Mohon tunggu...
IrfanPras
IrfanPras Mohon Tunggu... Freelancer - Narablog

Dilarang memuat ulang artikel untuk komersial. Memuat ulang artikel untuk kebutuhan Fair Use diperbolehkan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gara-gara Pakewuh

3 April 2019   09:29 Diperbarui: 3 April 2019   09:31 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tradisi selapanan bayi di jawa (sumber: budayajawa.id)

Suasa dusun Sumberejo malam minggu kemarin tidak sesunyi biasanya. Suara jangkrik yang nyaring memekik telinga kalah dengan suara langkah kaki warga di malam ba'da 'isya tersebut. Langkah kaki mereka menuju satu titik kumpul dengan tujuan tertentu.

Mereka menuju sebuah rumah joglo yang telah direnovasi di sana sini sehingga kesan horor dan angker seperti yang tersemat sebelumnya hilang ditelan lampu kelap-kelip khas 17an. Adalah Pak Gatot pemilik rumah joglo tersebut dan tokoh penggerak warga dusun Sumberejo untuk melangkahkan kakinya menuju rumah joglo peninggalan nenek moyangnya itu. Malam itu, di rumahnya diadakan acara selapanan bayi bagi anak putri pertamanya.

Upacara selapanan dalam adat jawa sejatinya dilakukan setelah bayi berusia 35 hari. Selapanan dilakukan dengan cara memotong rambut bayi untuk pertama kalinya. Namun seperti lazimnya budaya adat luhur lainnya, selapanan di era 4.0 ini sudah meninggalkan beberapa prosesi acara warisan leluhur. Seperti yang dijalankan keluarga Pak Gatot ini, selapanan malah dilakukan setelah lebih dari 35 hari bayinya lahir dan acara tersebut tidak ada tumpengannya.

"Iki tumpenge ra ono yo?", begitulah kira-kira obrolan Bejo dan Bimo, dua pemuda karang taruna dusun Sumberejo beserta Pak RT yang sudah maklum dengan tradisi jawa yang sudah termakan zaman dan lebih islami. Biasanya proses pemotongan rambut bayi dilakukan oleh nenek bayi tersebut, tapi Pak Gatot malah meminta salah satu kiai di dusunnya untuk menjalankan prosesi tersebut nantinya. Dan acara tumpengan pun ditiadakan dan diganti dengan pengajian dan bagi-bagi besekan. Alasannya, ya biar lebih berkah saja.

Tidak tanggung-tanggung, Pak Gatot yang sudah bergelar haji dan berasal dari keluarga terpandang di dusunnya tersebut mengundang dua kiai sekaligus untuk mengisi acara pengajian dan selapanannya tersebut. Satu kiai kondang dari dusunnya dan satu lagi adalah pimpinan pondok pesantren dusun sebelah. Alasannya, biar afdol dan menggigit katanya.

Menurut rundown yang sudah dibuatnya, jam 8 malam acara harus sudah mulai. Namun, Pak Gatot malah urung memulai acara dan justru terlihat gelisah. Ia terlihat mondar-mandir di halaman rumahnya yang sudah dipasangi tenda minimalis khas dusunnya. Bejo dan Bimo dibuat bingung oleh tingkah aneh Pak Gatot.

"Kok ra mulai-mulai yo Jo?", 

"La embuh, panganane durung siap paling", 

Pak RT yang sudah mengenal Pak Gatot sejak kecil, paham dengan maksud tingkahnya yang aneh.

"Kayane Kiaine durung teko iki", tebak Pak RT dengan pedenya sambil mendekat dan bertanya ke Pak Gatot.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun