Mohon tunggu...
Irfan Hermawan
Irfan Hermawan Mohon Tunggu... Penulis - Just For Fun

hanya manusia biasa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengupas Sisi Lain Budaya Patriarki: Diskriminasi Gender Korban Pelecehan Seksual pada Laki-laki, Bukti Nyata Rendahnya Kesetaraan Gender di Indonesia

12 April 2022   22:49 Diperbarui: 12 April 2022   23:03 980
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pengantar: Laki-laki dan Sterotip Maskulinitas

Saat ini, kontruksi maskulin dan feminine telah mengalami perubahan. Dimana pada saat ini laki-laki dan perempuan bebas melakukan hal-hal diluar budaya maskulin dan feminine. Batasan dan peran gender sudah semakin kabur dan tidak rigid. Tidak ada lagi batasan perbedaan gender yang melarang keduanya untuk bertukar peran karena ada kesetaraan gender. Adanya budaya patriarkhi di masyarakat menyebabkan laki-laki menjadi sosok utama yang berperan sebagai sosok yang dominan dan maskulin. Sterotip inilah yang pada akhirnya menyebabkan munculnya fenomena toxic masculinity pada laki-laki. Sehingga dengan berkembangnya sterotip tersebut menyebabkan terjadinya ketimpangan gender pada masyarakat.

Masyarakat akan cenderung melihat sosok laki-laki berdasarkan tingkat maskulinitas yang ada pada dirinya. Tentu saja hal ini merupakan permasalahan yang perlu untuk dikaji dalam hal kesetaraan gender. Masyarakat acap kali membahas mengenai kesetaraan gender hanya berdasarkan satu sudut pandang saja, yaitu perempuan sebagai objek yang perlu untuk mendapatkan keadilan gender.

Padahal jika kita melihat dari dua sisi yang berbeda, laki-laki juga seringkali mengalami ketidakadilan gender. Bukan hanya tentang toxic masculinity saja yang seringkali terjadi pada kaum laki-laki, tetapi juga kekerasan seksual dan pelecehan acap kali terjadi pada laki-laki. Akan tetapi karena adanya sterotip maskulinitas tersebut menjadikan kaum laki-laki tidak berani menyuarakan hak-hak tersebut kepada masyarakat dikarenakan masyarakat akan menilai mereka sebagai kaum yang lemah dan tidak jantan. 

Laki-laki Korban dari Budaya Patriarki

Patriarki merupakan sebuah system yang menjadikan laki-laki memiliki kekuasaan paling utama serta mendominasi dalam kapasitas kepemimpinan, dominasi moral, serta kedaulatan sosial. Budaya patriarki telah menempatkan laki-laki sebagai sosok maskulin yang selalu diposisikan "superior" dengan sifatnya yang berani, perkasa, kuat dan tidak cengeng. Sedangkan perempuan sebagai pihak feminim yang diposisikan "subordinasi" dengan sifatnya yang lemah lembut, mudah menangis, emosional dan lemah. Ideologi patriarki yang mengedepankan kepentingan laki-laki, serta meninggikan nilai-nilai maskulin, dan di saat yang sama juga merendahkan nilai-nilai feminis. Sehingga hal itulah yang kerap menyebabkan perlakuan diskriminatif terhadap perempuan (Chaerunnisa, 2022).

Menurut Wandi (2015) menyatakan bahwa dalam perjalanan hidupnya laki-laki harus mengikuti alur "kelaki-lakian" sesuai dengan kodaratnya sebagai laki-laki. Kemudian Wandi (2015) mengutip pendapat Alimi (2004), bahwa orientasi kehidupan laki-laki dan perempuan dikotak-kotakkan ke dalam maskulin dan feminin. Jika laki-laki maka harus maskulin dan jika perempuan maka harus feminin. Nilai-nilai yang diwariskan dari generasi ke generasi terpatron dalam maskulinitas menjadikan laki-laki harus mengarahkan dirinya agar sesuai dengan apa yang telah "digariskan" tersebut. Laki-laki tidak boleh cengeng, menangis, gemulai, dan berbagai ciri yang menggambarkan sifat "kewanitaan" merupakan aturan tidak tertulis yang harus dipatuhinya (Wandi, 2015).

Pembagian kerja yang tidak proporsional antara laki-laki dan perempuan akibat dari budaya patriarki. Konstruksi menyatakan bahwa laki-laki yang bekerja di ranah publik, sedangkan perempuan berada di ranah domestik, mengakibatkan ruang gerak dan aktualisasi diri bagi laki-laki menjadi terbatas. Tentu saja dalam hal ini menjadikan laki-laki sebagai korban dari adanya budaya patriarki.

Diskriminasi Gender pada Laki-laki Korban Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual pada laki-laki bukanlah menjadi sebuah hal yang umum di masyarakat.  Akan tetapi, kekerasan seksual yang terjadi pada laki-laki saat ini seringkali diabaikan oleh masyarakat. Hal ini tentu saja berkaitan dengan berkembangnya budaya patriarki di masyarakat. Berbagai macam penelitian menunjukkan bahwa korban kekerasan seksual seringkali didominasi oleh perempuan dan mayoritas pelaku utama adalah laki-laki. Akan tetapi fakta tersebut tidak dapat menafikan bahwa kekerasan seksual juga terjadi pada laki-laki. Akan tetapi, banyaknya data tersebut tidak digubris oleh pemerintah dan masyarakat. Sehingga kekerasan seksual terhadap laki-laki seringkali tidak dianggap sebagai suatu hal yang serius.

Berdasarkan Laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender yang diluncurkan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dan INFID Tahun 2020 ada 33% laki-laki yang mengalami kekerasan seksual khususnya dalam bentuk pelecehan seksual. Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tahun 2017, untuk kelompok umur 13-17 tahun prevalensi kekerasan seksual terlihat lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan yaitu sebesar 8,3% atau dua kali lipat dari prevalensi kekerasan seksual pada perempuan yang mencapai 4,1% (Barus, 2021).

Berdasarkan dari fakta-fakta tersebut tentu saja menjadi menarik karena laki-laki yang selalu berperan sebagai sosok patriarki dan jarang dianggap sebagai korban kekerasan seksual. Data yang menunjukkan terjadinya kekerasan seksual pada laki-laki seringkali diacuhkan karena laki-laki yang memiliki pengalaman menjadi korban cenderung untuk tidak melaporkannya dikarenakan ia merupakan sosok yang dikenal maskulin. Pelecehan yang dilakukan sesama laki-laki bisa saja terjadi sejak masa remaja. Namun, kebanyakan orang tidak menyadarinya sebagai tindakan pelecehan seksual. Misalnya, pelakunya laki-laki acap kali banyak remaja yang tidak menyadari ketika mereka bercanda dengan teman laki-lakinya, mungkin ada yang suka bercanda dengan pelorotin celana temannya. Sebetulnya bercandaan seperti itu sudah termasuk tindakan pelecehan seksual. Karena belum tentu orang yang dipelorotin celananya itu senang dilakukan seperti itu karena itu tindakan yang memalukan (Varwati, 2021).

Ketika seorang laki-laki tidak dapat mencegah dirinya menjadi korban kekerasa seksual, tudingan-tudingan mengenai maskulinitas mereka seringkali muncul. Menjadi korban tidak termasuk dalam kriteria maskulintas justru membuat maskulinitas itu sendiri ternodai. Dengan pola pikir masyarakat yang demikian, tidak heran jika muncul anggapan bahwa pelecehan seksual dianggap tidak normal jika dialami oleh pria gay (Abdiah, 2022). Masih sempitnya sudut pandang masyarakat dan respons negatif kasus pelecehan seksual terhadap laki-laki mengakibatkan korban enggan untuk speak up. Meskipun sudah jelas menjadi korban, konteks maskulinitas mereka dipertanyakan. Masyarakat sering kali menyudutkan korban terkait bagaimana seharusnya bisa membela diri dan bagaimana mereka berpenampilan. Ketika seorang laki-laki menjadi korban perlecehan seksual, identitas personal mereka mulai terganggu dan mulai mempertanyakan orientasi seksual mereka.

Catatan Penutup: Pentingnya Kesadaran Terhadap Kesetaraan Gender untuk Mendobrak Budaya Patriarki

Kesetaraan gender tentu menjadi penting, sebab pandangan ini membuat manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama, kesempatan yang sama untuk merasa dihargai, berhak mendapatkan pendidikan yang sama, dan berhak menentukan masa depan sendiri. Keadilan gender dimaknai dengan kondisi masyarakat yang menempatkan laki-laki maupun perempuan secara adil dan setara. Masyarakat diharapkan dapat terbebas dari nilai-nilai yang menganggap laki-laki lebih utama (patriarki) dibandingkan perempuan dan tidak terjadi lagi pembedaan peran, posisi, tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang berdasarkan pada jenis kelamin.

Terwujudnya keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki. Dengan demikian perempuan dan laki-laki memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Memiliki akses dan partisipasi berarti memiliki peluang atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya dan memiliki kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya sehingga memperoleh manfaat yang sama (Rizky Amalia, 2022).

Pelecehan Seksual seringkali terjadi pada remaja khususnya pada laki-laki.
Pada umumnya perilaku ini bermula ketika seorang laki-laki memiliki sifat atau
karakter yang lebih pendiam dari laki-laki umumnya. Penyebab adanya pelecehan seksual yang terjadi pada laki-laki disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal berasal dari keluarga yang disebabkan oleh sosialisasi yang tidak sempurna dan kurangnya edukasi mengenai seks edukasi atau kesetaraan gender dalam keluarga. Sedangkan faktor eksternal berasal dari sifat
masyarakat yang kurang open minded atau masih berpegang teguh pada budaya patriarki dan kurangnya edukasi mengenai kesetaraan gender. Perilaku pelecehan seksual yang terjadi pada mereka menyebabkan perubahan sifat atau karakter pada diri mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Abdiah, J. M. (2022, Januari 08). Kumparan.com. Retrieved from https://kumparan.com/jaenal-muhamad-abdiah/patriarki-penyebab-kekerasan-seksual-pada-laki-laki-belum-dianggap-serius-1xKfiXQ2Joc/2

Barus, B. I. (2021, September 28). Indonesia Judicial Research Society . Retrieved from http://ijrs.or.id/kekerasan-seksual-pada-laki-laki-diabaikan-dan-belum-ditangani-serius/

Chaerunnisa, L. (2022, 01 19). Mubadalah. Retrieved from mubadalah.id/bukan-hanya-perempuan-laki-laki-juga-korban-patriarki/

Rizky Amalia, M. D. (2022). Wageldicator Fondation. Retrieved from https://wageindicator-data-academy.org/countries/data-akademi-garmen-indonesia-bahasa/sensitivitas-gender/konsep-keadilan-gender

Varwati, R. H. (2021, Mei 23). Suara.com. Retrieved from https://www.suara.com/health/2021/05/23/200500/ini-yang-terjadi-jika-lelaki-jadi-korban-pelecehan-seksual?page=all

Wandi, G. (2015). Rekontruksi Maskulinitas: Menguak Peran Laki-laki dalam Perjuangan kesetaraan Gender. Gusri Wandi, 10-11.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun