Mohon tunggu...
Irfan Kresnadi
Irfan Kresnadi Mohon Tunggu... -

Penggiat teknologi dan kesehatan :)

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

TOSS TB (Tuberkulosis): Bukan Hanya Tos-tosan

25 Maret 2017   15:26 Diperbarui: 25 Maret 2017   15:50 11091
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tuberkulosis sudah menjadi sebuah masalah yang besar dalam dunia kesehatan Indonesia sejak bertahun-tahun yang lalu. Sudah lama penyakit ini berkeliaran di seluruh dunia dengan bebas walaupun terus berusaha dikendalikan. Penyakit yang menyengsarakan ini merupakan salah satu penyakit menular yang terbanyak menyebabkan kematian. Mirisnya, upaya pengobatan atas penyakit ini terhalang oleh banyak hal, seperti kemiskinan, gagalnya program pengendalian tuberkulosis oleh pemerintah, atau bahkan oleh mulai kebalnya bakteri penyebab tuberkulosis terhadap obat-obatan (multidrug resistance).

Sekilas tentang tuberkulosis

Tuberkulosis biasanya dikenal masyarakat dengan singkatan TB atau TBC. Penyakit ini dapat menular, karena disebabkan oleh bakteri yaitu Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini biasanya menyerang sistem pernapasan walaupun bisa menyerang organ lain juga. Tuberkulosis merupakan pembunuh nomor 3 di Indonesia setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut, dengan 250.000 kasus baru setiap tahunnya.

Gejala utama yang nampak pada pasien tuberkulosis adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih. Gejala ini biasanya disertai gejala lain, seperti batuk berdarah, sesak napas, badan lemas, nafsu makan turun, berat badan turun, keringat yang keluar saat malam hari, bahkan demam dan meriang hingga lebih dari satu bulan. Timbulnya gejala tersebut lalu dipastikan dengan pemeriksaan tuberkulosis yang terdiri dari pemeriksaan dahak dan foto rontgen paru pasien.

Hingga saat ini, pengobatan atas Tuberkulosis dilakukan sesuai dengan strategi WHO yaitu melalui Directly Observed Treatment Short-course(DOTS). DOTS menuntut peran semua pihak untuk membuat pengobatan Tuberkulosis efektif. Hal ini dikarenakan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) sifatnya jangka panjang (6-8 bulan) dan harus dihabiskan, sehingga perlu dilakukan kontrol. Tuberkulosis dapat dicegah dengan cara yang sederhana, yaitu imunisasi dan menerapkan pola hidup bersih dan sehat. Tetapi,pada kenyataannya, kasus tuberkulosis masih marak terjadi.

Upaya pemerintah

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia memiliki suatu program ajakan masyarakat untuk menanggulangi tuberkulosis, yaitu Temukan Obati Sampai Sembuh Tuberkulosis (TOSS TB). Rangkaian upaya pun telah dilakukan, mulai dari menyebar selebaran yang berisi informasi mengenai program ini, hingga iklan layanan masyarakat.

Tahun ini, Kementerian Kesehatan mengangkat tema “Gerakan Masyarakat Menuju Indonesia Bebas TB” melalui aksi “Temukan Tuberkulosis Obati Sampai Sembuh (TOSS) di Keluarga!”. Tema ini dibawa dengan tujuan pemberdayaan lingkup kecil (keluarga) sebagai agen yang dapat membantu pemerintah mencegah dan mengobati tuberkulosis di lingkungan terdekatnya. Dengan program ini, harapan pemerintah adalah Indonesia dapat terbebas dari penyakit tuberkulosis pada tahun 2035.

Sebuah masalah

Cita-cita dan angan kita yang setinggi langit tidak dapat semudah itu kita capai, apalagi ketika kita masih berpijak di tanah dan tidak mempunyai prasarana untuk berjuang menuju ke sana. Kira-kira begitulah kondisi yang cukup cocok untuk menggambarkan yang terjadi pada penyakit tuberkulosis di Indonesia. Kita bercita-cita tinggi, Indonesia bebas TB 2035, namun pihak-pihak terkait belum mulai bergerak untuk mendukung cita-cita ini secara masif dan belum sempurnanya sistem yang ada untuk menyokong upaya ini.

Secara terang-terangan, buku pedoman nasional pengendalian tuberkulosis keluaran Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa terdapat 5 aspek internal dan 3 aspek eksternal yang berpotensi mengganggu upaya penanggulangan tuberkulosis, seperti program yang terdapat pada fasilitas kesehatan, kurangnya tenaga kesehatan terlatih, distribusi OAT, pembiayaan, dan hal-hal yang bersifat teknis.

Masalah lain yang tidak kalah penting adalah masalah kemiskinan dan resistensi obat. Kemiskinan menimbulkan keraguan masyarakat untuk berobat, terlebih lagi bagi masyarakat yang tidak mengetahui bahwa pengobatan tuberkulosis diberikan cuma-cuma alias gratis di puskesmas terdekat.  Masalah kemiskinan ini juga berkaitan erat dengan determinan sosial lainnya, seperti pengangguran dan tingkat pendidikan, yang membuat masyarakat yang termasuk di dalamnya dapat kita katakan sebagai kelompok yang rentan. Isitlahnya, “boro-boro berobat, makan aja susah.” 

Masalah resistensi obat juga merupakan hal yang perlu perhatian khusus. Pasalnya, tidak semudah itu mengobati tuberkulosis, terutama karena jangka waktu pengobatan yang lama sehingga menimbulkan beban bagi pasien. Sering pasien lupa minum obat, bahkan mungkin ditinggalkan, sehingga menimbulkan potensi bagi bakteri untuk berkembang lebih jauh dan menjadi resisten atas berbagai obat. Fakta di lapangan memang cukup baik, yaitu 90% pengobatan tuberkulosis dikatakan berhasil sampai pasien sembuh. Namun, 10% bukanlah angka yang kecil untuk kita abaikan.

Tantangan yang wajib diselesaikan

Masalah-masalah di atas merupakan lebih tepat disebut tantangan, karena masalah tersebut harus diselesaikan. Bukan hanya diselesaikan, tetapi juga melibatkan seluruh elemen terkait, terutama lingkungan terdekat di masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun