Mohon tunggu...
IrfanPras
IrfanPras Mohon Tunggu... Freelancer - Narablog

Dilarang memuat ulang artikel untuk komersial. Memuat ulang artikel untuk kebutuhan Fair Use diperbolehkan.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Mengapa Rasisme Harus Ditendang Keluar dari Sepak Bola?

23 Februari 2020   10:43 Diperbarui: 23 Februari 2020   20:45 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: lawinsports.com

Kasus rasisme di dunia sepak bola kembali mencuat. Kini korbannya adalah pemain FC Porto asal Mali, Moussa Marega. Lagi-lagi pemain kulit hitam yang berlaga di eropa menjadi korbannya. Mengapa sepak bola eropa selalu terjangkit virus rasis?

Pada laga lanjutan pekan 21 Liga Portugal antara tuan rumah Vitoria Guimaraes kontra FC Porto terjadi aksi keluar lapangan yang Marega lakukan di menit ke-72. 

Hal itu ia lakukan setelah menerima banyak ejekan rasis dari suporter tuan rumah sejak ia melakukan pemanasan. Kasus Marega cukup miris, pasalnya ia pernah merumput bersama Vitoria di musim 2016-2017 lalu, tapi beberapa musim kemudian ia malah mendapat perlakuan rasis dari suporter tim yang pernah ia bela.

Menurut beberapa tayangan highlight pertandingan, Marega terlihat kesal dengan ejekan rasis yang makin menjadi. Tapi kekesalan Marega justru berbuah kartu kuning baginya. Atas hal itulah ia berjalan keluar lapangan dengan mengacungkan jempol ke bawah ke arah suporter Vitoria. 

Marega sempat dibujuk dan berusaha dihentikan oleh rekan setimnya, tapi ia terus berjalan keluar lapangan dengan gestur kesal. Tak cukup dengan jempol ke bawah, tepat sebelum masuk lorong pemain, Marega terlihat mengacungkan dua jari tengah ke arah suporter Vitoria. 

Terlihat bahwa Marega sangat kesal dan marah atas perlakuan rasis yang ia terima, bukan?

Laga Vitoria vs Porto sendiri berakhir dengan kemenangan sang tamu dengan Marega sebagai penentu kemenangan lewat golnya di menit ke-60. 

Nah, seusai golnya itulah Marega berselebrasi dengan menunjuk lengannya sebagai gestur perbedaan warna kulit ke arah suporter Vitoria. Setelah itu suporter Vitoria terdengar menirukan suara kera dan nyanyian rasis makin terdengar sebelum akhirnya Marega keluar lapangan.

Memang sikap yang Marega tunjukkan bisa menjadi perdebatan benar atau salah, tapi pihak paling salah di sini adalah para pelaku rasis dan pendukungnya. Kenapa saya bilang pendukungnya?

Mengutip dari surat kabar O Jogo, Presiden Vitoria malah menyangkal telah terjadi kasus rasisme di pertandingan melawan Porto itu. Sikap ini jelas salah dan terkesan pura-pura tak tahu serta menolak disalahkan.

Di sisi lain Presiden FC Porto mendukung penuh Marega dan menuntut federasi sepak bola Portugal untuk mengusut kasus ini. Ia juga mengecam sikap Presiden klub Vitoria yang dinilainya lari dari tanggung jawab. Jelas bahwa sikap presiden klub Vitoria tak dapat dibenarkan dan sikap seperti itulah yang membuat rasis semakin tumbuh.

Sikap wasit di laga tersebut juga perlu disorot. Ketika terjadi perlakuan rasis ketika laga berlangsung perlu sikap ketegasan dari wasit untuk mencegah perlakuan rasis yang lebih parah. Pertanyaan saya adalah kenapa wasit-wasit di eropa masih banyak yang pasif ketika rasisme terjadi?

Tapi sepertinya kita perlu belajar dari kasus rasisme yang terjadi di kompetisi kasta ketiga Jerman. Laga antara Wuzburger Kickers melawan Preussen Munster sempat diwarnai nyanyian rasis yang mengarah ke pemain Wuzburger Kickers, Leroy Kwadwo. Mendengar ejekan suporter lawan, Kwadwo menghentikan pertandingan ketika ia berduel dengan pemain lawan sebagai bentuk kekesalannya.

Tapi apa yang terjadi selanjutnya? Suporter yang yang ada di bangku penonton mencari pelaku ujaran rasis itu dan melaporkannya kepada pihak keamanan stadion. Penonton itupun digiring keluar stadion oleh pihak keamanan stadion. Bagaimana dengan pemain yang berada di lapangan? 

Tak peduli kawan maupun lawan, mereka memeluk Kwadwo sebagai bentuk dukungan kepadanya. Penonton pun memberi tepuk tangan kepada Kwadwo dan meneriakkan "Nazis out" untuk menolak segala bentuk intoleransi. Wasit di laga tersebut juga mencoba meyakinkan Kwadwo untuk melanjutkan pertandingan.

Pernyataan Leroy Kwadwo setelah menerima dukungan atas perlakuan rasis kepadanya. (sumber foto: twitter.com/MuhammadLila)
Pernyataan Leroy Kwadwo setelah menerima dukungan atas perlakuan rasis kepadanya. (sumber foto: twitter.com/MuhammadLila)
Apa yang terjadi di Jerman bisa menjadi contoh bagi sepak bola eropa soal bagaimana memperlakukan tindakan rasial. Langkah nyata memang harus berawal dari diri sendiri termasuk suporter itu sendiri. Kedua adalah ketegasan pihak klub yang bersangkutan untuk mengecam tindakan rasial dan memberi sanksi kepada pelakunya. 

Sebagai contoh adalah keputusan Cagliari di Liga Italia yang banyak terjadi kasus rasis. Manajemen Cagliari memutuskan menghukum tiga fans rasis mereka dengan melarangnya masuk ke stadion Cagliari dengan alasan apapun seumur hidup.

Selama ini yang selalu dituntut adalah pihak UEFA dan federasi. Padahal tindakan pertama terhadap rasisme di lapangan adalah semua pihak yang sedang terlibat pertandingan, baik pemain, pelatih, official pertandingan, wasit, hingga penonton yang hadir. 

Apa yang terjadi di kompetisi kasta ketiga Jerman adalah contohnya. Kalau kejadian rasial dibiarkan dan pelaku tetap bisa berada di stadion bukankah sudah membiarkan rasisme menang?

Sepak bola eropa melalui UEFA dan organisasi Kick It Out memang terus melakukan kampanye pemberantasan rasisme di sepak bola dengan slogan mereka, "Let's Kick Racism Out of Football". Hal itulah yang membuat banyak kapten tim eropa yang memakai ban kapten bertuliskan "unite against racism". 

Kasus rasis di sepak bola memang sering terjadi dan sudah sejak lama terjadi. Konflik ras, suku, politik, hingga etnis yang terjadi di eropa memang bisa jadi latar belakang kejadian rasis di sana. 

Sejarah panjang negara-negara eropa yang saling konflik dan dominasi kulit putih di eropa adalah salah satu pemicunya. Bukan hanya rasisme tapi juga kejadian sejenis seperti intoleransi dan xenophobia (ketidaksukaan terhadap orang dari negara lain) juga terjadi.

Siapa yang ingat kejadian Granit Xhaka dan Xherdan Shaqiri yang dihukum atas selebrasi mereka menirukan lambang bendera Albania di laga melawan Serbia di Piala Dunia 2018 lalu? 

Ada lagi kasus penolakan yang diterima Mesut Ozil atas dukungannya kepada Uighur dan kecaman yang ia terima yang berujung pencoretan dari timnas Jerman karena berfoto dengan Presiden Turki.

Hakan Calhanoglu juga pernah mengalami hal serupa karena membuat postingan yang dianggap sebagai dukungan kepada Erdogan. Urusan politik dan militer di eropa memang bisa memunculkan tindakan rasial atau xenophobia baik di lapangan atau di media sosial.

Nah, dengan adanya medsos itulah, tindakan rasis juga bisa berkembang diluar lapangan. Namun menurut saya langkah konkretnya masih sama, yaitu butuh langkah nyata dari setiap insan yang mendukung sepak bola bersih dari rasisme. 

Di satu sisi medsos bisa menyebarkan ujaran kebencian tapi bisa menjadi media pendukung untuk memerangi rasisme di sepak bola. Itulah sebenarnya langkah sederhana yang bisa kita lakukan menyikapi pesatnya perkembangan teknologi.  

Sudah banyak kasus rasis di eropa dan sudah banyak pula pemain yang menerima perlakuan tidak terpuji itu. Dani Alves, Mesut Ozil, Koulibaly, Pogba, Tammy Abraham hingga Balotelli sudah pernah menerima perlakuan rasial di sepak bola eropa. 

Sudah semestinya setiap federasi sepak bola eropa bertindak agar indahnya kompetisi eropa tak pudar karena rasisme. Bukan hanya UEFA dan Kick It Out tapi juga suporter bola di eropa juga harus menjadi agen pemberantas rasisme.

Bagaimana dengan Indonesia? Hmm.. kalau di Indonesia sudah bukan nyanyian rasis lagi tapi malah tindak kekerasan yang bisa berujung melayangnya nyawa. 

Kasus di Indonesia malah bisa lebih parah bukan? Apalagi klub di Indonesia belum bisa tegas terhadap suporternya yang anarkis seperti yang dicontohkan oleh Cagliari.

Sepak bola seharusnya menjadi media pemersatu segala perbedaan. Di sepak bola semua bisa berkompetisi semua bisa menikmati permainannya. 

Rasisme benar-benar mengganggu indahnya sepak bola dan mencoret nilai-nilai fair play. Jika tak ditendang keluar dari sepak bola bisa jadi sepak bola yang kita tonton sekarang akan berubah menjadi brutal beberapa tahun lagi.

Sekian. Salam sepak bola.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun