Mohon tunggu...
IrfanPras
IrfanPras Mohon Tunggu... Freelancer - Narablog

Dilarang memuat ulang artikel untuk komersial. Memuat ulang artikel untuk kebutuhan Fair Use diperbolehkan.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Mengenal Tsundoku dan Bibliomania, Hobi Koleksi Buku tapi Tidak Pernah Dibaca

21 Juni 2020   07:44 Diperbarui: 22 Juni 2020   01:02 1720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengunjung menggunakan troli untuk membawa buku-buku saat bazar buku Big Bad Wolf (BBW) di Indonesia Convention dan Exhibition (ICE) BSD, Tangerang (12/3/2020). Bazar BBW Jakarta 2020 menawarkan diskon dari 60 persen hingga 80 persen harga retail untuk buku-buku internasional serta diselenggarakan pada tanggal 6 sampai 16 Maret 2020.(KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG)

Apakah Anda suka membaca buku hingga mengoleksi buku? Jika iya, berarti kita sama. Saya juga punya hobi mengoleksi dan membaca buku, buku fisik ya, bukan digital.

Kebetulan saya adalah tipe pembaca buku yang harus benar-benar punya buku fisiknya terlebih dahulu untuk bisa benar-benar memahami isi buku tersebut. Oleh karenanya, saya akhirnya punya banyak buku yang menumpuk di rak. Hingga saya sadari bahwa apakah saya kecanduan atau berlebihan dalam mengoleksi buku?

Karena kepo, sayapun memutuskan berselancar di internet untuk mengetahui lebih lanjut perihal perilaku mengoleksi buku. Takutnya, apa yang saya lakukan dengan membeli buku fisik dan mengoleksinya di rak buku pribadi adalah suatu bentuk kesia-siaan bahkan suatu bentuk penyakit.

Ke-kepo-an tersebut akhirnya mengantarkan saya pada dua istilah yang menggambarkan sebuah kecintaan, kesukaan, atau obsesi khusus terhadap buku. Obsesi ini bisa membuat seseorang menjadi seorang kolektor/pengoleksi buku atau bahkan pecandu buku.

Istilah pertama adalah tsundoku yang saya temukan di artikel openculture dan bbc. Istilah Jepang ini pertama kali muncul pada era Meiji (1868-1912) untuk menggambarkan seseorang yang punya banyak buku namun tidak dibaca atau dibiarkan menumpuk. Istilah ini terdiri dari dua kata, tsunde-oku dan doku atau dokusho.

Tsunde-oku memiliki arti "membiarkan sesuatu menumpuk". Sementara dokusho memiliki arti "membaca buku". Sehingga bila digabung dua kata tersebut menjadi tsundoku yang artinya membeli suatu bacaan dan membiarkannya menumpuk. Bisa dikatakan bahwa seorang pengidap tsundoku merupakan penimbun buku. 

Istilah kedua adalah bibliomania. Beradasarkan sumber artikel yang saya baca di bbc, istilah ini ditemukan di Inggris pada abad ke-19. Istilah bibliomania muncul dari judul novel karya Thomas Frognall Dibdin: Bibliomania; or Book Madness.

Menurut definisinya, penderita atau pengidap bibliomania sangat terobsesi atau tergila-gila dengan buku dan tidak mampu berhenti mengumpulkan buku hingga koleksi bukunya menumpuk. Bahkan kebanyakan bukunya tidak dibaca. 

Seorang pengidap bibliomania ini bahkan ada yang sangat terobsesi untuk mengumpulkan buku-buku edisi khusus, seperti buku edisi pertama hingga buku dengan kondisi fisik tertentu.

Ilustrasi koleksi buku (Photo by John Weinhardt on Unsplash)
Ilustrasi koleksi buku (Photo by John Weinhardt on Unsplash)
Sepintas, pengertian tsundoku dan bibliomania cukup mirip, namun sejatinya keduanya beda makna. Seorang pengidap tsundoku dikatakan masih memiliki niat untuk membaca walau akhirnya tidak berhasil, dan secara tidak disengaja mengoleksi buku.

Contoh pengidap tsundoku paling terkenal adalah Rachel Kramer Bussel, seorang penulis dan kritikus buku asal US. Ia mengatasi tsundoku-nya dengan mendonasikan sebagian besar buku koleksinya. 

Selain Rachel, nama Frank Rose cukup terkenal sebagai tokoh tsundoku. Ia punya kebiasaan membeli buku sejak bekerja hingga pensiun untuk ia koleksi dan bermaksud membacanya nanti untuk mengisi hari tuanya. Hingga ia sadari kalau tumpukan bukunya sudah menggunung sebanyak 13.000 buku dan iapun kebingunan lalu memilih mendonasikan bukunya.

Sementara bibliomania dianggap sebagai salah satu bentuk Obsessive Compulsive Disorder (OCD), yaitu sebuah gangguan mental yang menyebabkan penderitanya memiliki obsesi untuk melakukan sesuatu secara berulang (kompulsif). Senada dengan hal itu, mengutip dari Listverse, Dr. Martin Sander berpendapat bahwa bibliomania merupakan budak buku akibat candu berlebih yang tidak terkontrol.

Dalam pratiknya, seorang pengidap bibliomania mengalami kecemasan/ketakutan berlebih yang disebabkan oleh trauma atau masalah psikologi lain. Nah, dengan melakukan kebiasaan membeli dan mengoleksi buku sesering mungkin hingga menjadi ketagihan akan membuat pengidapnya merasa lebih tenang.

Ciri pengidap bibliomania adalah biasanya memiliki trauma dan masalah mental/masalah sosial, sehingga obsesi berlebihnya terhadap buku menjadi pelariannya dari masalah dan traumanya. Bahayanya, jika sudah menjadi sangat obsesif, bibliomania bisa bertransformasi menjadi bibliokleptomania.

Bibliokleptomania adalah seorang pecandu buku yang dengan sengaja tidak mengembalikan buku pinjamannya bahkan sampai mencuri beberapa buku untuk ia jadikan koleksi akibat tak punya cukup uang untuk membeli buku. Salah satu contoh kasus ini adalah Stephen Blumberg.

Blumberg dijuluki "Pencuri Buku" karena memiliki koleksi buku sebanyak 23.600 buku yang sayangnya semua buku tersebut bukan milik dia. Buku-buku tersebut merupakan curian dari 327 perpustakaan yang tersebar di seluruh Amerika.

Bisa kita simpulkan sedikit bahwa bibliomania lebih berbahaya ketimbang tsundoku. Saya juga menemukan bahwa di Jepang sana, istilah tsundoku maknanya sudah meluas tidak melulu soal koleksi buku, namun juga mainan, pakaian, sepatu, dan barang-barang lainnya. Tsundoku dianggap tidak selalu negatif. 

Setelah mengetahui arti kedua istilah tersebut, saya menjadi berpikir, apakah saya sedang mengalami gejala tsundoku ya? Lihat saja tumpukan buku di meja saya berikut ini. 

Buku-buku itu saya tumpuk dengan urutan buku yang telah selesai dibaca berada di tumpukan paling bawah sementara paling atas menandakan buku yang sedang saya baca.

Tumpukan buku di meja penulis. | foto: IrfanPras/dokpri
Tumpukan buku di meja penulis. | foto: IrfanPras/dokpri
Cara mengatasi kebiasaan membeli buku tapi jarang dibaca

Nah, dari dua istilah tadi kita sudah sama-sama dapat memahami masing-masing pengertiannya juga mendapat contoh riilnya. Dari kedua contoh tadi kita juga bisa mengkategorikan diri kita termasuk pecinta buku yang seperti apa.

Kini masalahnya adalah bagaimana mengatasi masalah tersebut? Kalau masih termasuk dalam kategori tsundoku masih bisa terselamatkan. Contoh saja tokoh tsundoku tadi dengan menyumbangkan buku-bukunya atau jika ingin dibisnisin juga sah-sah saja.

Namun apabila pembaca merasa seorang bibliomania, hati-hati. Seperti contoh di atas, takutnya kebiasaan mengoleksi buku tadi menjadi sebuah obsesi berlebihan yang malah menjurus ke kriminal. Pahami juga, pembaca menjadi seorang pengoleksi buku sebabnya apa?

Jika mengoleksi karena stres, tertekan, dan gangguan kecemasan lain yang pelariaannya dengan membeli buku maka saran saya periksakanlah kondisi tersebut dengan seorang profesional contohnya psikolog klinis. Dalam kasus bibliomania yang saya temukan di internet, mereka memiliki masalah dengan sosialnya hingga melarikan diri dari permasalahan.

Jika pembaca memiliki hobi membaca dan mengoleksi buku, saran saya jadilah seorang bibliophile saja. Yaitu seorang pengoleksi buku sejati atau seorang pecinta buku sejati yang merawat bukunya bak sahabat sekaligus tak lupa membacanya hingga tamat.

Seorang bibliophile punya obsesi terhadap buku namun masih dalam kategori wajar. Atau jika pembaca tak punya keinginan untuk menjadi kolektor buku, jadilah seorang bookworm. Sekilas mirip dengan bibliophile, namun bookworn lebih menitikberartkan pada kecintaan membaca buku dan memahami isi/makna yang terkandung di dalam buku yang ia baca.

Jika pembaca punya keinginan kuat untuk mengoleksi buku, saya punya sedikit tips. Tips ini juga sudah mulai saya terapkan sejak setahun yang lalu untuk mengatasi kebiasaan saya membeli buku dan mengoleksinya.

Pertama, belilah buku yang memang benar-benar ingin dikoleksi. Selama ini saya selalu melihat isi dompet dulu sebelum membeli buku, jangan sampai uang bulanan habis hanya untuk membeli buku hingga memenuhi ruangan kamar.

Saya pun sedikit mengubah buku incaran yang ingin saya beli. Untuk buku-buku fiksi seperti novel, cerpen, dan sejenisnya, saya menyiasatinya dengan mulai membaca buku tersebut via versi digital legalnya atau meminjamnya di perpustakaan. Cara ini juga membantu saya agar betah membaca buku fiksi dan selesai dalam waktu singkat mengingat jika kita menyewa atau meminjam buku ada batas waktunya.

Untuk buku-buku non-fiksi seperti sains, agama, dan self-improvement saya memilih untuk membeli dan mengoleksinya. Kembali, saya tidak bisa memahami isi buku tanpa memiliki langsung buku tersebut. Dengan cara ini, rak buku saya lebih tertata dan terkondisikan.

Kedua, buatlah kebiasaan baru dalam membaca buku. Akhir-akhir ini saya mulai membiasakan diri membaca buku dengan ritme dan manajemen waktu yang baru. Jika biasanya membaca di waktu luang atau ketika butuh saja, saya mulai membacanya sesuai jadwal.

Sebagai contoh, setiap hari saya harus membaca buku dalam jangka waktu tertentu di waktu yang telah ditentukan. Misalnya, setiap jam 6 pagi selama 15 menit kedepan saya akan membiasakan untuk membaca buku berapapun halamannya. Bisa juga dengan menentukan banyaknya halaman yang perlu dibaca sebagai batasnya.

Cara ini cukup ampuh untuk memaksa saya rutin membaca buku dan menjadi sebuah candu, tapi candu yang positif tentunya. Ketika lupa atau sehari terlewat tidak membaca buku rasanya hambar dan bakal menyesal. Akhirnya lambat laun membaca jadi sebuah kebutuhan bukan lagi hobi atau kebiasaan belaka.

Itulah dua cara yang sejauh ini saya terapkan untuk mencegah diri saya menjadi seorang tsundoku akut atau bibliomania. Ingat, segala yang berlebihan itu tidak baik. 

Jika punya buku lawas yang sekiranya sudah tidak terlalu dibutuhkan lebih baik didonasikan saja. Atau jika punya rezeki lebih bisa membuat taman baca atau perpustakaan gratis, sehingga bukunya tidak mubazir di rak.

Semoga kita dijauhkan dari tindakan candu yang berlebihan hingga merugikan diri. Semoga berkenan. 

''Allah menguji manusia dengan sesuatu yang dicintainya. Maka janganlah berlebihan dalam mencintai sesuatu, agar sedihpun tidak berlebihan''

Sekian. Salam hangat @IrfanPras

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun