Dan benar saja, sudah lewat jam 8 lebih kiai pimpinan ponpes dusun sebelah belum jua kelihatan batang hidungnya. Warga yang sudah memenuhi rumahnya sejak selesai solat isya di langgar menjadi bingung dan malah sibuk ngobrol.
Jam 8 lewat 10 menit, jam 8 lewat 20 menit, jam 8 lewat 30 menit, si kiai belum juga kelihatan padahal salah satu utusan Pak Gatot sudah menjemput di pondok pesantren desa sebelah. Tapi hingga utusan Pak Gatot kembali, si kiai belum juga sampai. Padahal menurut penuturan orang pondok, Pak Kiainya sudah berangkat sejak 30 menit yang lalu menuju lokasi. Jadi, siapa yang salah dong?
Slamet, adik kandung Pak Gatot menyarankan untuk segera memulai saja acaranya, toh salah satu kiai yang diundang sudah datang dan rumahnya juga sudah penuh tamu. Namun, Pak Gatot masih berharap kiai pimpinan pondok yang ia kagumi tersebut segera datang. Ia tidak mau memulai acaranya tanpa si kiai tersebut, pakewuh katanya.
Warga yang sudah datang jadi tambah gelisah sebab sudah mau jam 9 malam tapi acara belum juga mulai. Pak Gatot apalagi, ia jadi gelisah tak keruan karena kiai yang ia harapkan kehadirannya tak muncul-muncul juga. Ketika Slamet kembali menyarankan untuk segera memulai acara tanpa si kiai ponpes, Pak Gatot kembali berujar, "Pakewuh aku"
Akhirnya pukul 9 tepat alam punya keputusan sendiri, hujan turun dengan lebat, si kiai ponpes yang ditunggu tetap tidak datang. Pak Gatot pun menyerah dan memulai acara selapanan yang sedianya dimulai jam 8 dan hanya diisi satu kiai kondang dari dusunnya. Namun, suasana malam itu jadi tidak kondusif, sudah larut malam dan hujan turun dengan lebatnya membuat suara mic menjadi kalah keras dibanding kucuran air hujan dan petir yang menyambar.
Pembaca, Pakewuh atau Ewuh adalah budaya etika ketimuran yang dimiliki Indonesia utamanya orang jawa. Hampir setiap orang jawa memiliki dan mengutamakan budaya pakewuh ini. Pakewuh atau ewuh sendiri memiliki arti segan, sungkan atau bisa juga dimaksudkan hormat-menghormati. Tujuan budaya etika tersebut adalah untuk menjaga tingkah laku diri agar tetap pada koridor kepantasan yang wajar dan menjaga hubungan keharmonisan dalam pergaulan bermasyarakat.
Seperti yang diperlihatkan oleh Pak Gatot. Demi menjaga hubungan keharmonisan dan menjada kehormatan salah seorang kiai ia rela menunda acaranya. Ini adalah salah satu contoh etika kepantasan yang positif. Namun, di satu sisi lainnya juga ada efek negatifnya yang timbul. Seperti yang sudah diketahui, hanya karena ewuh dengan salah satu kiai menyebabkan acara selapanan yang sudah dirancang sedemikian rupa menjadi molor dan kacau. Memang apabila ewuh ini dibenturkan dengan kedisiplinan waktu, pasti berujung rugi.
Akan tetapi, baik ewuh atau pakewuh adalah budaya ketimuran yang kita miliki. Di Jawa disebut pakewuh, mungkin di daerah lain punya istilahnya sendiri. Tidak ada salahnya memiliki budaya tersebut. Jika diterapkan pada tempat dan waktu yang tepat, ewuh justru menguntungkan. Namun jika digunakan berlebihan bisa berujung kerugian. Pun jika disalahgunakan juga berakibat buruk.
Salah satu contoh budaya pakewuh yang salah dan berlebihan kadang kala bisa ditemui dalam beberapa keluarga. Seperti adanya anak emas yang sangat disayang dan apabila berbuat kesalahan sungkan untuk ditegur. Di dalam praktek borikrasi dan pekerjaanpun bisa ditemui praktek pakewuh yang salah, seperti ABS (Asal Bapak Senang), semua hal akan dilakukan bawahan asal bosnya puas walaupun perbuatan tersebut menyalahi aturan.
Namun, bukan berarti budaya pakewuh ini salah dan selamanya berakibat buruk. Masih banyak praktek pakewuh yang benar dan tepat. Budaya antre, menghormati orang tua, mendahulukan orang sakit adalah beberapa contoh nyata penerapan budaya pakewuh yang benar. Tentunya masih banyak lagi penerapan budaya pakewuh yang sesuai dan tepat.
Jadi, mari kita jaga budaya ketimuran ini agar penerapannya di masyarakat benar dan tidak menyalahi aturan. Kalau sampai disalahgunakan dan dimanfaatkan orang untuk kepentingan pribadi, tentu akan merugikan bukan.