Wafatnya Rasulullah menggoreskan catatan baru dalam penetapan hukum. Munculnya sahabat besar pasca wafatnya nabi melahirkan banyak permasalahan yang belum terselesaikan pada masa nabi terkait dengan penetapan hukum. Rasulullah sebagai utusan yang membawa ajaran paripurna telah menyempurnakan semua ajaran ilahi yang diturunkan kepadanya, sementara problematika hukum tidak pernah berhenti sampai hari ini. Hal ini menuntut para sahabat untuk bisa menyelesaikan masalah hukum yang tidak terdapat dalam Al-Qur'an dan Hadits.
Fiqih sebagai produk ijtihad telah muncul sejak zaman para sahabat. Dalam melakukan ijtihad, secara praktis mereka banyak menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh, meskipun secara formal ilmu ushul fiqh tersebut belum terkodifikasi menjadi suatu disiplin ilmu.
Kemahiran mereka dalam berijtihad, selain karena pengaruh tuntunan dari Rasullullah, juga karena mereka menguasai bahasa Arab dengan baik. Mereka adalah orang-orang yang dekat dengan Rasul yang selalu menemani dan menyaksikan praktik ijtihad Nabi, sehingga mereka sangat paham bagaimana cara memahami ayat tersebut dan memahami maksud dari pembentukan hukum dari ayat tersebut.
Imam Khudari Bek memberikan tangapan positif terhadap praktik ijtihad para sahabat “setelah Rasul wafat mereka menghadapi perkembangan sosial yang memerlukan solusi hukum yang tidak terdapat dalam al-qur’an dan hadist dengan cara melakukan ijtihad, meskipun alat untuk berijtihad ketika itu belum dirumuskan secara tertulis”.
Metode yang digunakan para sahabat dalam ijtihad sebagaimana dijelaskan oleh Abd Wahhab Abu Sulaiman, Guru Besar Ushul Fiqh Universitas Ummul Qura Mekkah sebagaimana dikutip oleh Satria Effendi, langkah awal yang mereka lakukan adalah mempelajari teks Al-Qur'an, sunnah nabi kemudian menginterpretasinya.
Jika tidak ditemukan dalam kedua sumber hukum tersebut, maka mereka melakukan ijtihad baik secara sendiri-sendiri maupun dengan mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah. Hasil kesepakatan mereka disebut Ijma' sahabat. Selain menggunakan qiyas, mereka juga menggunakan istislah yang didasarkan pada maslahah mursalah, seperti dalam hal mengumpulkan Al-Quran menjadi satu mushaf.[1]
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa para sahabat telah menggunakan ijma', qiyas, dan istislah jika suatu hukum tidak ditemukan dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Maka ijtihad yang dilakukan oleh para sahabat setelah wafatnya Nabi mampu menjawab problematika yang terjadi pada saat itu. Menurut Abu Zahra, ijtihad para sahabat kemudian mewariskan metodologi yang dijadikan dasar perumusan ilmu ushul fiqh.
Sebelum memasuki perbincangan hadis dalam diskursus (regulasi) Islam kontemporer, penting untuk menggambarkan definisi, sifat, dan cakupan Sunnah dalam literatur Islam klasik. Menurut para ahli hadits (Muhadditsun), hadist yang shahih adalah kumpulan riwayat yang mencakup tindakan (fi'l), perkataan (qawl), dan praktik yang disepakati (taqrir) dalam semua hadits yang dipandang shahih oleh standar ulama’ Ulumul Hadits.
Evaluasi terhadap sebuah hadis yang berhubungan dengan dua sumber normatif Islam, khususnya Al-Qur'an dan As-Sunnah, pada masa Islam selama periode Islam klasik (pasca Imam Syafii), sering dilakukan dengan tiga pendekatan.
Pendekatan pertama dilakukan oleh para ahli Ulumul Hadits, atau yang sering disebut Muhadditsun dalam bidang analisis, sanad, pengumpulan, dan pengelompokan hadis itu sendiri. Dalam metodologi ini, pembahasan utama adalah mengikuti keabsahan (validitas) hadis berdasarkan riwayat silsilah sanad yang lebih credible. Dalam metodologi ini, sorotan utama adalah mengikuti legitimasi (kredibilitas) dalam sanad Hadis untuk mengetahui otentitas para perawi yang meriwayatkan hadist. Dalam arti yang lebih kecil, orang-orang yang menggunakan pendekatan ini juga sering melihat teks atau isi hadis yang sebenarnya.
Dengan metodologi ini, keabsahan hadis menjadi debateble, sehingga muncul pengelompokan dari berbagai golongan berdasrkan tingkat perawi hadist, mulai dari hadits yang diterima sebagai hadis shohih, shahih li ghairih hingga yang da'if. Problem utama dengan pendekatan ini tidak hanya terletak pada kerangka pemikiran bukti material dari ide Islam abad pertama, hingga saat ini masih menuai banyak diskusi di antara para sarjana Muslim dan non-Muslim yang secara positif berpengaruh terhadap realitas yang dapat di verifikasi dari sanad untuk menilai kredibilitas hadits, tetapi juga dari subjektifitas dan kriteria yang digunakan dalam penilaian hadits itu sendiri serta lemah nya standarisasi termenologis ulumul hadits klasik.[2]