Mohon tunggu...
IRFAN MANGKUNEGARA
IRFAN MANGKUNEGARA Mohon Tunggu... -

a government auditor..interested in fraud and law

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Kontradiksi Kerahasiaan Data Bank Vs DJP

12 Maret 2014   22:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:00 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan mengenai Direktorat Jendral Pajak (DJP) akhir-akhir ini menarik perhatian saya. Satu yang menarik saya untuk berdiskusi adalah yang ditulis di Kompasiana di link berikut : http://birokrasi.kompasiana.com/2014/02/26/darurat-direktorat-jenderal-pajak-butuh-pertolongan-638030.html. Ada juga artikel lain yang tak kalah serunya di link berikut : http://www.pajak.go.id/content/article/saatnya-meng-kpk-kan-djp. Sayang link terakhir tidak mengakomodir untuk berdiskusi. Namun begitu, saya pribadi melihat DJP mempunyai ide-ide untuk perbaikan kinerja yang mengakibatkan peningkatan penerimaan pajak negara minus masalah akuntabilitasnya.

Berita-berita mengenai DJP juga beberapa kali muncul di kompas.com maupun di detik.com beberapa minggu terakhir terutama mengenai permintaan DJP untuk dapat membuka data nasabah perbankan secara otomatis di bank (http://finance.detik.com/read/2014/03/11/190218/2522695/4/dirjen-pajak-di-malaysia-data-nasabah-bank-bisa-dibuka-kenapa-kita-tidak?f9911033). Hal ini mengusik saya untuk menulis. Mengapa ini mengusik saya? Karena data nasabah dilindungi kerahasiaannya oleh UU. Kerahasiaan data nasabah dilindungi oleh UU Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagai berikut :

1. Pasal 40 : Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43,  Pasal 44 dan Pasal 44A.

2. Pasal 41 ayat 1 : Untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan Nasabah Penyimpan tertentu kepada wajib pajak.

Dari dua pasal di atas bisa kita simpulkan jika data nasabah bank dilindungi kerahasiaannya, namun dikecualikan untuk kepentingan perpajakan. Jadi, tidak ada masalah bukan? Masih ada beberapa masalah secara hukum jika DJP ingin melihat data nasabah. Pertama, jika DJP ingin buka data nasabah maka Menteri Keuangan harus minta kepada Pimpinan Bank Indonesia (selaku pengawas perbankan) terlebih dahulu. Pertanyaannya adalah ketika pengawasan perbankan telah pindah wewenangnya dari BI ke OJK, apakah serta merta OJK bisa mengabulkan permintaan DJP? Kedua, jika DJP ingin dapat membuka secara otomatis data nasabah di bank (dengan kata lain secara bebas) apakah tata cara dalam pasal 41 ayat 1 UU Nomor 10 tahun 1998 tersebut di atas tidak dilanggar? Apakah jika itu dilakukan secara otomatis, tidak akan ada kemungkinan fishing expedition (mengumpulkan informasi di luar kepentingan pajak)? Tampaknya DJP telah memahami hambatan ini dan mengusulkan perubahan UU tersebut ke DPR. Saya harap DPR dapat merevisi UU dengan bijak.

Kontradiksi Kerahasiaan

Tuntutan permintaan pembukaan data nasabah yang rahasia menurut UU ini kontradiktif dengan kerahasiaan data wajib pajak yang dilindungi oleh DJP. Berdasarkan UU Nomor 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pasal 34 ayat 1 yang berbunyi : "Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui dan diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan". Namun, tentu terdapat pengecualian atas kondisi tersebut antara lain yang dinyatakan dalam Pasal 34 ayat 3 huruf (b) yang berbunyi :"Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan Menteri Keuangan untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara". Lantas di mana kontradiksinya? Pada praktiknya, pemeriksa keuangan negara (BPKP/BPK) tidak dapat serta merta meminta data wajib pajak karena harus ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Hal itu menyulitkan pemeriksa keuangan negara untuk dapat menghitung penerimaan pajak/mengkonfirmasi perhitungan pajak yang dilakukan oleh DJP. Bahkan pasal tersebut pernah diujimaterikan di MK oleh BPK. Ketua BPK saat itu, Anwar Nasution, menilai implementasi pasal 34 ayat 2 itu sering disalahgunakan untuk menghambat pemeriksaan oleh BPK (http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18480/bpk-keluhkan-izin-menkeu-terkait-pemeriksaan-pajak). Konsekuensinya akuntabilitas perhitungan pajak menjadi pertanyaan.

Daftar Surat Izin Tertulis dari BPK kepada Menteri Keuangan terkait Pemeriksaan

(Periode Tahun 2006 s/d 2007)

No

Audit

Surat BPK

Surat Jawaban Menkeu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun