Begitu pula dengan Deportivo La Coruna, mereka juga pernah punya skuat menakutkan pada masanya.
Bagi yang besar di era 90-an dan 2000-an awal, Deportivo pernah jadi salah satu kesebelasan andalan di game Winning Eleven PS1. Dulunya, Super Depor ditakuti lawan lewat deretan pemain bintangnya, seperti Juan Carlos Valeron, Djalminha, Sergio Gonzalez, Fran, Joan Capdevilla, Bebeto, dan tentu saja yang paling diingat adalah Roy Makaay dan Diego Tristan.
Laga Deportivo La Coruna di perempat final Liga Champions 2004 bahkan masuk kedalam salah satu laga paling diingat dan paling mengejutkan dalam sejarah. Kala itu, dibawah asuhan Javier Irureta, Super Depor mencatat salah satu comeback terbaik dalam kompetisi.
Di perempat final, Deportivo bersua AC Milan. Leg 1 di San Siro, Super Depor pulang membawa kekalahan 4-1. Namun, siapa sangka, di leg 2 Super Depor membalikkan skor agregat dan lolos ke partai semifinal. Milan yang berstatus juara bertahan dibuat malu di Estadio Riazor dengan skor 4 gol tanpa balas.
Selang beberapa musim kemudian, mantan penggawa Milan yang dikandaskan kala itu justru yang membuat Deportivo degradasi. Musim 2017/2018 mereka terdegradasi dari La Liga dan Clarence Seedorf, mantan penggawa Milan yang pernah dibantai Deportivo, merupakan pelatih klub saat itu. Nama Deportivo pun tenggelam dari kasta tertinggi sepak bola Spanyol.
Namun, hingga kini, laga comeback Deportivo-Milan itu jadi bukti sahih kehebatan Deportivo La Coruna di masa lalu. Ya, di masa lalu sebab kini level mereka tak lagi setinggi itu. Deportivo tak lagi jadi salah satu tim yang merusak dominasi Barcelona dan Real Madrid di La Liga.
Alih-alih menjadi kuda hitam, untuk jadi klub yang sekadar berkompetisi di La Liga saja jalan mereka masih panjang. Deportivo harus memulai dari bawah lagi dan perubahan besar kudu dibuat.
Deportivo memang bukan klub kaya dan mereka juga bukan klub yang punya akademi bagus. Akademi mereka tak setenar milik Barcelona, Real Madrid, Getafe, Celta Vigo, ataupun Real Sociedad. Ini yang jadi masalah, sudah tak punya dana memadai, Deportivo juga tak punya regenerasi instan di akademi mereka.
Kini yang tersisa hanyalah kenangan. Rasanya berlebihan bila mengharap Deportivo bisa segera kembali merusak dominasi Barca dan Madrid atau bahkan kembali mentas di Liga Champions seperti sedia kala. Sembari menunggu datang masa itu, agaknya tidak berlebihan bila julukan Super Depor untuk sementara di tanggalkan dulu.
Super Depor tak lagi "super". Hanya waktu yang bisa menjawab kapan Deportivo La Coruna layak dijuluki Super Depor seperti pada masa jayanya dulu.