Tanpa terasa, Desember akan berlalu menuju tahun yang baru di 2025. Menjelang Ramadhan dan Idul Fitri biasanya akan banyak beredar kartu-kartu ucapan dalam versi cetak atau online yang dapat diakses secara gratis di internet. Ini memudahkan masyarakat yang ingin mempererat hubungan silaturahmi dengan kerabat, sahabat dan kolega kerja baik sesama muslim maupun dengan yang bukan muslim. Namun ada fenomena unik terkait bahasa dengan hubungan sosial yang terjadi di masyarakat belakangan ini. Isu inilah yang akan menjadi topik opini saya kali ini.Â
Pada dasarnya, melalui internet, kemudahan menyampaikan pesan sangat menguntungkan masyarakat yang hidup di era digital. Bagaimana tidak, hanya dengan menekan satu tombol maka pesan langsung tersampaikan kepada orang lain melalui aplikasi-aplikasi media sosial seperti Facebook, WhatsApp, Instagram, Telegram, TikTok, Messenger dan lain-lain. Hal ini tentu berimbas pada efisiensi waktu, biaya, dan tenaga. Bisa dibayangkan berapa lama pesan tersampaikan disaat era snail mail sebelum munculnya e-mail. Tentunya seluruh manusia patut bersyukur untuk hal itu.
Hampir semua masyarakat dari anak-anak, remaja dan dewasa sudah memiliki gawai masing-masing yang terkoneksi dengan internet. Ucapan Selamat Idul Fitri Mohon Maaf Lahir Batin pun dapat disampaikan langsung pada orang yang dituju. Ucapan yang menjadi jargon di akhir Ramadhan dan menjelang Lebaran ini menjadi hal yang menarik untuk dikaji. Kata maaf dan memaafkan bagi semua kalangan tentu bukan kata yang sulit dimengerti. Namun, kata maaf memaafkan yang beredar di masyarakat melalui media sosial sering salah kaprah dan tidak sesuai dengan tujuan mulia pengucapan kata tersebut.
Mungkin jarang terlintas dalam pikiran masyarakat bahwa apa sebenarnya hakikat menyampaikan ucapan yang menjadi jargon setiap tahun itu. Pada dasarnya, seseorang yang mengirimkan teks tentu memiliki tujuan tertentu yang dapat dimengerti oleh penerima pesan. Hal ini karena melibatkan esensi komunikasi 2 arah dimana pesan yang disampaikan harus dipahami baik oleh penulis maupun  pembaca atau sebaliknya (Brown, 2009).
Pergeseran prinsip komunikasi dalam menyampaikan pesan maaf memaafkan bisa terjadi karena ketidaktahuan bahkan mungkin ketidaksadaran. Seseorang yang mengirimkan teks salinan ucapan maaf lahir batin melalui proses sharing langsung sebenarnya menunjukkan bahwa dia mengirimkan pesan maaf orang lain bukan dari diri sendiri. Ketidaktahuan disebabkan oleh kurangnya pemahaman kebahasaan. Ketidaksadaran dipicu oleh faktor kebiasaan karena umumnya sudah terjadi di masyarakat dalam kurun waktu yang cukup lama.
Dari sudut pandang Semantik, salah satu cabang Linguistik yang mengkaji makna literal kata, setiap manusia yang ingin memproduksi ujaran  tentunya memiliki proposition (proposisi) di dalam kepalanya. Proposisi itu dalam bentuk kalimat deklaratif, bersifat abstrak, yang merupakan makna utama hasil representasi dari suatu fakta tertentu, sehinggah mendorong otak manusia memproduksi kalimat yang akan diujarkan (Hurford & Heasley, 1983). Sebagai contoh, jika ada seseorang pria mengatakan, "Cantik sekali wanita itu...," maka proposisi yang mungkin terbentuk adalah, i). ada wanita cantik; ii). Wanita itu berjalan anggun dan memakai gaun yang indah; dan iii). Wanita itu berkepribadian menarik.  Kalimat deklaratif tersebut merupakan refleksi fakta yang terlihat sehinggah memunculkan makna utama dari apa yang ingin diujarkan oleh pria tersebut. Hal itulah yang memunculkan stimulasi di area Broca dalam otak untuk memproduksi ujaran, "Cantik sekali wanita itu...."
Jika seseorang mengetikkan ucapan maaf kepada orang lain dan hasil ketikan merupakan karya sendiri, orang tersebut telah melewati proses seleksi proposisi. Seleksi didasarkan pada fakta yang ada, i) Dia memang bersalah secara sengaja pada orang lain; ii) Dia belum tentu salah namun sebagai manusia biasa, bisa saja ada kesalahan tak disengaja yang dia tidak sadari namun bisa melukai hati orang lain  oleh karenanya dia meminta maaf; atau iii) Dia yakin tidak bersalah namun bentuk toleransi dia mengucapkan maaf lahir batin. Proses seleksi proposisi akan menghadirkan tulisan dalam bentuk ketikan yang murni mewakili isi hati penulisnya. Apa yang tertulis disesuaikan dengan fakta yang dia lihat, dengar dan rasakan yaitu melalui poin i,ii, atau iii mengenai dirinya sendiri.
Namun berbeda hal jika tulisan itu adalah hasil karya orang lain. Proses seleksi proposisi jelas tidak dilalui. Alhasil, tidak ada ucapan yang diproduksi atau diketikkan. Adapun teks yang dikirim bukan berasal dari apa yang dia ingin ucapkan. Berdasarkan kajian Pragmatik, dalam komunikasi hal seperti ini melanggar maxim of quality dimana pembicara haruslah menyampaikan pesan yang jujur apa adanya (Grice, 1975). Pelanggaran terhadap maksim tersebut memicu munculnya implikasi, yaitu makna tersirat di luar makna literal dalam teks saat berkomunikasi. Implikasi yang dapat ditangkap pembaca adalah bahwa orang yang mengirim pesan tidak benar-benar meminta maaf dan ucapan maaf hanya basa-basi. Bentuk implikasi yang lain berupa, "Inilah contoh bentuk ucapan permintaan maaf yang bagus dan menarik." Jadi konteksnya si pengirim teks dianggap bukan berencana untuk meminta maaf. Kalaupun ada rencana belum tentu dari hatinya sendiri.
Beda hal jika seseorang menuliskan kembali kata-kata yang terdapat pada teks sumber ucapan maaf yang dia rasa mewakili hatinya. Menyusun kata per kata membutuhkan proses lateralisasi dimana otak memproses bahasa. Otomatis proses proposisi pun dituntun oleh teks sumber. Si penulis menyesuaikan fakta tentang permaafan dirinya dengan fakta permaafan orang lain yang dia anggap serupa sehinggah  memiliki proposisi yang sama. Ucapan permohonan maaf pun terproduksi. Artinya, apa makna pesan yang dia ingin sampaikan benar-benar sesuai dengan apa yang dituliskan.
Apa gunanya ucapan maaf yang dikirimkan tapi merupakan produk sumber dari orang lain? Lebih baik ucapan itu singkat dinyatakan untuk meminta maaf kepada orang lain tapi hasil tulisan sendiri. Bukankah manusia berdoa agar dibukakan pintu maaf oleh sang Khalik karena telah meminta maaf pada orang lain? Bukankah manusia mengharapkan doa juga dari orang yang sudah dimaafkan? Bukan pujian pada bagusnya tampilan kartu ucapan, panjangnya isi ucapan, namun tidak dibalas dengan doa. Parahnya lagi, hasil bagi ucapan maaf dari orang lain tadi dibalas oleh penerima dengan ucapan hasil berbagi dari  orang lain juga. Kebiasaan tersebut dapat bertendensi menggeser esensi rasa makna dari kata maaf dan memaafkan.
Pergeseran makna bahasa tentu tak terelakkan. Beda zaman maka makna bahasa dapat bergeser pula. Sebagai contoh kata bajingan. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, makna bajingan memiliki impresi negatif yaitu representasi dari sifat jahat seseorang yang mengganggu ketenteraman masyarakat. Namun, dulu, kata bajingan umum dipakai masyarakat Jawa Tengah yang bermakna sebagai orang yang mengendarai gerobak sapi. Makna yang awalnya positif kemudian berubah menjadi negatif.
Ragam bahasa  kata maaf yang terdapat dalam kitab suci Alquran tentu tergolong baku. Cita rasa makna itu sendiri sudah dipakemkan sehinggah tidak dapat diubah. Hal itu bisa dilihat pada kutipan surat As Syura ayat 40, "Balasan suatu keburukan adalah keburukan yang setimpal. Akan tetapi, siapa yang memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat), maka pahalanya dari Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang zalim." Kata maaf dari kutipan ayat tersebut memiliki Semantical Property yang baku.  Semantical Property merupakan sifat yang dimiliki oleh makna yang terkandung di dalam suatu kata disimbolkan dengan lambang (+) atau (-) menunjukkan keberadaan atau pun ketiadaan sifat dalam kata tersebut. Sehinggah bisa dikatakan bahwa kata maaf memiliki (+) ikhlas, (+) sabar, dan (+) tulus.
Namun jika kata maaf dipakai dalam ragam bahasa resmi atau kasual maka budaya dapat mempengaruhi rasa dari makna tersebut. Budaya merupakan wujud pembentukan kebiasaan sehari-hari  masyarakat yang turun temurun dilakukan sehinggah memiliki karakter dan nilai kuat yang sulit untuk diubah. Kebiasaan mengirim teks hasil penjiplakan dari teks sumber orang lain jika terus dilakukan oleh masyarakat akan menjadi budaya dan menggeser Semantical Property makna maaf tadi menjadi (-) tulus, (-) ikhlas, dan (-) sabar. Malahan, bisa mengarah pada (+) tidak serius dan (+) simbolik semata. Sehinggah, jargon maaf memaafkan setiap jelang lebaran tiba yang bermakna saling memaafkan harus dibedakan dengan maaf-maafan yang bermakna pura-pura saja. Esensi suci kata maaf-memaafkan mengharapkan pahala dan ridho dariNya sedangkan maaf-maafan  mengarah pada kemunafikan. Tentu ada ancamanNya bagi orang-orang yang munafik.
Mengungkapkan rasa bersalah tidaklah dengan menjabarkan semua daftar kesalahan kepada orang yang dituju. Pesan singkat dari ujaran sendiri sudah mewakili tujuan yang ingin disampaikan. Namun,  jika pun ingin membagikan  pesan ucapan maaf kepada orang lain dengan alasan tertarik pada keindahan bahasa dan tampilan yang dibagikan orang lain, pastikan isi sudah dipahami. Kemudian, edit bagian yang tidak dibutuhkan. Jika memungkinkan, bisa dikembangkan dengan memakai bahasa sendiri.
Besar harapan, di tengah kecanggihan teknologi komunikasi, kemampuan literasi masyarakat tetap dapat mengimbangi. Jangan sampai kecerdasan buatan (Artificial Inteligence) nanti lebih mendapat posisi karena bedanya di hati dan fatsun sesuai proporsi(*)
- Penulis adalah penggiat Sastra dan Linguistik di Prodi Pendidikan Bahasa Inggris STKIP Paracendekia NW Sumbawa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H