“..Duh Pep..”.
Dengan nada khawatir Apep, memohon bagaimana solusinya supaya ATM segera diblokir. Sedangkan Apep sendiri berada di Kantor tempat kerja dan terkunci di dalamnya, karena berusaha menghubungi kami yang sedari sore tadi punya janji dengan dia. Akhirnya seorang teman kos, satu kampung halaman denganku, menyarankan dan mencoba menghubungi call center bank, agar rekening Apep segera diblokir.
Susah payah temanku ini berusaha ‘mengibuli’ mbak-mbak atau mas-mas call center, karena saat ditanya data pribadi, kami kembali bertanya ke Apep. Mulai dari nama Ibu, tanggal lahir, alamat rumah, warna buku tabungan, dan lainnya. Dan hasilnya gagal total. Sampai lewat tengah malam, dan call center terakhir yang mengangkat, dengan dingin menjawab,
“ Maaf pak, malam ini kami tidak bisa melayani pemblokiran rekening, karena sedang ada perbaikan sistem, mohon ditunggu beberapa jam lagi”.
*******
Keesokan harinya, Apep kami jemput, dan ternyata berhasil memblokir rekeningnya. Syukurlah. Meski dengan raut muka yang lusuh dan tampak kurang tidur, setidak uang hasil tabungannya selamat. Dia akan segera pulang kampung dan mengurus kartu-kartu yang dicopet.
Memang begitu lah Jakarta. Selalu ada kejadian-kejadian menarik, termasuk tindak kriminalitas yang sudah menjadi cirikhas Ibukota. Sampai-sampai ada lelucon seperti ini, “belum jadi orang Jakarta, kalau belum kena copet, jambret, palak dan sejenisnya”. Meski demikian, banyak orang enggan untuk beranjak dari kota ini, tentunya karena faktor materi. Janji akan karir yang cemerlang, penghasilan yang tinggi, serta gaya hidup metropolitan menjadi magnet penarik para perantau seperti kami dan Apep. Maka, memang benar apa yang dinarasikan oleh sebuah video, “ Jakarta adalah kota kejam kesayangan “.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H