[caption caption="ilustrasi flickriver.com"][/caption]Kau masih saja membuatku iri. Tentang bagaimana caramu yang tak pernah takut akan hari esok. Tentang bagaimana caramu mengganti marah dengan tawa, kemudian menguapkannya beriringan kepulan asap rokok.
Aku pernah bertanya, siapa guru bijakmu? Namun kau tak pernah menjawabnya. Hanya isyarat senyuman ke arahku, kemudian menatap lurus ke depan.
***
Sore ini aku datang lagi. Di tempat ini, tempat di mana kita pertama kali bertemu. Saat itu, aku yang sedang terpuruk akan hidupku. Tentang kisah perselingkuhan ayahku, tentang kakakku yang tertangkap atas penggunanaan narkoba, dan tentang diriku, remaja labil yang karena kecerobohan diri menanggung sakit nan malu. Aku positif mengidap AIDS yang baru kuketahui sebulan yang lalu. Lantas, bagaimana dengan ibuku? Aku sendiri pun tak tahu. Aku telah meninggalkan rumahku, kota kelahiranku, menuju sebuah pulau eksotis nan indah, tempat yang menjadi tujuan wisatawan lokal hingga mancanegara.
Aku ingat saat pertama kali kita mengenal, kau menawarkan berbagai merek makanan ringan, air mineral serta bungkusan rokok kepadaku. Sementara aku sendiri sedang duduk melamun di tepian pantai. Kutaksir umurmu dua tahun lebih di atasku. Awalnya aku tak berniat membeli, tapi ketika kulihat peluh keringat di pelipih dahimu, sedang barang daganganmu yang masih banyak tersisa, aku pun memilih sebungkus rokok mild berwarna putih dan sebotol minuman isotonik.
Saat itulah, kau mengubah hidupku. Dalam percakapan kita, kau memberiku beragam kisah inspirasi dan motivasi. Absurd memang, hanya dengan sebuah kisah, lantas bisa mengubah hidupku. Tapi, itulah yang kurasakan. Kau mengajariku bahwa dunia ini sangat luas. Aku merasa malu, ternyata aku terlalu bodoh jika harus terus berdiam diri. Meratapi setiap permasalahan yang datang menghampiri.
Hari demi hari, kita semakin dekat. Kau tak pernah sekalipun jijik berteman denganku, atau bahkan menghindariku. Padahal kau tahu sendiri, orang sepertiku sudah dianggap hina oleh masyarakat. Kau bahkan tak pernah malu mengajakku pergi bermain bersama teman-temanmu.
Ditemani si Bobi, motor vespa kesayanganmu, kau selalu mengajakku bertemu dengan dunia baru. Dengan dunia yang selalu mengubah pola pikirku, bahwa dunia ini sangat indah, terlalu luas jika kita hanya merenungi permasalahan diri. Aku ingat ketika kita berkemah di tepi pantai, kemudian kau mengajakku melihat seekor ibu penyu yang sedang menetaskan telur secara langsung. Atau ketika kau mengajakku mengunjungi panti jompo, memberi pelayanan ekstra kepada kakek nenek, mengibur mereka sejenak untuk melupakan kesedihan. Lantas, aku pun teringat ibuku. Sejenak aku merindukannya.
Namun, tiba-tiba seakan semua sirna. Kau menghilang entah ke mana. Nomor handphone-mu tak lagi bisa dihubungi, teman-temanmu juga tak ada yang mengetahui. Aku linglung, seakan kehilangan pegangan diri, dirimu yang selama ini aku anggap orang penting dalam kisah perjalanan hidupku, orang yang telah mengubah hidupku ke arah yang baik, tetapi pergi meninggalkan tanpa pesan perpisahan. Kau hanya meninggalkan Bobi, motor vespamu di depan kosku. Hal ini justru semakin membuat diri ini merasa kehilanganmu.
Aku terpuruk, entah dalam beberapa hari setelah kepergianmu, aku tak ingin keluar kos. Tak ada penyemangat dalam hidup. Padahal, banyak dari teman-temanmu berkunjung, mencoba menemani untuk sekedar menghibur diri. Kadang dari mereka mengajak keluar, walau hanya bersantai di tepi pantai untuk mencari udara segar.
Lambat laun, aku mulai terbiasa tanpamu. Berkat teman-temanmu yang tak pernah lelah mencoba menghiburku. Aku menyadari, ada jiwamu dalam diri mereka. Mungkin saat kau menemukan mereka, sama persis saat menemukanku, terpuruk akan kisah hidup lalu dengan beribu caramu, kau mengubahnya menjadi lebih baik.
Hingga suatu hari, aku menemukan pesan itu. Pesan yang kau simpan di dalam motor vespamu, dengan diikat sebuah gelang kesayanganmu. Dalam pesan tersebut, kau sama sekali tak menjelaskan alasanmu meninggalkanku dan teman-temanmu, ataupun sekedar menyebutkan di mana dirimu saat ini. Kau hanya berucap maaf dan terima kasih telah menjadi bagian dari kisah hidupmu. Dalam pesan tersebut, kau kembali mengucapkan itu, kata yang kau ucapkan di malam hari saat kita berkemah di tepi pantai untuk menunggu induk penyu yang akan melahirkan.
“Lihatlah dunia dari sisi lain, kemudian kau akan mengerti segala sesuatu yang lebih baik.”
Di bawahnya, kau menambahkan salam untuk teman-temanmu dan untuk ibuku. Kau bahkan menyuruhku untuk kembali ke ibuku, atau sekedar menjenguk dengan mengucapkan beribu maaf dan terima kasih kepadanya. Yah, aku memang pernah bercerita tentang diriku yang meninggalkan keluargaku.
Dalam pesan terakhir, kau berucap
“Jaga selalu bobi yah, karna dengan itu, jiwaku akan tetap ada di sampingmu.”
***
Aku tersadar dalam lamunan panjang. Aku masih duduk di sini, di tepi pantai ini. Sejenak mengabiskan waktu hingga petang hari. Esok, aku akan kembali ke Jakarta, sudah 3 hari aku menyempatkan berlibur di kota ini. Yah, aku menuruti pesanmu untuk kembali bersama Ibuku. Pada awalnya, aku sangat berat untuk meninggalkan tempat ini dan teman-temanmu. Tapi karena ingat pesan darimu, tekadku untuk bertemu ibu semakin kuat. Aku bersyukur, ibuku tak pernah membenciku, justru semakin menyayangiku. Tentang teman-temanmu, kita masih berkomunikasi, tentunya dengan dibantu media sosial saat ini.
Aku datang ke sini untuk mengucap selamat tinggal. Mungkin, ini sekaligus salam perpisahan dariku. Terima kasih dan beribu terima kasih, aku bersyukur menemukan pribadi sepertimu. Sosok yang telah menuntunku ke arah yang lebih baik. Penyakitku semakin parah, dan mungkin saja umurku sebentar lagi. Aku ingin menghabiskan sisa hidup bersama ibuku, dan juga Bobi-mu. Oh ya, tenang saja. Aku sudah berencana untuk memberikan Bobi ini kepada teman-temanmu ketika aku tak lagi ada di dunia ini. Bukannya aku tak ingin menyimpannya, tapi aku ingin memberikan motor ini kepada teman-teman baikmu, dengan harapan semoga motor ini akan terus menjadi inspirasi penerus perjuangan kita dalam memberikan semangat hidup yang lebih baik.
Bersama Bobi yang menemaniku, aku berjanji akan menyimpannya hingga akhir hayatku, dengan begitu, jiwamu akan selalu ada di sini, di sisiku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H