Marhaban Ya Ramadan. Selamat menunaikan ibadah puasa ramadan di bulan yang suci ini. Semoga ibdah kita diterima, mendapat ridho dan balasan pahala serta surga Allah SWT. Aamiinn.
Sebelum pembaca memulai membaca artikel ini, artikel ini bukanlah esai ataupun kultum (semoga saja tidak mengarah kesana), namun penulis hanya berkeinginan menuangkan curahan hati serta refleksi dan introspeksi diri di tengah ramadan yang paling sulit dalam sejarah hidup saya ini.
Siapa yang menyangka, ramadan yang seharusnya menjadi bulan paling ditunggu-tunggu umat muslim seluruh dunia ini malah harus dijalankan dengan segala permasalahan dan keterbatasannya. Makkah-Madinah yang harusnya ramai justru sepi, sangat sepi malahan akibat darurat kesehatan covid-19. Masjid sekitar rumah pun menjadi sepi, padahal biasanya banyak jamaah musiman yang datang.
Tapi bagi saya pribadi, saya malah kaget. Kaget karena tiba-tiba ramadan datang dan telah berjalan 4 hari lamanya. Padahal di tahun-tahun sebelumnya saya selalu bahagia, selalu menyambutnya dengan persiapan maksimal dan suka cita. Tapi entahlah, ramadan kali ini malah saya sambut dengan tanya, "kenapa engkau buru-buru datang?".
Dear ramadan 2020,
Engkau datang ketika diri ini belum siap menyambutmu. Selama hampir setahun ini, saya telah mengalami banyak permasalahan hidup.
Dari masalah pertemanan, masalah asmara, masalah sakit fisik akibat kecelakaan beberapa tahun lalu yang ternyata belum sembuh total, masalah mental, hingga masalah finansial yang juga menimbulkan masalah pendidikan semua sudah pernah dan sedang terasa hingga saat ini.
Tak pernah menyangka pada akhirnya bakal seperti ini. Tahun 2020 yang begitu didambakan sebagai akhir dan permulaan menuju kesuksesan malah menjadi tahun penerus penuh derita.
Di hari pertama menjalani rutinitas tadarus Alquran, jujur saja, rasanya ingin menangis. Sedih karena ingat di ramadan 2019, bacaan saya tak terbata-bata seperti ini. Dulu rasanya lancar-lancar saja, baca 4 lembar nonstop gak ngos-ngosan, tapi hanya dalam setahun bacaan bisa rusak.
Dulu, masih di ramadan 2019, semangat untuk rutin solat dhuha sangat menggebu-gebu. Sekarang, mau istiqomah solat lima waktu tepat waktu justru berat. Ketika raga ingin menjalani solat itu dengan berjamaah di masjid, masjid justru di tutup. Seolah pintu taubat menjauh dari tatapan mata.
Dengan adanya covid-19 juga, masalah pendidikanku yang mungkin tadinya mudah diselesaikan malah menjadi makin rumit karena adanya pembatasan.
Siapa sangka masalah hidup yang bertubi-tubi silih berganti selama setahun bisa meruntuhkan sebuah kepercayaan.
Ya, pernah terbesit dalam pikiran diri ini "kenapa saat aku sudah solat lima waktu, rutin mengaji selepas solat, ikut kajian, hingga sedekah rutin tiap bulan, Allah malah menurunkan masalah?" Dan bodohnya, ketika masalah itu datang, saya malah berpikir, "aku butuh suatu hal yang ilmiah terlebih dahulu, Islam sudah tak mampu menyelamatkan suasana hati dan mental ini".
Pernah diri ini mencari jalan keluar dari masalah dengan membaca berbagai macam buku ilmu. Namun sayangnya, Alquran justru pelan-pelan terlupakan dan akhirnya bacaan dan irama saya jadi kacau.
Sebuah keputusan bodoh memang, karena sejatinya segala obat dan jawabannya ada di dalam Alquran dan Hadist. Diri ini memang pernah ketika putus asa justru menjauh dari Alquran. Ketika masalah finansial di tanah rantau menerpa, masalah pendidikan yang tak kunjung usai malah membuat diri ini menyalahkan jalan takdir Sang Pencipta. Padahal Allah telah berfirman:
"Apakah manusia itu mengira bahawa mereka dibiarkan sahaja mengatakan; "Kami telah beriman," sedangkan mereka tidak diuji? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta," (QS. Al-Ankabut: 2-3)
Berpuas diri. Mungkin itu kata yang pas untuk dijadikan alasan sebab diri ini jauh dari Islam. Saya pun beberapa kali bertanya pada diri sendiri, "kenapa aku yang diuji dengan masalah ini?", "kenapa bukan aku yang dapat kebaikan dan kepedulian itu?". Iri dan minder akhirnya menguasai dan membuat raga menjauh dari lingkungan sekitar.
"Allah tidak membebani seseorang itu melainkan sesuai dengan kesanggupannya," (QS. al-Baqarah: 286)
Ah, padahal Allah telah mengingatkan dan memberi kabar baik, namun logika putus asa yang menguasai membuat jalan solusi dan kesembuhan menjadi jauh. Padahal beberapa kawan yang aku jadikan tempat curhat sudah mengatakan bahwa, "kamu itu bisa", "Insyaallah ada jalan, toh kamu juga sudah berusaha semaksimal mungkin. Yang sabar, takdir baik pasti datang di waktu yang tepat".
Akan tetapi, rasa penyesalan akan kesalahan masa lalu yang penuh "malas" begitu menyelimuti. Rasa sesal karena tak dapat memanfaatkan nikmat waktu yang telah begitu banyak diberikan. Sesal, karena bukannya bertambah imannya tapi justru berkurang. Alhamdulillah, saya masih bisa bersyukur, sebab masih diberi kesempatan untuk kembali menikmati momen ramadan di tahun 2020 ini.
Alhamdulillah juga masih diberi nikmat sadar akan segala salah dan dosa yang setahun terakhir ini membuat terpuruk dan jauh dari Islam. Pembaca, ketahuilah, sekali kita menjauh dari Islam, jalan kembalinya akan sangat berat, rasa sesal, sedih, kecewa bukan tak mungkin akan menghantui. Namun ketahuilah, bahwasanya Allah selalu membuka pintu taubat dan ampunanNya.
"Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang," (QS az-Zumar: 53)
Di bulan ramadan 2020 ini yang berbarengan dengan pendemi covid-19, setidaknya ada hikmah yang sudah saya dapat. Bahwa bisa jadi selama ini saya salah dalam niat beribadah kepada Allah. Selama ini saya tak tulus dalam berbuat kebaikan, kurang bersyukur kepada Allah, dan salah dalam membuat pengharapan.Â
Selama ini pahala dan balasan selalu saya harapan seusai melakukan amal. Seolah seperti hanya mengharap imbalan. Memang Allah sendiri menjamin balasan bagi hambaNya yang beriman, tapi itulah yang membuat saya terlena bahwa iman dan takwa harus dikedepankan lalu semua itu semata-mata untuk mengharap ridho Allah SWT. Ya, di bulan suci ramadan 2020 ini saya hanya ingin ridho Allah saja.
"Barangsiapa berpuasa Ramadhan atas dasar iman dan mengharap pahala (keridhoan) dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni." Â (HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760).
Dasar iman itulah yang harusnya saya perkuat dan niatkan sejak dini sebelum memulai amal, bukan malah langsung mengharap pahala ketika amal/perbuatan masih dalam angan-angan. Segala sesuatu yang kita sudah lakukan, sudah kita usahakan, apabila Allah tak me-ridhoi maka akan percuma. Pesan itulah yang sekarang saya pegang teguh, ramadan kala ini akan saya jadikan jalan untuk selalu mengharap ridho Allah di setiap perbuatan, sehingga pahala pun akan mengalir dengan sendirinya.
"Barangsiapa berpuasa dan shalat malam dengan mengharap pahala (keridhoan) Allah, maka dia keluar dosanya seperti bayi yang baru dilahirkan oleh ibunya". (HR. Ahmad)
Harapanku di momen puasa yang penuh berkah dan kemuliaan ini, aku harap puasaku diterima Allah, diridhoi segala amal yang menyertainya.
Di bulan ramadan ini, semoga Allah senantiasa melimpahkah rahmat, karunia, dan ridhoNya agar segala daya dan upaya untuk menyelesaikan masalah hidup mendapat jalan keluar. Semoga di bulan ramadan ini, pandemi covid-19 berakhir, dan saya bisa kembali melanjutkan penelitian yang terpaksa terhenti karenanya.
Semoga di bulan ramadan ini, ada ketenangan jiwa dan batin sehingga bisa fokus beribadah sebulan penuh dengan mendapat ridho Allah SWT. Semoga ramadan ini juga menjadi pintu taubat dan pintu rejeki serta jodoh di kemudian hari.
Tak apa kan jika saya mengharap ridho Allah dan berharap mendapat pahala balasan sehingga di bulan ramadan ini saya tak lagi bermimpi buruk soal masalah pendidikan lagi, tak sedih lagi tanpa sebab yang pasti, dan menemukan solusi atas segala masalah dan ujian dengan ridho Allah SWT, aamiinn.
Itulah harapan pribadi dalam kisah untuk ramadan 2020 ini. Tak muluk-muluk, hanya mengharap ridho Allah semata. Nah, bagaimana denganmu? Silahkan bercerita jika berkenan, terima kasih, mohon maaf jika kurang berkenan. Sekian. Salam hangat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H