Perjuangan sekolah tidak berhenti disitu. Saat saya pertama masuk, tiga tahun lalu, saya sudah mendengar kabar bahwa sekolah akan di gusur. Ada proyek prestisius dari pemerintah untuk membangun jalan Tol Cibitung – Cimanggis. Lokasi sekolah tepat berada di siteplan pembangunan jalan tol. Tidak ada kata lagi selain gusur dan gantirugi.
Namun, kenyataanya tidak semulus itu. Seperti namanya, ganti rugi bukan ganti untung. Maka, selama tiga tahun terakhir, sekolah banyak merugi. Rugi secara fisik, lingkungan, finansial serta waktu. Hampir tiga tahun sekolah harus terus beraktifitas ditengah penggusuran pembangunan Jalan Tol.
Asap kendaraan berat, suara bising truck dan ekskavator, serta bergetarnya tanah akibat pemasangan pondasi menjadi tantangan tersendiri. Ribuan status/postingan sosial media dan protes sudah dilayangkan, agar pelunasan segera tertunaikan. Tak lupa, demo di depan ekskavator juga dilakukan, direkam dan disebarluaskan agar viral dan menarik perhatian khalayak di berbagai platform sosial media. Tak ketinggalan, wawancara dengan media massa, Radio Dakta salah satunya, juga ditempuh.
Hal ini seperti mengamini teori yang disampaikan oleh Steven Chaffee dan Miriam Metzger (1991) dalam “The end of the mass Communication”, dimana setiap individu bisa menjadi komunikator yang mampu mempengaruhi setiap individu, masyarakat dan kebudayaan. Sekolah ingin setiap individu maupun institusi terkait membuka mata tentang keberadaannya yang tertindas.
Gayung bersambut. Pihak pemerintah yang diwakili oleh Waskita mendatangi sekolah dan merumuskan pelunasan. Secepatnya. Cepat versi Waskita adalah dua tahun untuk pelunasan. Sepanjang waktu tersebut, sekolah, guru dan santri penuh kesabaran bertahan hingga berharap relokasi yang layak di tempat baru kelak.
Tepatnya, pada medio Mei kemarin, setelah pelunasan tuntas, sekolah harus di robohkan. Banyak nilai historis, kenangan, kebaikan hingga hikmah yang terekam amat baik dibalik reruntuhan tembok dan pagar bangunan. Sepertinya, sekolah tak kehabisan berkah. Doa para santri, walisantri serta alumni yang tersebar di berbagai penjuru negeri hingga luar negeri, maupun masyarakat sekitar deras mengalir.
Keberkahan itu terus hadir hingga kini. Sekolah mendapatkan lahan hampir satu hektar dilain tempat. Pembangunan dimulai kembali, meski ditengah pandemi dan keterbatasan ekonomi. Para santri dipulangkan kembali sejak pertengahan Maret lalu. Demi keamanan terhindari dari pandemi. Tapi, kepercayaan dan keniscayaan bahwa selalu ada hikmah dari Allah SWT, menguatkan para punggawa sekolah untuk terus melanjutkan perjuangan dan benih peradaban.
Setidaknya, pembangunan sekolah yang baru di kawasan Cikarang Barat, Bekasi, bisa fokus meski tetap kekurangan modal. Setidaknya, para santri aman ditengah ketidakjelasan bangunan mana yang harus ditempati pasca penggusuran dan pandemi. Setidaknya, sekolah bisa sedikit menghemat pengeluaran untuk menutupi begitu banyaknya tunggakan yang menjadikan sekolah begitu banyak berderma hingga kini.
Mungkin, disitulah posisi sekolah, sebagai ekosistem tanah yang menumbuhkan kebaikan dan cikal bakal pejuang yang hanya dilahirkan dari kondisi sulit. Bukan pejuang yang muncul karena belaian kenyamanan dan kemapanan.