Mohon tunggu...
Irfan L. Sarhindi
Irfan L. Sarhindi Mohon Tunggu... wiraswasta -

Penulis "The Lost Story Of Ka'bah" dan "Kun Fayakun Kun La Takun". Peraih Nugra Jasa Dharma Pustaloka Perpusnas 2011 Kategori Karya Fiksi Terbaik III untuk novel keduanya "Apologia Latte". Selain menulis, aktif pula di Ponpes tempatnya lahir dan menimba ilmu dan bertumbuh: Ponpes Darul Falah, Jambudipa. Ia juga seorang Pembicara, Long Life Learner, Pecinta Buku, dan Penggemar Sepakbola. Karya-karyanya yang lain: Hubby, Apologia Latte, Sirruhart, Meander, Sarajan Copas. Berdomisili di Cianjur.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ka'bah dan Mereka yang Menumpahkan Darah untuk "Mensucikannya" Bagian 2

21 Maret 2014   21:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:39 609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mekkah jatuh ke tangan Rasulullah SAW pada peristiwa Fathu Makkah yang nyaris tanpa pertumpahan darah. Barangkali inilah satu-satunya momen penaklukkan Mekkah dengan korban yang minimal. Jika saja kaum Quraisy pada waktu itu patuh pada usulan Abu Sufyan, Fathu Makkah akan bersih dari darah. Tapi sebagian mereka memilih melawan sehingga pasukan Khalid bin Walid pun terpaksa mengeluarkan pedang.

Kondisi relatif aman pada masa Khulafaur Rasyidin. Ketika masa-masa ini usai, banyak ketidakpuasan muncul dari kalangan muslimin terhadap kekhalifahan—atau monarki, karena masa Muawwiyah bin Abu Sufyan lebih mirip monarki.

Di masa Yazid bin Muawwiyah, pasca tragedi Karbala, Abdullah bin Zubair, cucu dari Abu Bakar ash-Shiddiq, mengklaim diri sebagai Khalifah atas Tanah Hijaz. Beliaupun mendapat baiat dari banyak kaum muslimin, terutama mereka yang tidak puas pada kepemimpinan Yazid bin Muawwiyah.

Demi mempertahankan kekuasaannya, Yazid bin Muawwiyah mengirimkan Husain bin Numair beserta pasukannya untuk membunuh Abdullah bin Zubair dan mengembalikan kekuasaan atas Mekkah kepadanya. Mereka pun mengepung Abdullah bin Zubair yang kemudian berlindung di dekat Ka’bah, tapi pasukan Husain bin Numair terus-menerus melemparkan peluru melalui ketapel, sehingga sebagian dinding Ka’bah pun hancur!

Husain bin Numair baru berhenti ketika mendengar berita bahwa Yazid bin Muawwiyah meninggal secara tiba-tiba.

Inilah pertumpahan darah yang lain. Baik Yazid bin Muawwiyah maupun Abdullah bin Zubair, walaupun bersengketa dalam urusan kekuasaan atas Negeri Islam, secara lahiriah, kedua-duanya tetap (berusaha) mengagungkan Ka’bah—dan biarkan Allah menjadi sebaik-baik Pemberi Keputusan.

Abdullah bin Zubair membangun kembali Ka’bah sesuai dengan Ka’bah yang diinginkan oleh Rasulullah SAW, yakni Ka’bah yang sesuai dengan arsitektur Ka’bah di masa Nabi Ibrahim as: yakni berpintu 2, dengan pintu yang menyentuh tanah, dan sebagian Hijr Ismail yang dimasukkan ke dalam Ka’bah.

Tapi ketika Abdul Malik bin Marwan berkuasa, dia mengirim Hajaj bin Yusuf at-Thaqafi untuk membunuh Abdullah bin Zubair, dan lagi-lagi, mengembalikan kekuasaan atas Hijaz (dan Mekkah khususnya) ke tangannya. Hajaj bin Yusuf at-Thaqafi dan pasukannya pun menyerbu Mekkah. Abdullah bin Zubair dan pasukannya dikepung selama 8 bulan 17 hari, hingga tertangkap dan kepalanya dipenggal.

Pada penyerangan ini, pasukan Hajaj bin Yusuf at-Thaqafi menggunakan bola api sehingga kiswah Ka’bah terbakar, dan beberapa kayu di dalam Ka’bah, hangus. Setelah itu, Abdul Malik bin Marwan membangun kembali Ka’bah, tapi sesuai bentuk Ka’bah di masa Quraisy, karena dia berpikir Abdullah bin Zubair mengada-ada dalam membangun Ka’bah yang berpintu dua itu.

Sekali lagi, inilah pertumpahan darah lain di sekitar Ka’bah, dan kedua-duanya berlaku dalam semangat dan prasangka mereka untuk mengagungkan dan mensucikan Ka’bah. Allah-lah sebaik-baik Pemberi Keputusan.

Pertumpahan darah berikutnya terjadi di masa Kerajaan Arab Saudi. Adalah Juhaiman bin Muhamad bin Saif al-Otaibi, salah seorang jebolan Garda Nasional, yang kecewa terhadap keluarga kerajaan yang dinilainya tidak islami. Kekecewaan ini ditambah dengan ‘pembantaian’, katakanlah seperti itu, terhadap sukunya, oleh Pemerintah Kerajaan Arab Saudi.

Alhasil, pada 1979, di waktu subuh, disertai 400-500 tentara, dia masuk ke dalam Masjid al-Haram dan ‘mengkudeta’ kekuasaan atas Masjid Suci tersebut. Melalui mikrofon, dia membeberkan kebobrokan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi dan menyuruh Jemaah yang ditawan di dalam masjid untuk berbaiat kepada saudaranya yang dia klaim sebagai Imam Mahdi.

Perlu 2 minggu hingga tentara Kerajaan Arab Saudi berhasil ‘merebut kembali’ Masjid al-Haram. Itupun dibantu oleh tentara Prancis dan lain-lain. Masjid penuh oleh para syahid yang dibunuh Juhaiman. Darah mengotori lantai Masjid Suci. Persis di depan Ka’bah yang Agung! Juhaiman dan tentaranya dihukum mati.

Tapi ketidakpuasan atas prilaku keluarga Kerajaan Arab Saudi tidak datang dari sana saja. Iran juga tercatat pernah bersitegang dengan Kerajaan Arab Saudi. Bahkan, pada 1987, 401 orang tewas dan 643 orang luka-luka yang sebagian besar adalah warga Iran pada tragedi demonstrasi anti-Amerika dan anti-Israel di Arab Saudi. Alkisah, para Jemaah Haji asal Iran berdemontrasi di Mekkah. Ketika mereka mendekati Masjid al-Haram, mereka dihadang tentara Kerajaan Arab Saudi.

Menurut Pemerintah Iran, tentara Arab Saudi itu menembaki para demonstran. Sedangkan Pemerintah Arab Saudi mengklaim, mereka yang meninggal adalah mereka yang panik, terjepit, dan terinjak-injak. Yang manapun yang benar, fakta yang tidak bisa dibantah adalah peristiwa tersebut menambah daftar pertumpahan darah di seputar Ka’bah yang Agung.

Kesemuanya, secara lahiriah, berangkat dari keyakinan dan perspektif mereka (terlepas dari benar ataukah salah) untuk berusaha mensucikan Ka’bah dan mengagungkannya, dan (entah karena terpaksa ataupun tidak) memilih jalur perang untuk mewujudkannya.

Satu-satunya pengecualian dalam sejarah pertumpahan darah di dekat Ka’bah, yang pelakunya malah berlaku sombong dan merendahkan Ka’bah, terjadi pada peristiwa pencurian Hajar Aswad oleh Abu Thahir, pemimpin sekte Syiah Ismailiyah Qaramithah, pada tahun 317 H. Sewaktu berhasil menguasai Masjid al-Haram, dia berdiri di pintu Ka’bah seraya berkata, “Aku adalah Allah. Aku bersama Allah. Akulah yang menciptakan makhluk-makhluk dan akupula yang akan membinasakan mereka.”

Uniknya, serangan wabah penyakit terhadapnya tidak terjadi kontan sebagaimana serangan burung-burung hitam yang melemparkan batu dari neraka kepada pasukan gajah Abrahah. Alih-alih memerlukan waktu 22 tahun kemudian setelah Hajar Aswad yang dicuri, dikembalikan. Maha Benar Allah atas segala Kehendak-Nya.

Lebih Lengkap di Buku The Lost Story Of Ka’bah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun