadi viral di masyarakat. Ada yang menertawainya, ada juga yang mendukung, dan ada juga yang mengecam balik Komnas PA.

Ironisnya, banyak netizen salah alamat. Netizen yang kesal justru melayangkan kecamannya kepada akun media sosial KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia). Padahal KPAI tidak tau apa-apa, padahal yang memidanakan ungkapan “anjay” bukan KPAI, tapi KPA. Duh, netizen!

Hehe, lucu. Begitulah menurut saya persoalan Komnas PA dan “anjay”. Lucu, lha wong sampai sekarang (6/9) kata “anjay” masih diperbincangkan. Kompasiana saja sampai menjadikannya topik pilihan.

Kepada Komnas PA dan saudara Lutfi Agizal yang mempermasalahkan ungkapan “anjay”, sadar gak sih kalau “anjay” sekarang justru menjadi lebih populer ketimbang sebelumnya?

Banyak yang meluruskan bahwa kata “anjay” bukan umpatan, bahkan sampai membuat pohon katanya seperti Kompasianer kita tercinta, Khrisna Pabhicara. Ada juga yang membahas bila ada 4 kata selain “anjay” yang sebetulnya lebih penting untuk dilarang, seperti kata Komapsianer Sri Wangadi.

Nah, inilah bagian yang menarik. Ada efek domino dari pres rilis Komnas PA soal pidana “anjay”. Mati satu tumbuh seribu. “Anjay” menjadi viral, yang tadinya tidak tahu jadi tahu, yang tadinya kosakata pergaulannya kurang jadi bertambah.

Viralnya “anjay” membuat netizen ramai-ramai menuliskan contoh kata lain yang maknanya sepadan dengan “anjay”. Di Twitter misalnya, banyak pengguna twitter yang mencontohkan kata yang maksudnya sepadan dengan “anjay” yang merupakan eufemisme dari umpatan “anjing”. Misalnya, kata “bajindul” yang merupakan eufemisme dari pisuhanbajingan”.

Kata “bajingan” sendiri awalnya baik-baik saja tidak berkonotasi umpatan atau kalau di Jawa disebut pisuhan. Namun, seiring perkembangan zaman, “bajingan” berubah menjadi kata pisuhan dan bertransformasi lagi menjadi kata gaul, sama dengan kata “anjing” dan “anjay”.

Nah, selain “bajindul”, “bajingan” punya turunan lain semisal, “bajingseng”, “bajigur”, “bajindal”, dll. bervariasi tergantung wilayah. “Bajindul” ini sepemahaman saya justru turunan yang paling halus.

Baik “anjay”, “bajindul”, “bajingseng”, “bajigur”, dan “bajindal” adalah eufemisme dari kata atau ungkapan yang maknanya kasar. Kata-kata ini muncul sebab penggunaannya sudah banyak dipakai sebagai kata gaul atau ungkapan keakraban.

Tangkapan layar Twitter @tirta_hudhi
Tangkapan layar Twitter @tirta_hudhi
Akun twitter @tirta_hudhi punya dr. Tirta adalah salah satu akun yang membagikan berbagai macam contoh pisuhan di Jawa Tengah yang diplesetkan maknanya. Ini baru Jateng, belum DIY, Jatim, Madura, Bali, Ambon, dll.

Di Jakarta ada ungkapam “anjing” dan “anjay”, di Jawa (Tengah, Timur, DIY) ada kata “bajingan” dan “bajindul”. Penggunaannya sama, yaitu sebuah kata gaul atau ungkapan keakraban yang awalnya muncul dari tongkrongan atau kumpul-kumpul.

Nah, budaya kumpul-kumpul inilah yang nantinya bakal terancam eksistensinya oleh larangan penggunaan kata “anjay”. Sebab, awal kemunculan kata “anjay” tak lain tak bukan adalah dari tongkrongan alian nongki-nongki.

Sama seperti “bajingan” dan turunannya, mereka muncul dari budaya masyarakat yang disebut jagongan atau cangkrukan. Jagongan atau cangkrukan punya arti duduk bersama, bersantai bersama teman, saudara, atau siapa saja membicarakan bermacam topik bahasan tanpa ada batas atau hierarki.

Baik jagongan, cangkrukan, hingga tongkrongan adalah bagian dari budaya masyarakat kita. Bahkan budaya tersebut tidak memandang usia, syaratnya hanyalah tak ada batas siapa yang lebih tinggi siapa yang lebih rendah, semua duduk sama rata.

Dan budaya ini sudah turun temurun, yang awalnya hanya dilakukan oleh kelas pekerja, sekarang siapa saja bisa melakukannya. Saya pun pernah menyaksikan secara langsung di sebuah angkringan di Kota Solo. Kala itu di suatu malam, saya melihat ada satu keluarga duduk bersama di atas tikar angkringan membicarakan masalah keluarga mereka.

Contoh lain ketika saya melakukan KKN di sebuah dusun di Kabupaten Gunung Kidul, DIY. Pada suatu malam semua warga, bapak, ibu, hingga anak muda berkumpul, duduk bersama di balai dusun berdiskusi perkara dusun. Di suasana cangkruk itu, semua punya hak suara dan tidak ada yang membatasi, sehingga kadang muncul kosakata yang bila didengar Komnas PA artinya kotor.

Contoh situasi cangkrukan. | foto: tribratanewstulungagung.net
Contoh situasi cangkrukan. | foto: tribratanewstulungagung.net
Ya, cangkrukan, nongkrong, atau jagongan memang bertujuan untuk berdiskusi, rasan-rasan, bertukar info, belajar, bahkan ada yang sekadar melepas rindu ngobrol dengan sejawat. Karena tidak ada batasan yang menghalanginya, maka istilah gaul yang awalnya merupakan umpatan atau pisuhan muncul dalam situasi tersebut.

Apakah hal tersebut menjadi masalah? Tidak, justru itulah seninya dalam cangkrukan dan jagongan. Ungkapan-ungkapan tersebut muncul secara natural dari mulut pesertanya. Untuk mengetahui makna aslinya, seseorang harus paham situasinya apakah merupakan sebuah umpatan murni atau sebuah gurauan alias kata gaul untuk menghangatkan suasana dan obrolan.

Saya pun sangat jarang menemukan orang yang tersinggung atau baper ketika mendengar ungkapan semacam “anjay” atau pisuhan lainnya dalam situasi cangkruk atau njangong. Karena begini, manusia sejatinya punya sifat alami untuk berkelompok dan setiap manusia punya pilihan mau berkelompok dengan siapa.

Jadi, sebetulnya aneh apabila Komnas PA tiba-tiba mengurusi pergaulan sekelompok orang yang terbentuk secara natural dan tidak merugikan siapa pun. Justru budaya semacam nongkrong, cangkruk, dan njagong ini adalah warisan leluhur, mampu mempersatukan anak bangsa.

Coba deh bayangkan, ada 4 anak muda nongkrong bareng di warung kopi. Tiba-tiba ketika ngobrol ada satu anak yang mengatakan “anjay”. Eh, ada satu anak yang tak terima terus menghubungi polisi lalu si anak yang mengatakan kata “anjay” ditangkap dan dipidana, kan ga lucu.

Yang tadinya mau nongkrong santai berubah jadi arena pidana. Yang tadinya mau cangkrukan melepas kangen justru jadi musuhan. Apakah pernyataan Komnas PA soal ancaman pidana terhadap pengguna kata “anjay” ini justru bisa merusak budaya nongkrong, cangkruk, atau njangong?

Kalau menurut pandangan saya pribadi, bila ada yang tersinggung, merasa di-bully dengan kata “anjay” dan sejenisnya, maka orang itu yang salah. Salah, sebab Ia telah salah memilih teman pergaulannya. Ingat, cangkrukan, jagongan, atau tongkrongan terbentuk secara natural, sukarela, tidak ada batasan, semua duduk sama rata sehingga seharusnya bila ada masalah bila ada gesekan kan bisa diselesaikan baik-baik tanpa melibatkan pengadilan.

Seorang yang bijak pernah berucap, “Kita tidak bisa mengatur omongan orang lain terhadap diri kita, kita hanya bisa mengatur sendiri reaksi kita terhadap omongan orang lain.”. Intinya, mau tersinggung, sakit hati, atau baper bukan murni kesalahan orang lain, tapi ada andil reaksi diri kita sendiri di sana.

Pahamilah apakah Anda seorang yang sensitif atau easy going. Pilihlah sendiri sedari dini lingkup pergaulan Anda agar tidak mudah terbawa suasana.

Lucunya, Komnas PA justru mau masuk ke ranah ini, mengatur omongan orang lain. Lucu, sebab mereka tidak sekalian saja semua kata yang bisa berkonotasi negatif atau berupa pisuhan dilarang.

Ingat, kata Khrisna Pabhicara, “anjay” hanyalah ranting yang muncul dari dahan bernama “anjir” yang asalnya dari pohon bernama “anjing”. Pun sama dengan “bajindul”, yang mungkin saja buah dari pohon bernama “bajingan”.

Kalau kata Sri Wangadi, lebih penting untuk mengurusi 4 kata lain yang lebih pantas dilarang penggunaannya bersifat bullying verbal yang sering dipakai untuk merendahkan orang lain, seperti goblok, aneh, jelek, kapan.

Intinya, saya pribadi sedikit setuju dengan pres rilis Komnas PA soal himbauan untuk hati-hati menggunakan kata “anjay”. Akan tetapi, nanggung bila hanya “anjay” saja yang dilarang. Belum lagi saya merasa baik pelapor dan Komnas PA sepertinya tak paham pergaulan masa kini.

Dengar-dengar, setelah “anjay”, kata “anjir” juga mau diproses. Bisa jadi nih, tebakan saya akan ada pres rilis lagi dan lagi-lagi netizen ramai-ramai memviralkan dan lagi-lagi muncul kosakata umpatan atau pisuhan lain. Mati satu tumbuh seribu, tidak selesai-selesai urusannya.

Bila ingin meluruskan dan menyelamatkan generasi milenial, seseorang harusnya paham situasi terkini dalam pergaulan milenial. Seperti filosofi cangkrukan, tidak akan terbentuk diskusi atau obrolan sehat apabila ada yang berdiri lebih tinggi.

Lucu juga bila nanti ada yang dipidana karena mengucapkan kata “anjay”. Bila melihat sekilas ancaman pidana dalam Undang-undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, hukumannya tak jauh-jauh dari penjara dan denda.

Lagi-lagi ujung-ujungnya yang bisa dipenjara dipenjara juga. Bukannya penjara sudah penuh?

Jadi tolonglah pikirkan kembali pelarangan penggunaan kata “anjay”. Rumuskan dulu dengan para ahli, dengan para tokoh masyarakat, dengan psikolog juga boleh, dan dengan masyarakat. Jangan tiba-tiba datang dan mengatur serta merusak suasana pergaulan santuy dengan ancaman pidana yang basi.

Kalau menurut pembaca gimana?

Sekian.

@irfanpras

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun