Oleh Irfan Fauzi,
Guru Fisika SMAIT Bunyan Indonesia
Ada lebih dari 15 jenis tanah yang tersebar di Indonesia, seperti tanah latosol, tanah pasir, tanah liat, tanah podzolik dan masih banyak lagi. Tapi, tanah yang saya injak hampir lima tahun lalu, entah jenis tanah yang mana. Yang jelas, warnanya coklat dan kemerahan. Sebagian kekuningan. Seperti tanah bata. Atau mungkin tanah abang. Namun bukan nama pasar yang popular itu. Pastinya, tanah yang saya injak berada di Kawasan Setu, Kabupaten Bekasi. Kita anggap saja tanahnya berjenis tanah latosol.
Ini cerita pertama kali ketika saya berkunjung ke sebuah sekolah yang didirikan di atas tanah latosol tersebut satu dekade silam. Tanah latosol itu jika di guyur hujan lebat, tanah jadi becek dan belok. Bahkan cenderung tidak subur. Namun, banyaknya kerikil bebatuan serta pepohonan rindang menjadikan tempat ini cukup nyaman untuk dikunjungi. Terlebih jika kita mengamati lebih dalam, ada peradaban kecil yang ingin dibentuk dari tempat bertanah becek dan belok ini.
Hampir dua ratusan santri tinggal di sekolah tersebut. Mulai dari mandi, cuci, kakus, makan, minum dan tentunya belajar baik Alqur’an, ulumul syar’i, hingga sains, semua dilakukan di tempat yang sama. Sekolah ini bernama Pesantren Mimbar Huffazh. Ceritanya panjang, kenapa ada nama ‘mimbar’ dan ‘huffazh’. Belum lagi, ada satu nama unit di pesantren yang memiliki nama berbeda, yaitu SMAIT Bunyan Indonesia. Jadi ada pesantren Mimbar Huffazh dan sekolah Bunyan Indonesia.
Bingung? Saya pun dulu seperti itu, hingga akhirnya tahun 2017 saya bergabung menjadi salah satu pengajar di SMAIT Bunyan Indonesia. Ratusan kali penjelasan membuat saya paham mengenai perbedaan dua nama. Pendirinya memegang orisinalitas konsep dan historis sehingga tetap mempertahankan kedua nama tersebut. Mimbar huffazh mewakili historisitas Pendiri. Sedangkan Bunyan merepresentasikan idealisme pendidikan pewakaf tanah yang kelak menjadi penasehat Yayasan.
Intinya, sekolah ini berusaha menjadi tanah. Tanah yang subur, meski tanah latosol sendiri (kontur tempat sekolah berdiri) tidak terlalu subur. Namun, sekolah berusaha menjadi anomali kesuburan ditengah kekeringan akhlaq dan tauladan di lembaga pendidikan lainnya. Mereka berusaha menjadi tanah yang memastikan setiap sendi kehidupan yang berdiri di atasnya harus tumbuh dan berkembang, bahkan terus menuai dan menebar benih-benih kebaikan. Jangan tanya kapan panen, karena layaknya petani, yang selalu menerka waktu panen, meski kadang gagal panen, mereka terus saja berikhtiar menanam dan menebar benih, meski harus gagal panen.
Jika kalian pernah berkunjung ke sekolah ini, saya mafhum apa yang ada di benak kalian. Akses menuju sekolah cenderung sempit, gedung berlumut, bahkan beberapa atap sempat bocor sebelum akhirnya di ganti berkali-kali. Sekolah akan bersih Ketika para santri melakukan piket setiap hari. Tidak ada Office Boy, hanya para santri dan guru yang terus menjaga kebersihan sekolah. Meski demikian, para santri tetap betah tinggal dan menimba ilmu dari para guru yang ikhlas membagikan ilmu-ilmunya.
Ikhlas mungkin menjadi salah satu kunci kenapa sekolah cum persantren ini tetap berdiri. Saya yakin, hanya guru yang memiliki hati ikhlas yang mampu bertahan di lingkungan ini. Bayangkan, sekolah ini belum memiliki begitu banyak santri serta fasilitas yang ‘seadanya’, tapi idealisme yang diterapkan tidak main-main. Generasi cerdas beradab, ulama – pejuang, serta hafidz saintis. Tiga jargon yang menjadi spirit para punggawa sekolah yang nyaris sempurna jika ini tercapai.
Perjuangan sekolah tidak berhenti disitu. Saat saya pertama masuk, tiga tahun lalu, saya sudah mendengar kabar bahwa sekolah akan di gusur. Ada proyek prestisius dari pemerintah untuk membangun jalan Tol Cibitung – Cimanggis. Lokasi sekolah tepat berada di siteplan pembangunan jalan tol. Tidak ada kata lagi selain gusur dan gantirugi.
Namun, kenyataanya tidak semulus itu. Seperti namanya, ganti rugi bukan ganti untung. Maka, selama tiga tahun terakhir, sekolah banyak merugi. Rugi secara fisik, lingkungan, finansial serta waktu. Hampir tiga tahun sekolah harus terus beraktifitas ditengah penggusuran pembangunan Jalan Tol.
Asap kendaraan berat, suara bising truck dan ekskavator, serta bergetarnya tanah akibat pemasangan pondasi menjadi tantangan tersendiri. Ribuan status/postingan sosial media dan protes sudah dilayangkan, agar pelunasan segera tertunaikan. Tak lupa, demo di depan ekskavator juga dilakukan, direkam dan disebarluaskan agar viral dan menarik perhatian khalayak di berbagai platform sosial media. Tak ketinggalan, wawancara dengan media massa, Radio Dakta salah satunya, juga ditempuh.
Hal ini seperti mengamini teori yang disampaikan oleh Steven Chaffee dan Miriam Metzger (1991) dalam “The end of the mass Communication”, dimana setiap individu bisa menjadi komunikator yang mampu mempengaruhi setiap individu, masyarakat dan kebudayaan. Sekolah ingin setiap individu maupun institusi terkait membuka mata tentang keberadaannya yang tertindas.
Gayung bersambut. Pihak pemerintah yang diwakili oleh Waskita mendatangi sekolah dan merumuskan pelunasan. Secepatnya. Cepat versi Waskita adalah dua tahun untuk pelunasan. Sepanjang waktu tersebut, sekolah, guru dan santri penuh kesabaran bertahan hingga berharap relokasi yang layak di tempat baru kelak.
Tepatnya, pada medio Mei kemarin, setelah pelunasan tuntas, sekolah harus di robohkan. Banyak nilai historis, kenangan, kebaikan hingga hikmah yang terekam amat baik dibalik reruntuhan tembok dan pagar bangunan. Sepertinya, sekolah tak kehabisan berkah. Doa para santri, walisantri serta alumni yang tersebar di berbagai penjuru negeri hingga luar negeri, maupun masyarakat sekitar deras mengalir.
Keberkahan itu terus hadir hingga kini. Sekolah mendapatkan lahan hampir satu hektar dilain tempat. Pembangunan dimulai kembali, meski ditengah pandemi dan keterbatasan ekonomi. Para santri dipulangkan kembali sejak pertengahan Maret lalu. Demi keamanan terhindari dari pandemi. Tapi, kepercayaan dan keniscayaan bahwa selalu ada hikmah dari Allah SWT, menguatkan para punggawa sekolah untuk terus melanjutkan perjuangan dan benih peradaban.
Setidaknya, pembangunan sekolah yang baru di kawasan Cikarang Barat, Bekasi, bisa fokus meski tetap kekurangan modal. Setidaknya, para santri aman ditengah ketidakjelasan bangunan mana yang harus ditempati pasca penggusuran dan pandemi. Setidaknya, sekolah bisa sedikit menghemat pengeluaran untuk menutupi begitu banyaknya tunggakan yang menjadikan sekolah begitu banyak berderma hingga kini.
Mungkin, disitulah posisi sekolah, sebagai ekosistem tanah yang menumbuhkan kebaikan dan cikal bakal pejuang yang hanya dilahirkan dari kondisi sulit. Bukan pejuang yang muncul karena belaian kenyamanan dan kemapanan.
Satu dekade berlalu, kini sekolah meneguhkan sebuah nama yang menjadi visi bersama. Sekolah Bunyan Indonesia. dari TK hingga SMA, semuanya berlabel Bunyan Indonesia. Berlokasi di Cikarang Barat, Bekasi. Visi 2030 diusung untuk meneguhkan diri sebagai pusat Pendidikan Islam yang mampu menebar kebaikan dan kebermanfaatan bagi umat Islam baik di Bekasi maupun di berbagai tempat persebaran para alumni.
Tanpa menghilangkan nama Mimbar Huffazh, yang kini diperjuangkan di lain tempat. Yaitu Karawang. Benih berikutnya untuk menebar bibit kebermanfaatan. Rasanya, kondisi ini mengingatkan kita pada karya monumental Chairil Anwar, berjudul Karawang – Bekasi. Namun, sekolah bukan untuk dikenang, melainkan diperjuangkan agar tercipta peradaban Islam yang gemilang.
Wallahu A’lam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H