APBN) merupakan instrumen fiskal utama yang mencerminkan visi dan arah kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia. Dalam konteks pemerintahan baru dan dinamika ekonomi global yang tidak menentu, APBN berperan sebagai "kompas ekonomi" yang membimbing arah pembangunan nasional, mengatasi berbagai tantangan struktural, dan memanfaatkan peluang dari perkembangan teknologi serta transformasi ekonomi hijau. Sebagai sebuah instrumen multifungsi, APBN menjalankan tiga peran utama yaitu alokatif, distribusi, dan stabilisasi, sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Pada APBN 2024, dengan estimasi pendapatan sebesar Rp2.802,6 triliun dan belanja negara mencapai Rp3.325,1 triliun, defisit sebesar 2,29% dari PDB menjadi dasar yang digunakan untuk menavigasi tantangan seperti perlambatan ekonomi global, inflasi, dan risiko geopolitik, sambil mengejar transformasi ekonomi melalui digitalisasi dan keberlanjutan lingkungan.
Tantangan Global dan Domestik dalam Kebijakan Fiskal
Kondisi ekonomi global menghadirkan risiko nyata bagi Indonesia, terutama dengan proyeksi perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia yang hanya mencapai 2,7% pada 2024 (IMF, 2023). Penurunan permintaan global untuk komoditas utama Indonesia, seperti batu bara dan minyak kelapa sawit, berisiko mengurangi pendapatan ekspor, sementara peningkatan inflasi di negara-negara maju meningkatkan tekanan terhadap biaya impor energi dan pangan. Untuk mengatasi ini, APBN harus bersikap responsif dengan strategi diversifikasi ekspor serta memperkuat sektor manufaktur domestik agar tidak terlalu tergantung pada komoditas.
Inflasi global yang tinggi, terutama di negara maju, menimbulkan ancaman bagi stabilitas ekonomi domestik. Bank Indonesia memproyeksikan inflasi Indonesia pada 2024 sebesar 3,1%, relatif terkendali dibandingkan negara-negara lain. Namun, inflasi ini tetap berdampak pada daya beli masyarakat, terutama kelompok berpendapatan rendah. Dalam konteks APBN, pemerintah mengalokasikan anggaran tambahan untuk subsidi energi dan pangan guna menjaga stabilitas harga. Belanja subsidi sebesar Rp325 triliun di APBN 2024 diharapkan dapat meredam dampak kenaikan harga global, terutama di sektor bahan bakar dan pangan.
Peluang dari Bonus Demografi dan Ekonomi Hijau
Indonesia akan menghadapi puncak bonus demografi pada 2030-an, dengan populasi usia produktif yang dominan. APBN 2024 memberikan alokasi anggaran pendidikan sebesar Rp660,8 triliun (20% dari total belanja negara) yang bertujuan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Fokusnya adalah memperluas akses pendidikan, memperkuat pelatihan vokasi, serta meningkatkan kewirausahaan di kalangan pemuda. Dalam rangka mendukung UMKM, pemerintah menyediakan insentif pajak dan bantuan pembiayaan untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), yang menjadi tulang punggung ekonomi dan menyerap 97% tenaga kerja nasional.
Sebagai bagian dari komitmen untuk mencapai net zero emission pada 2060, pemerintah mengalokasikan Rp14,6 triliun dalam APBN 2024 untuk proyek energi terbarukan, konservasi lingkungan, dan teknologi ramah lingkungan. Pengenalan pajak karbon pada 2024 juga merupakan langkah penting dalam mendorong industri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Kebijakan ini tidak hanya memberikan kontribusi terhadap penerimaan negara tetapi juga mendukung target Paris Agreement, yaitu pengurangan emisi hingga 29% pada 2030.
Kebijakan ini sejalan dengan strategi pemerintah untuk mempromosikan investasi hijau, seperti green bonds dan insentif fiskal untuk energi terbarukan, yang diharapkan dapat menarik investasi asing. Proyek infrastruktur hijau, seperti pembangkit tenaga surya dan angin, mendapat prioritas Rp422,7 triliun pada anggaran infrastruktur, yang juga ditujukan untuk menciptakan lapangan kerja baru di sektor-sektor yang berkelanjutan.
Salah satu fokus APBN 2024 adalah memperkuat penerimaan negara melalui reformasi perpajakan. Penerimaan pajak diproyeksikan tumbuh 11,1% pada 2024, dengan kontribusi besar dari pajak digital dan pajak karbon. Pajak karbon, yang dikenakan pada perusahaan dengan emisi tinggi, diharapkan tidak hanya meningkatkan penerimaan negara tetapi juga mempercepat transisi ke energi bersih. Pemerintah juga berencana memperluas basis pajak melalui digitalisasi sistem perpajakan, yang memungkinkan integrasi data antar instansi serta peningkatan pengawasan terhadap kepatuhan wajib pajak.
Belanja negara diarahkan pada sektor-sektor strategis untuk mendukung pertumbuhan ekonomi inklusif dan berkelanjutan. Belanja infrastruktur sebesar Rp422,7 triliun akan difokuskan pada proyek transportasi, energi, dan infrastruktur digital untuk meningkatkan daya saing nasional. Di bidang kesehatan, anggaran sebesar Rp254,7 triliun digunakan untuk memperkuat sistem kesehatan nasional, termasuk peningkatan layanan kesehatan dasar dan kesiapan menghadapi pandemi di masa depan
Apa yang dapat dilakukan diluar rencana saat ini?
Meskipun pemerintah telah memiliki strategi fiskal yang berfokus pada digitalisasi dan transisi ke ekonomi hijau, ada beberapa inovasi spesifik yang belum digarap secara optimal dan dapat memberikan dampak yang lebih besar:
1. Penguatan Pajak Lingkungan Secara Bertahap: Pajak karbon yang direncanakan pemerintah mulai 2024 memang langkah penting, tetapi lebih dari itu, Indonesia bisa mempelajari langkah negara-negara maju dalam menerapkan pajak lingkungan yang lebih komprehensif. Misalnya, selain pajak karbon, pajak konsumsi plastik sekali pakai atau pajak emisi transportasi bisa diberlakukan untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Pendapatan dari pajak ini bisa dialokasikan khusus untuk pendanaan proyek hijau, seperti reboisasi dan teknologi energi terbarukan, yang berkontribusi langsung pada target net zero emission.
2. Skema Investasi Sosial melalui Obligasi Pembangunan: Selain green bonds, pemerintah bisa menginisiasi Social Bonds, yaitu obligasi yang didedikasikan untuk proyek-proyek yang berfokus pada pembangunan sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat miskin. Obligasi ini tidak hanya menarik bagi investor yang peduli terhadap dampak sosial, tetapi juga dapat menjadi alat yang kuat untuk mendanai program yang sulit dibiayai oleh pajak reguler.
3. Digitalisasi Fiskal melalui Blockchain: Salah satu tantangan dalam sistem perpajakan digital adalah pengawasan dan kepatuhan. Dengan mengintegrasikan teknologi blockchain, pemerintah bisa menciptakan sistem perpajakan yang lebih transparan dan aman. Teknologi ini memungkinkan transaksi digital dilacak secara otomatis, mengurangi potensi manipulasi data pajak, dan meningkatkan efisiensi pengumpulan pajak.
4. Â Penerapan Skema Keuangan Berbasis ESG (Environmental, Social, Governance): Di era modern, faktor ESG menjadi semakin penting dalam investasi. Pemerintah bisa mendorong perusahaan, terutama BUMN dan sektor energi, untuk mengadopsi standar ESG yang lebih ketat. Insentif fiskal bisa diberikan kepada perusahaan yang berhasil mencapai standar ESG tertentu, yang pada gilirannya akan menarik minat investor internasional dan meningkatkan daya saing Indonesia di kancah global.
Pengendalian Utang dan Keberlanjutan Fiskal
Pengendalian utang tetap menjadi salah satu isu paling krusial dalam kebijakan fiskal. Rasio utang terhadap PDB yang diproyeksikan sebesar 39,5% pada 2024 masih berada dalam batas aman menurut UU No. 17 Tahun 2003. Namun, risiko pembengkakan utang, terutama utang luar negeri, tetap perlu diperhatikan. Saran kritis yang bisa diberikan di sini adalah agar pemerintah lebih selektif dalam memilih proyek-proyek yang dibiayai utang. Hanya proyek dengan rate of return yang tinggi, terutama di sektor infrastruktur hijau dan energi terbarukan, yang seharusnya dibiayai melalui utang jangka panjang.
Menurut proyeksi OECD dan IMF, perekonomian Indonesia diperkirakan tumbuh sekitar 5,1% pada 2024, dengan skenario optimis bahwa reformasi perpajakan dan investasi infrastruktur berjalan sesuai rencana. Dalam skenario pesimistis, dampak dari perlambatan ekonomi global dan ketidakpastian geopolitik dapat menurunkan pertumbuhan menjadi 4,5%. Oleh karena itu, fleksibilitas kebijakan fiskal menjadi kunci dalam menavigasi tantangan ini, termasuk dengan meningkatkan ketahanan ekonomi domestik dan memperkuat basis pendapatan dalam negeri.
Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang diluncurkan selama pandemi COVID-19 adalah contoh nyata dari keberhasilan kebijakan fiskal yang tepat sasaran. Dengan alokasi anggaran sebesar Rp695,2 triliun, program ini berhasil menjaga stabilitas ekonomi dan mempercepat pemulihan, terutama melalui dukungan kepada UMKM, pekerja, dan sektor kesehatan. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa kebijakan fiskal yang proaktif, cepat, dan tepat sasaran dapat menjadi alat utama dalam mengatasi krisis ekonomi di masa depan.
Koordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter sangat penting untuk menjaga stabilitas makro ekonomi. Bank Indonesia, sebagai otoritas moneter, mendukung kebijakan fiskal dengan menjaga stabilitas inflasi dan nilai tukar, yang menjadi fondasi bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Dengan proyeksi inflasi 2024 sebesar 3,1%, Bank Indonesia terus mengimplementasikan kebijakan suku bunga yang sejalan dengan upaya pemerintah dalam menekan inflasi dan menjaga daya beli masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H