Mohon tunggu...
Irfan Hamonangan Tarihoran
Irfan Hamonangan Tarihoran Mohon Tunggu... Penulis - Dosen

Menulis karya fiksi dan mengkaji fenomena bahasa memunculkan kenikmatan tersendiri apalagi jika tulisan itu mampu berkontribusi pada peningkatan literasi masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Langkah Guru Maksimalkan Lirikan ke Sastra

9 April 2024   16:19 Diperbarui: 9 April 2024   17:14 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar CapCut.com

Tak bisa dipungkiri bahwa sastra berkaitan dengan dunia pendidikan. Pengajaran ilmu pengetahuan tak luput dari pengenalan adab. Ibarat dua sisi mata uang, ilmu dan adab selalu berdampingan. Sisi tengah adalah sastra yang menjembatani kedua sisi itu. Sastra dipakai untuk mengajarkan ilmu dan adab. Sehingga, diharapkan terlahir murid yang intelek dengan tetap menjaga kesopansantunan, kepedulian, dan ketakutan akan pelanggaran norma agama dan masyarakat.

Sastra identik dengan keindahan bahasa dari karya cipta atau fiksi hasil imaginasi yang bermanfaat untuk tujuan tertentu (Taum,1997).  Karya sastra meliputi lisan dan tulisan. Melalui cerita fiksi lisan,  imajinasi anak akan terpancing seakan berada dalam situasi cerita yang didengarkan. Pesan-pesan moral lebih mengena karena anak membayangkan terlibat dalam cerita. Dia  pun akan mengenal bagaimana cara berempati pada orang lain, bagaimana bertoleransi dan apa konsekuensi yang akan dihadapi jika melanggar norma itu. Pengenalan adab seperti ini tentu lebih menyenangkan dibandingkan ketika guru berdiri kemudian mendeklarasikan pentingnya kasihan pada teman dan takut pada Tuhan. Namun berapa persen kah guru yang melakukannya?

Masih ingatkah kita dengan novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana? Cerita yang menggambarkan perjuangan pelajar-pelajar muda untuk melakukan perubahan. Melalui tokoh Maria, Yusuf dan Tuti, pembaca diajak ikut berpikir mana jalan perubahan yang baik dan mana yang tidak. Sehingga karya sastra bukan hanya mendorong penulis untuk berpikir apa yang ditulis namun juga sebagai media pembaca dan pendengar untuk melatih berpikir.

Begitu juga, karya sastra tulisan pun masih minim di dunia pendidikan. Guru mata pelajaran bahasa  enggan aktif menunjukkan hasil karyanya sebagai motivasi kepada anak-anak didik. Pengajaran sastra pun lebih mengacu kepada aspek kognitif dibandingkan afektif. Guru lebih fokus pada materi mengenai jenis-jenis karya sastra dan pengenalan puisi atau cerpen, tanpa menggali lebih dalam subjektivitas yang terdapat di dalam karya sastra itu. Disamping itu, dalam lomba cerita anak, murid sekolah dasar dan menengah kebanyakan menyadur cerita-cerita yang ada di buku dan internet  bukan hasil menulis karya sendiri. Mereka lebih condong pada menghapal teks. Alhasil, kreatifitas mengeluarkan ide, latihan berpikir kritis, dan penempatan proporsi sikap terhadap lingkungan sulit dimaksimalkan.

Walaupun banyak yang mengeluhkan bahwa sastra dianggap sulit diajarkan karena penuh dengan multitafsir, hal itu merupakan nuansa pendidikan sastra itu sendiri. Mencari kebenaran mutlak di dalam sastra tentu tidak bisa dilakukan karena subjektivitas bermain disana. Jadi, mau tidak mau, sastra selalu hadir dan dibutuhkan oleh manusia karena "kita hidup dikelilingi sastra (Lakoff &Johnson, 1980)"

Jika tidak diantisipasi,  maka hal ini akan merugikan murid-murid. Ini dapat berimbas pada masa depan dan lingkungan mereka. Mereka pintar namun tidak peduli sosial. Wajar saja kasus-kasus kekerasan banyak terjadi karena aspek keindahan hilang dari diri. Tidak ada kasihan melainkan kesenangan akan kerusakan, ketidaktentraman, bukan kenyamanan. Hal ini bertolak belakang dengan fitrah manusia yang tercipta dengan indah. Ketiadaan sisi keindahan mendorong hilangnya sisi kemanusiaan.

Lantas apa sebaiknya yang harus dilakukan guru untuk menumbuhkan minat murid terhadap sastra? Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan dalam menyelesaikan problema minimnya minat tersebut yaitu:

  • Berani berkreasi

Banyak guru yang tidak berani berkreasi karya sastra karena kawatir tidak sesuai ekspektasi. Padahal, tidak ada karya sastra yang salah. Benar dan salah sifatnya subjektif dalam bahasa. Masalahnya tentu berujung pada keindahan. Kalau bahasa yang dipakai kurang indah terlihat maka solusinya adalah membaca ulang berkali-kali sebelum dipublikasi. Jika gurunya saja tidak berani bagaimana murid bisa melangkah lebih.

  • Banyak membaca karya orang lain

Kebiasaan awam guru adalah merasa diri lebih mengerti, paham dan menguasai sesuatu daripada murid. Sehingga, motivasi untuk membaca karya orang lain pun kurang. Otomatis, informasi mengenai perbendaharaan kata, ciri, model dan karakter tulisan yang baru pun terlewatkan. Padahal, generasi Z jaman sekarang hanya dengan satu tombol saja sudah dapat mengakses ribuan literatur dan karya-karya sastra yang bebas diakses. Artinya, murid bisa lebih tahu daripada guru.

  • Mengajar di luar kelas
    Karena sifat sastra adalah keindahan hasil tangan manusia yang menuangkan lika-liku hubungan  manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam, maka seyogyanya belajar sastra  dilakukan di luar kelas agar simulasinya lebih nyata.

  • Menampilkan hasil karya murid ke publik
    Tentunya ada kebahagiaan tersendiri yang dirasakan murid apabila karyanya mendapatkan apresiasi dari orang lain. Tidak perlu membatasi apa karya yang dibuat murid. Bisa saja karya itu dalam bentuk gambar atau tulisan. Guru dapat menampilkannya di mading, buletin, atau juga di media sosial secara berkala. Hasilnya pasti akan memancing minat luar biasa. Jangan sampai karya yang ditampilkan adalah karya pilihan saja atau hasil menang lomba sehingga mengabaikan yang masih pemula.

    HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
    Lihat Bahasa Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun