Di Jakarta ada ungkapam “anjing” dan “anjay”, di Jawa (Tengah, Timur, DIY) ada kata “bajingan” dan “bajindul”. Penggunaannya sama, yaitu sebuah kata gaul atau ungkapan keakraban yang awalnya muncul dari tongkrongan atau kumpul-kumpul.
Nah, budaya kumpul-kumpul inilah yang nantinya bakal terancam eksistensinya oleh larangan penggunaan kata “anjay”. Sebab, awal kemunculan kata “anjay” tak lain tak bukan adalah dari tongkrongan alian nongki-nongki.
Sama seperti “bajingan” dan turunannya, mereka muncul dari budaya masyarakat yang disebut jagongan atau cangkrukan. Jagongan atau cangkrukan punya arti duduk bersama, bersantai bersama teman, saudara, atau siapa saja membicarakan bermacam topik bahasan tanpa ada batas atau hierarki.
Baik jagongan, cangkrukan, hingga tongkrongan adalah bagian dari budaya masyarakat kita. Bahkan budaya tersebut tidak memandang usia, syaratnya hanyalah tak ada batas siapa yang lebih tinggi siapa yang lebih rendah, semua duduk sama rata.
Dan budaya ini sudah turun temurun, yang awalnya hanya dilakukan oleh kelas pekerja, sekarang siapa saja bisa melakukannya. Saya pun pernah menyaksikan secara langsung di sebuah angkringan di Kota Solo. Kala itu di suatu malam, saya melihat ada satu keluarga duduk bersama di atas tikar angkringan membicarakan masalah keluarga mereka.
Contoh lain ketika saya melakukan KKN di sebuah dusun di Kabupaten Gunung Kidul, DIY. Pada suatu malam semua warga, bapak, ibu, hingga anak muda berkumpul, duduk bersama di balai dusun berdiskusi perkara dusun. Di suasana cangkruk itu, semua punya hak suara dan tidak ada yang membatasi, sehingga kadang muncul kosakata yang bila didengar Komnas PA artinya kotor.
Apakah hal tersebut menjadi masalah? Tidak, justru itulah seninya dalam cangkrukan dan jagongan. Ungkapan-ungkapan tersebut muncul secara natural dari mulut pesertanya. Untuk mengetahui makna aslinya, seseorang harus paham situasinya apakah merupakan sebuah umpatan murni atau sebuah gurauan alias kata gaul untuk menghangatkan suasana dan obrolan.
Saya pun sangat jarang menemukan orang yang tersinggung atau baper ketika mendengar ungkapan semacam “anjay” atau pisuhan lainnya dalam situasi cangkruk atau njangong. Karena begini, manusia sejatinya punya sifat alami untuk berkelompok dan setiap manusia punya pilihan mau berkelompok dengan siapa.
Jadi, sebetulnya aneh apabila Komnas PA tiba-tiba mengurusi pergaulan sekelompok orang yang terbentuk secara natural dan tidak merugikan siapa pun. Justru budaya semacam nongkrong, cangkruk, dan njagong ini adalah warisan leluhur, mampu mempersatukan anak bangsa.